Sulawesi Selatan

Banyaknya pertanyaan yang muncul, dari teman-teman yang berencana melakukan perjalanan mandiri ke Tanjung Bira. Maka akhirnya saya sempatkan juga menulis jurnal ini di blog. Perjalanan ini saya lakukan mandiri berdua dengan teman kuliah saya, di bulan November tahun 2013. Udah lama juga ya ternyata, satu setengah tahun, mudah-mudahan ingatan saya masih tajam. 

Spot yang menjadi ikon Pantai Tanjung Bira

Setelah berburu tiket promo beberapa bulan sebelumnya, saya dapat tiket 350 ribu PP Jakarta - Makassar. Ketika itu Air Asia masih punya rute CGK - UPG. Berangkatlah kami sore itu (14/11/2013), berbarengan dengan macetnya Jakarta menuju bandara Soetta. Sampai di bandara Hasanuddin jam 1 dini hari, dan menumpang tidur di masjid bandara. Menunggu pagi, menunggu damri yang ternyata tak kunjung tiba hingga pukul 7 pagi. Karena khawatir akan ketinggalan trayek yang menuju Tanjung Bira, terpaksa  deh kami naik taksi untuk menuju terminal Malengkeri. Hampir semua taksi sistemnya nembak! Setelah setengah jam menunggu kami dapat yang pake argo. Tapi ternyata mau pake argo atau nggak sama aja tarifnya, malah tanpa argo tarifnya jadi lebih mahal. Berkali-kali liat argo jalan cuma nyesekin dada, blom setengah jam jalan udah kena 100 ribu. Jangan-jangan argonya dimainin juga. Begitu pikir kami. Akhirnya kami minta turun di tengah jalan, keluar tol yg terdekat. Apes deh, tau gitu mending nembak. Hahaha.. Dan perjalanan pun kami lanjutkan dengan menumpang pete-pete (angkutan umum di Makassar) ke terminal Malengkeri.

Untuk menuju Tanjung Bira, ada dua alternatif angkutan umum yang bisa digunakan. Pertama adalah bus antar kota yang menuju Bulukumba. Seingat saya cuma ada satu sih. Kedua adalah Kijang, sebutan untuk mobil sekelas toyota kijang atau xenia yang digunakan sebagai angkutan umum sampai ke Tanjung Bira. Kendaraan ini jumlahnya lebih banyak, ada yang ngetem di luar terminal dan ada yang di dalam. Nah, kami menggunakan alternatif kedua di mana nanti si supir akan mengumpulkan penumpang sampai penuh, baru berangkat. Biasanya mereka berangkat kalau sudah penuh, atau hari sudah siang. Karena perjalanan menuju Tanjung Bira membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam.


Dari kijang, perjalanan menuju ujung pulau Sulawesi


Meskipun menunggu agak lama, kijang yang kami naiki berangkat pukul setengah 10 pagi. Karena masih lelah setelah tidur ngga jelas di langgar bandara, sebagian besar waktu kami di mobil adalah tidur. Beberapa kali terbangun saat melewati tepi laut. Di tengah perjalanan, kami juga sempat berhenti di warung makan. Uniknya disana adalah, minuman yang disuguhkan selalu air bercampur es. Lalu perjalanan dilanjutkan kembali ke Bulukumba. Ternyata kijang yang kami naiki hanya sampai Bulukumba. Seorang bapak paruh baya yang duduk di sebelah saya menawarkan mengantar kami sampai Tanjung Bira. Ia bilang hanya perlu menempuh satu jam untuk sampai kesana. Kami diajaknya ke Pasar Bulukumba untuk menunggunya mengambil mobil dari rumah nya. Agak aneh sih, "Kenapa kita ngga diajak kerumah nya aja ya sekalian?" Begitu pikir kami. Tapi yasudah lah, siapa juga yang mau nolak gratisan. Hehehe ..


Pantai Kaluku, tempat pembuatan kapal pinisi

Sebelum sampai di pantai Tanjung Bira, si Bapak memberhentikan mobilnya di pinggir jalan. Kami diberinya kesempatan untuk menikmati nyiur dan angin laut di atas tebing pantai Kaluku. Cerah sekali sore itu. Kemudian kami di drop di kompleks penginapan Tanjung Bira. Di sana kami berpamitan dan mulai mencari penginapan yang sudah saya googling sebelum berangkat.



Terima kasih, Bapak!

Penginapan itu namanya Sunshine Guest House, yang miliki oleh seorang perempuan Bugis asli, Nini kami memanggilnya dengan suaminya Gav yang berdarah bule. Lokasinya berada di kiri jalan ke arah pantai. Untuk menuju kesana, dari plang yang bertulisan nama penginapan, kita masuk melalui gang kecil sampai mentok. Posisinya lebih tinggi dari penginapan-penginapan yang sebelumnya kami lewati. Jadi perlu sedikit usaha ekstra untuk sampai ke Sunshine. Setelah sampai, kita menunggu lobi yang terbuka luas. Pemandangan laut bisa langsung dilihat dari sana. Setelah ngobrol sebentar dengan Nini, kami diantar ke kamar yang ada di lantai 2. Untuk permalamnya kami di charge 150 ribu/kamar. Sudah termasuk sarapan pagi.



