2 Tiang 7 Layar. Karya ini sudah lama dibuat. Tapi baru tadi siang saya berkesempatan melihatnya langsung melalui sebuah acara perkumpulan anak2 film di Jakarta. Beruntungnya saya, setelah pemutaran film, sang director dan orang dibalik ide cerita itu mengajak kami berdiskusi tentang film tersebut. 

Ida Bagus Charisma dan Remedy "The trees and the wild" saat berdiskusi

Dengan visualisasi yang bagus dan scoring musik yang menurut saya pas sekali, selain menceritakan tentang Pinisi, video ini mampu menggugah saya untuk dapat menghasilkan sebuah karya. Dari kutipan Pramoedya Ananta Toer "Bagaimana manusia budaya ? Dia dinilai dari prestasinya, dari apa yang dipersembahkannya pada sesama." Tentang Pinisi, sebuah mahakarya sejak dari nenek moyang kita hingga saat ini yang ketangguhannya telah menyebar ke seluruh dunia. Dan saya balik bertanya pada diri saya sendiri, karya apa yang telah saya persembahkan? 



Saya bukanlah sineas yang mengerti banyak tentang perfilman, dalam diskusi itu pun saya hanya mengajukan sebuah pertanyaan yang ternyata membuat saya memperoleh 4 keping cd yang siap ditonton di rumah. Terima kasih teman-teman SinetraUI :) Mmm.. abis ini saya mau buat apa ya? tiba-tiba saya teringat pertanyaan ibu saya tadi sore, "kapan kamu kerja?"

Lagi-lagi selama bosan menunggu jadwal sidang yang tak kunjung datang, gue bareng 5 travelmates yang baru pertama traveling bareng ini membuat rencana perjalanan mendadak. Berawal dari ide gue yang selama ini belum pernah ke sana dan karena "rasa iri melihat foto-foto teman" di sana akhirnya gue putuskan untuk mengejar matahari di Pengalengan, Jawa Barat. Beeeuh bahasanya mengejar matahari, tapi memang iya sih, kami berangkat sebelum adzan berkumandang demi bisa dapet sunrise di sana. Di tengah pagi buta, naik motor, cuma modal jaket tipis dan sendal jepit kami berangkat ngebut naik turun bukit. Karena dapat info yang minim, gue pun cuma pake kaos pendek dan sweater asal gaya, dan akhirnya di tengah perjalanan gue menggigil beku (*mendadak takut kena hipotermia) sambil ngelus-ngelus perut teriak-teriak kelaparan.

Tapi semua kegelisahan akan rasa dingin yang menusuk tulang itu terobati dengan kemunculan mega merah fajar di balik bukit. Jari-jemari yang hampir tak terasa itu bisa bergerak lincah memencet tombol shutter. Nah temen-temen gue yang ber-smartphone, jempol-jempol mereka mendadak lincah dengan menyentuh layar touchscreen *kayaknya sambil update status dan 4square-an deh <-- ini tipe traveler yang ga bisa lepas dunia maya. Sambil jekrak-jekrek, mulut gue komat kamit ngucap asma Allah. Gimana ga keren coba, sembari lembayung fajar mulai bermunculan, kabut tipis tetap dengan pedenya lewat dibawahnya. Pemandangan yang jarang bisa dilihat kan, apalagi buat orang-orang yang males bangun kayak gue.. Kayak gini nih, makanya gue sampe bela-belain nyolong kunci gembok kosan biar bisa keluar jam 4 pagi.

The dusk and the mist

Kami belum puas dengan pemandangan itu, akhirnya kami putuskan untuk pindah tempat di dekat Situ Leunca. Tapi apes menimpa kami, ban motor milik Giri bocor. Tak cuma itu, gue sempet dikejar-kejar anjing yang akhirnya kami semua ikutan ngibrit lari tungang langgang yang berujung terbahak-bahak tertawa karena anjing yang bersangkutan lagi lari ngejar si tuannya yang lagi naek motor. cape deee...

