Menyatu Dengan Damainya Kampung Naga

Nov 4, 2013

Langit yang masih menyisakan lembayung fajar dari timur di Kampung Naga.
Kami tiba tepat di depan gapura bertuliskan Kampung Naga pukul 4 pagi, sebelum adzan subuh berkumandang. Langit masih gelap, kami pun berteduh di musholla yang ada di sebrang gapura. Perjalanan selama hampir 5 jam dari Jakarta membuat kami ingin menyelonjorkan kaki. Malam sebelumnya (Jumat 23/08/2013), saya bersama dengan 4 orang teman saya dari Jakarta, janjian di Terminal Kampung Rambutan. Dari info mas Efenerr untuk menuju Kampung Naga dari Jakarta, kami bisa menggunakan bus tujuan Singaparna yaitu bus Karunia Bakti. Jadi kami tak perlu transit di terminal Tarogong jika menggunakan bus tujuan Garut. Bus tujuan Singaparna ini pasti lewat tepat di depan Kampung Naga. 

Setelah langit mulai terang, kami pun memulai petualangan kami pagi itu. Sebelum memasuki Kampung Naga, kami melewati sebuah monumen yang baru saja dibangun. Di atasnya ada tugu Kujang Pusaka. Dari situ kami dihampiri oleh seorang yang mengaku dirinya adalah pemandu lokal. Mang Nteng kami memanggilnya. Tanpa kami bertanya, ia pun menjelaskan bahwa untuk memasuki Kampung Naga sebaiknya ditemani oleh pemandu karena kita tidak bisa sembarangan memasuki wilayah tanpa adanya pengetahuan mengenai adat dan budaya di dalamnya. Memang kampung ini masih sangat menjaga budayanya. Kampung yang dikenal dengan keislamannya yang masih sangat kental.


 
Tentu saja di sana kami tidak dimintai karcis masuk layaknya di tempat-tempat wisata. Awalnya saya juga bingung kenapa kami tidak dimintai biaya masuk. Mang Nteng bilang kalau Kampung Naga ini bukan tempat wisata. Tapi mereka welcome jika ada para wisatawan yang memang ingin mengenal kampung ini. Banyak para peneliti atau mahasiswa yang bahkan tinggal dalam waktu lama di dalam Kampung Naga. 

Kami pun berjalan melewati tangga bebatuan yang tersusun rapi. Ternyata Kampung Naga ini letaknya di lembah, datarannya lebih rendah dari pinggir jalan raya. Kami menuruni anak tangga yang jumlahnya akan berbeda jika dihitung oleh orang yang yang berbeda. Baru saja masuk kami sudah dijelaskan tentang mitos jumlah anak tangga ini. Dari tangga bebatuan ini, kami disuguhi pemandangan asri dari persawahan dan atap-atap rumah rumbia dari kejauhan. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata, mengobati perihnya menatap gedung-gedung pencakar langit di Jakarta.

Suasani pagi yang damai di Kampung Naga
Sepanjang kami menyusuri jalan, Mang Nteng dengan semangatnya menjawab keingintahuan kami tentang Kampung Naga. Kami berjumpa dengan beberapa anak-anak berseragam pramuka, rupanya sabtu pagi itu mereka berangkat sekolah. Tentu saja untuk sekolah mereka harus keluar dari kampung.  


Bersama dengan Mang Nteng, kami diajaknya masuk kesalah satu rumah warga. Kami langsung diajak masuk ke dapur dimana seorang ibu sedang menanak nasi. Dengan disambut ramah kami pun disuguhi teh panas. Bau kayu bakar dan nasi yang masih ditanak menambah hangat suasana obrolan kami di dalam rumah. Semakin banyak kami mendengarkan, semakin banyak pengetahuan yang kami dapat tentang Kampung Naga. Salah satunya tentang rumah yang jumlahnya tetap di sini, serta tentang arsitektur rumah di Kampung Naga yang memiliki banyak filosofi. 


Jalanan sempit yang memisahkan antar rumah. 


Setelah menghabiskan satu gelas teh tubruk (disalah satu artikel menyebutkan bahwa menyisakan minuman yang disuguhkan tidaklah sopan), kami diajaknya lagi menyusuri perumahan warga sampai di pekarangan paling tinggi dimana kami tidak diperbolehkan mengambil gambar. Belum selesai petualangan kami di Kampung Naga, kami diajak mampir ke salah satu rumah warga yang berjualan oleh-oleh. Nampak seorang bapak tua duduk di teras sambil membuat alat musik. Kamipun menghampirinya dan disambut ramah. Beliau ternyata adalah pesuling yang pernah masuk iklan sebuah perusahan rokok di Indonesia. Kami diajarinya bermain alat musik khas Kampung Naga dan juga diajari nada dasar suling, Da Mi Na Ti La Da.. begitu bunyinya.


Lalu kami menuju sebuah surau di tengah kampung. Kami diperbolehkan beristirahat di dalamnya sejenak melepas lelah setelah berkeliling. Pengalaman yang benar-benar membuat kami membuka mata tentang bagaimana kehidupan islami yang sederhana dijalankan, dengan bonus pemandangan alami dan udara yang sejuk. Siang hari, wisatawan pun semakin ramai di sana, bersyukur sekali kami datang lebih pagi sehingga kami bsia mengeksplor lebih banyak. Mungkin lain waktu, saya akan berkunjung lagi kesini. Bukan untuk berwisata tetapi untuk lebih menyatu dengan penduduk dengan tinggal beberapa hari di sana, seperti kang Iwan Fals yang kerap berkunjung kesini hanya untuk menenangkan pikirannya dari penat ibu kota.

4 comments