Penginapan yang kami tinggali selama tiga hari dua malam di Tanjung Bira
(Pagar masuk, plang penginapan, dan balkon depan)

Karena hari mulai senja, kami pun bergegas menuju Pantai Kaluku untuk melihat proses pembuatan Pinisi sekaligus mengejar matahari tenggelam. Lumayan jauh untuk berjalan kaki sampai kesana. Kami pun mendapat tumpangan "gratis" dari abang-abang yang memaksa kami menggunakan jasa speedboatnya untuk hopping island ke Pulau Kambing esok harinya. Karena udah dipaksa banget, dan males diikutin yaudah deh akhirnya kami nurut aja. Di pantai Kaluku kami menghabiskan waktu hingga langit tertutup awan gelap. Kami tidak bisa melihat senja sore itu, langit mendung mengharuskan kami kembali ke penginapan. 


2 tiang 7 layar
Demi ini kami berdua kabur dari hiruk pikuknya kota metropolitan.

Kami kembali penginapan saat hari sudah gelap. Malamnya kami makan menu seafood di warung makan bambu persis di depan gang masuk ke rumah Nini. Banyak turis mancanegara sedang berkumpul. Setelah makan malam kami kembali ke penginapan dan melanjutkan istirahat panjang, mengumpulkan tenaga untuk snorkeling dan hopping island esok hari.


Kami sudah janjian dengan si abang-abang yang kemarin ngikutin kami. Di pagi hari yang cerah itu, kami sempat terlibat sedikit cekcok karena adanya salah paham antara Nini dan si abang. Sehingga kami berangkat terlalu siang. Jadilah kami memesan private boat seharga 450 ribu karena ketinggalan rombongan yang menggunakan jasa paketan. Itu sudah termasuk alat snorkeling, ke pulau Kambing, pulau Liukang Loe, dan pantai Bara, sampai sore! Walaupun awalnya sempat ragu soal harga, namun di akhir trip kamu justru bersyukur ditemukan dengan abang ini.


Snorkeling di sini!

Surga dunia, ah~
(courtesy photo by danceuu)

Spot pertama adalah snorkeling di pulau Kambing. Pulau ini letaknya lumayan jauh dan tidak semua trip menyediakan paket ke sana. Biasanya hanya ke pulau Liukang Loe saja. Berhubung kami ke Tanjung Bira tanpa bawa dokumentasi underwater, jadi cuma ada foto di atas permukaan saja ya. Sebetulnya, underwater pulau Kambing tuh kece abis. Saya hampir dua jam di sana nggak mentas-mentas. Struktur karangnya vertikal, jadi kalo diving pasti lebih keliatan. Selain snorkeling, kami main ke dalam goa tepat di bawah pulau Kambing. Untuk menuju ke goa ya kami harus berenang! Hati-hati ya karena banyak ular laut yang bersembunyi di bebatuan kata si abang.



Goa yang terlihat dari luar (atas), dan dari dalam (bawah)

Dari pulau Kambing, kami lanjut hopping island ke pulau Liukang Loe. Di sana kami leyeh-leyeh juga sampai menjelang sore. Memesan indomie goreng (kayaknya tiap ngetrip ngga bisa lepas dari ini) dan makan di kursi malas menghadap laut.



Abis kekenyangan mie goreng
(courtesy photo by danceuu)

Karena kami punya banyak waktu bebas, kami pun mencoba eksplor pulau Liukang Loe. Berjalan menyusuri sepanjang garis pantai. Bertemu dengan bapak nelayan yang sedang menyulam jaring ikan. Bermain dengan anak-anak pulau hingga ke dermaga.


Mereka sangat narsis dan lucu. Beberapa kali nyebur karena pengen difoto.

Dermaga di pulau Liukang Loe

Setelah puas leyeh-leyeh dan main dengan anak-anak pulau, perjalanan kami berlanjut ke Pantai Bara (langsung dari jalur laut, tanpa jalan kaki melalui pantai Bira). Oiya, saya juga dapat kesempatan belajar mengemudikan speedboat (learning by doing!). Asik banget lah sama si abang ini, kami benar-benar puas dengan service nya. Dia juga nyantai banget, ngikutin keinginan kita. Jadi tiap spot kami ngga perlu buru, pokoknya sampe kami bosen baru pindah spot. Dan spot terakhir adalah pantai Bara. Nggak sampai sunset sih, tapi kita udah puas bisa lihat nyiur dengan latar belakang pantai dan langit yang biru. 