Dan gue ga mau keilangan moment berharga itu. Saat temen-temen yang lain sibuk ngurusin ban motor, gue kabur pake motor ke danau Situ Leunca yang jaraknya tidak jauh. Dan wooof! dipinggir danau, gue dapet view misty. Karena ga pake sarung tangan, tanpa sadar tangan gue mati rasa karena kedinginan. 

A winding road

Setelah urusan motor kelar, kami berjalan kaki mengitari danau. Sambil berhaha hihi dan berfoto-foto ceria. Maklum kebanyakan temn-temen gue itu kerjanya programmer, mereka butuh banget refreshing ngeliat yang ijo-ijo kayak gini.




Matahari pun mulai naik, udara sudah tak sedingin pagi tadi, membuat kami ingat bahwa kami belum sarapan. Kami pun menuju lokasi wisata danau Situ Leunca. Memesan semangkuk mie rebus telor. Rasanya menjadi 10 kali lebih nikmat karena kami disuguhi pemandangan Situ Leunca yang bersih dan sejuk. Di sela obrolan, sepotong roti keju ala kadarnya menemani teh pahit hangat. Ulang taun gue udah lewat, anggap aja ini kue ulang taun. Hahaha tawa renyah pagi itu pun membuat kami semakin akrab. Kami melanjutan petualangan kami dengan menyusuri danau menggunakan perahu motor yang disewa sebesar 10rbu/org. Kami diantar ke kebun arbei. Tas kamera saya yang kosong pun jadi keranjang buat arbei. Abisnya kerangjang kecil seukuran telapak tangan itu dihargai 5rbu, jadi kita cuma beli dua biji. Bukan mahasiswa namanya kalo ga pinter. hehe.. 




Setelah itu kami tidak pulang, gue masih dibuat penasaran dengan foto temen gue di salah satu danau dengan view sebuah istana mungil di atasnya. Kami mencoba mencari dengan bertanya pada orang-orang dipinggir jalan. Dan ternyata jawaban mereka semua ga ada yang sama! Kami dibuat bingung, ada yang bilang 3km lagi lah, 10km lagi lah, sampe ada yang bilang masih 3 jam lagi mbak. Tsaaaah! Hampir aja temen-temen gue itu nyerah, mereka sampe ngajak pulang karena siang itu mereka harus masuk kantor. Tapi gue enggak, gue yakin sebentar lagi pasti sampe. Dan akhirnya feeling gue bener. Kami sempat foto-foto sebentar lalu pulang. Hmm..mana SUSU nya? susu teteh nya #eh kata tetehnya susunya cuma buka pagi sama sore. Pengalengan terkenal karena disana lokasi dari pabrik susu yang terkenal, yang sering kita beli di abang-abang yang bawa gerobak sambil stel musik. Mungkin gue harus kesini lagi, cuma 1,5 jam kok dari kostan.

that house, is peacefully

Lusa lalu tanggal 7 Febuari. Hari yang berjalan biasa saja. Mungkin bedanya pagi itu ada dua pesan pendek yang masuk ke no ponselku. Dari dua perempuan yang mirip denganku. Merekalah adikku, yang ternyata paling ingat hari kelahiranku. Dan dari ibuku, yang sempat menyempilkan doa supaya aku cepet kawin. Terima kasih, pagi itu aku bangun dengan senyum lebar meski setelah membaca pesan dan membalasnya aku tertidur kembali. 

Hari itu bukan hari yang besar, dunia tetap berjalan seperti biasanya. Tanpa ada perayaan apapun. Seorang teman bertanya, kenapa aku tak mempublish hari kelahiranku di salah satu jejaring sosial. Memang beberapa waktu lalu aku sempat meng-hide nya, toh buat apa. Bukan hal yang penting kan. Tapi, ternyata masih ada orang yang menganggapnya penting, sehingga beberapa pesan pendek masuk ke no ponselku. Ya, mereka yang tak perlu reminder, dengan senang hati memberikan doa dan ucapannya untukku. Sampai nelpon, padahal  bertemu saja jarang. Mungkin setahun sekali. Terima kasih kawan :)

Malam itu pun, aku hanya menghabiskan dua jam bermain gitar klasik bersama seorang sahabat, sampai bela-bela merekamnya, dan saat melihat hasilnya kita tertawa terbahak-bahak. Sudah lama ga duet, temponya jadi benar-benar kacau! hehe.. Dan bersama dengan seorang sahabat jalan, satu setengah jam minum kopi dan bercerita di kedai kopi yang tak jauh dari kost. Mungkin kalau malam itu aku diberi mesin ruang dan waktu, aku akan memencet tombolnya ke sini..


Tak ada yang lebih mendamaikan jiwa 
selain mendengar suara ombak dan menikmati desiran angin laut.  
Meski langit tak sebiru di bulan maret hingga laut tak memantulkan warnanya.

Disebelah tenda ada pohon tempat gue masang hammock

Setelah sehari sebelumnya bersusah payah mengurusi tetek-bengek tugas akhir, tanggal 30 januari fix gue daftar sidang. Sembari nunggu jadwal sidang keluar, gue bersama 3 travelmates yang sempat kemah bareng di Ranca Upas, ngewujudin rencana kita 2 bulan yang lalu, kemah di Tanjung Layar, pesisir Banten. Malam sebelum berangkat kami sempat briefing dulu buat bagi-bagi logistik. Persiapan gue yang seadanya, apalagi sebelum berangkat kartu atm gue hilang, dan duit di dompet cuma 50 ribu. Terpaksalah sms sana sini cari pinjeman uang. Hadeeh..

Pagi itu, setelah adzan subuh berkumandang kita bergegas menuju taksi yang telah dipesan malam sebelumnya. Hujan sedikit membasahi semangat kita di pagi yang masih gelap gulita. Sampai di terminal Leuwi Panjang, kita numpang bis Bandung-Sukabumi Non AC, yang ternyata butuh waktu 4 jam lebih untuk sampe terminal Degung. Baru mau turun dari bus kami terkaget, carrier yang kita bawa tau-tau di angkut orang-orang. Adegan kejar-kejaran yang memalukanpun terjadi. "Mau dibawa kemana tas kita?" sambil ketawa-ketawa ga jelas, dan beneran tanpa kita minta mereka itu sengaja ngangkutin tas kita minta imbalan. Ga dikasih duit marah, dikasih lima rebu kurang, euleuuh.. 



Setelah carrier masuk ke bagasi, kami sedikit bisa bernafas sejuk karna bus yang kita tumpangi ke Pelabuhan Ratu itu ber-AC. Baru mau bayar ongkos bis, ternyata kita dimintai lagi biaya bagasi, buset dah udah kayak pesawat ajah kalo kelebihan beban ada biaya tambahan..haha orang sukabumi matre2 apa yak..wkwk Sampe di pelabuhan ratu sekitar jam setengah 12 siang. Makan siang dengan lalap kol + sambel kecap bikin siang kita makin renyah, segala urusan tentang kuliah dan tugas akhir bener-bener lupa. Mungkin ini yang gue sebut "get lost", tersesat dari kesibukan dunia yang itu-itu aja. 




Waw nama gue eksis juga yah






Untuk menuju pantai Ciantir kami melewati desa Sawarna yang sawah nya telah meranggas karena sudah melewati musim panen. Pantai Ciantir ini adalah pantai yang paling ramai karena selain jadi lokasi surfing, pantai ini juga paling dekat dari penginapan-penginapan yang ada di desa Sawarna. Warung-warung yang ada di pantai Ciantir tutup. Ahh bener-benar seperti pantai milik pribadi. Sore itupun kita langsung menuju pantai Tanjung Layar yang letaknya tidak jauh. Mungkin butuh satu jam jalan kaki lewat pesisir *sambil foto-foto dan leha-leha. Setelah mendapat lokasi yang asik, kami bangun tenda persis di depan batu layar.

Senja yang ciamik di balik batu layar, lalu gelap yang kemudian diterangi bulan setengah dan bintang-bintang membuat malam itu begitu istimewa meski menu makan malam hanya nasi + ind*mie goreng seadanya. Ini ceritaku apa ceritamu? :p

Pantai Tanjung layar sangat sepi, meski ada warung, tak ada listrik disana. Merebahkan tubuh diatas hammock, mendengar suara ombak, sambil melihat ke langit. Bintang-bintang pun tak malu menampakkan diri. Ah~ pemandangan seperti ini mungkin akan lebih sempurna saat seseorang berkata, "Aku bahagia disini bersama kamu.." Braaag! ampir aja jatuh setelah ngelamun senyam-senyum mesam-mesum.. Malam itu gue tidur pake sleeping bag di hammock, karena tidur di tenda rasanya panas sampe keringetan. 

Hari kedua kami bangun lebih pagi untuk mengejar sunrise di Lagon Pari. Awan mendung masih terlalu angkuh pagi itu. Kami tak kecewa, matras dan ponco digelar, mari kita buat pancake! Dan pas sekali dengan secangkir teh tubruk panas. Kebersamaan kami pagi itu pun disambut dengan terik matahari. Kami lanjutkan perjalanan dengan mengitari bukit dibelakang kami. Awalnya hanya iseng saja, yang kemudian berbuntut kesasar. Untunglah kami bertemu dengan ibu Eti yang tanpa kami minta ia sedia mengantar kami sampai di penghujung bukit. Kesasar itu pun membuahkan sebuah pemandangan indah pantai Ciantir.




Siang itu kami habiskan dengan minum kelapa muda. Sorenya kami menikmati senja di pantai Ciantir. Sembari mencari informasi apakah esok kami bisa trekking di bukit sebelah barat. Sore itu pantai Ciantir mulai dikunjungi wisatawan. Tapi sedikit sekali yang singgah ke Tanjung Layar. Padahal jaraknya tidak begitu jauh. 

Seorang bapak yang sedang memancing di pantai Ciantir

Tak disangka-sangka, pagi terakhir di sana kami dapet golden sunrise. Perubahan warna langit mulai dari ungu kemudian merah, lalu jingga hingga kemudian kuning. Membuat gue betah duduk lama-lama sembari mengobrol dengan dance, sayang batere kamera gue abis. Mungkin itu siasat alam biar gue bisa menikmatinya lebih khusyuk hehe.. 

Setelah sarapan dan packing kami menyusuri pantai hingga ke ujung pantai sebelah barat. Kami mencoba mencapai bukit yang kata penjual warung sekitar bisa kita lewati. Niatnya sih susur pantai sampai Bayah. Tapi sepertinya ga mungkin. Sehabis melewati hilir sungai yang berlumpur aja kita udah ngos-ngosan. Belum lagi nyebrang muara sungai yang dalemnya sampe bikin underwear kita basah. Aaah menyesal cuma bawa satu biji, dan itu terakhir dipake T__T basah deh sampe Jakarta..

Kami menuju jalan setapak dan tak sengaja bertemu ojek dadakan. Kami hanya berniat menyewa ojek untuk menuju terminal Bayah. Tapi baru satu tanjakan kami lewati, kami disuguhi pemandangan yang dari kemarin kami incar. Desa Sawarna, Pantai Ciantir dan Tanjung Layar. Ini lah pemandangan yang terpampang di baliho pintu masuk desa Sawarna. Bukit yang kami lewati ini katanya bernama Gunung Kembang, sejuk karena dikiri kanan jalan terdapat banyak pohon besar. Kami juga melewati pantai pulo Manuk (*disini kami sempat numpang foto) dan pantai Karang Taraje. Setengah jam naek ojek ini kami disuguhi pesisir pantai Banten. Ada yang pasirnya nampak berwarna pink dari kejauhan. Next time kita harus susur pantai ini!

Ini video hasil gabungan asal rekam, yang bikin batere gue cuma bertahan dua hari.