Pantai Bara dari boat


Nyiur



Nyiur

Dari pantai Bara kami kembali ke pantai Tanjung Bira menggunakan boat si abang. Sebenarnya bisa saja kami berjalan menyisir garis pantai hingga ke Bira, namun karena sudah lelah si abang masih setia menemani kita sampai kembali ke Bira. Lalu kami kembali ke rumah Nini untuk bilas badan yang udah lengket sejak dari pulau Kambing. Kami habiskan sore di balkon rumah nini hingga senja menyapa. Beruntung sekali hari itu, warna jingga matahari menemani sore kami sambil duduk di kursi malas.


Dari balkon rumah


Lupakan penat

Pagi hari esoknya, kami masih malas untuk bangun. Mobil yang menjemput kami baru datang jam 10 pagi. Oiya, untuk kembali ke Makassar bisa reservasi lewat Nini. Karena kendaraan menuju Makassar terbatas. Setelah baru benar-benar terbangun pukul 7 pagi, saya packing dan bergegas ke pantai Tanjung Bira. 



View kayak gini yang bikin males pulang ke Jakarta

Jarak dari rumah Nini ke pantai Bira tidak terlalu jauh. Sebelum sampai di pantai Bira, di sebelah kanan terdapat toko oleh-oleh yang berjejer.



Dapet sarung pantai. Meskipun saya nggak pernah beli oleh-oleh,
setidaknya tiap ke pantai saya beli sarung untuk saya sendiri karena fungsional sekali

Kami memang belum sempat eksplor pantai Tanjung Bira, terutama di spot yang jadi ikon pantai ini. Rumah kayu yang berjejer di tebing, lalu dibawahnya terbentang laut dengan warna yang biru. Oleh karenanya, sebelum meninggalkan Bira, saya sempatkan ke sana meski sendirian meninggalkan danceu yang masih nyenyak di tidurnya.


Aduh pengen loncat!


For your information
Total pengeluaran selama 4 hari 3 malam di Tanjung Bira dan Makassar kira-kira 700-800 ribu. Itu udah termasuk akomodasi, transportasi, makan, keliling pulau, snorkeling dan sarung yang saya beli. Termasuk juga pas nongkrong-nongkrong malam senin di pantai Losari. Untuk tiket pesawat untung-untungan berhubung Air Asia dan Tiger Air rute CGK-UPG sekarang udah di tutup. 



Swimming here, don't wanna leave this place..
Pulau Kambing, Sulawesi, Indonesia | November 18th 2013



Laut dan nyiur yang menginspirasi.
Pantai Bara. Tanjung Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan | 16 November 2013




"A heaven in noisy port city. "
Pulau Samalona. Makassar, Sulawesi Selatan| 6 Oktober 2012

Lumbung padi yang terletak persis di depan rumah adat Toraja

Sudah sebulan berlalu, sejak menginjakan kaki di South Celebes. Perjalanan selama tiga hari tanpa rencana, bermodalkan tiket promo milik seorang teman yang mendadak batal berangkat. Hari pertama di kota Makassar, saya habiskan dengan berwisata ala keluarga ke Taman Nasional Bantimurung dan berleyeh-leyeh di pantai pasir putih yang cantik di pulau Samalona. Malamnya, setelah mandi seadanya di masjid apung dekat pantai Losari, kami bergegas menuju pool bus Litha dengan taksi. Saat orang-orang menikmati malam minggunya seperti kebanyakan anak muda, saya menikmati malam dengan tidur pulas di bus yang layaknya sleeping bus, dengan harga seratus ribu rupiah kami memperoleh pelayanan kelas eksekutif. Perjalanan ini selama hampir 9 jam menuju Rantepao, pusatnya para turis di Tana Toraja.

Kami sampai di Rantepao pagi hari, disambut dengan udara dingin yang membuat saya harus mengeluarkan jaket dari tas. Tana Toraja terletak di dataran tinggi, sehingga hawanya sangat berbeda sekali dengan kota Makassar yang panas karena terletak di dataran rendah yang langsung berbatasan dengan laut. Pool bus Litha terletak di pasar Rantepao, cukup strategis untuk kemana-mana. Kami pun tidak kesulitan untuk mencari tempat makan muslim dan sewa motor. Setelah sarapan, kami menitipkan barang bawaan kami ke tempat sewa motor, karena kami tidak berencana untuk menginap di Tana Toraja. Lalu dengan bermodalkan fotokopi-an peta lokasi wisata Tana Toraja, kami berangkat dengan hati gembira. Karena pagi itu matahari cerah sekali!

Dengan modal peta hitam putih ini, kami keliling Tana Toraja dari utara sampai selatan!
Posisi pasar Rantepao ada di tengah, karena itu mungkin lebih tepatnya kami bukan keliling Toraja dari utara ke selatan. Tetapi dari tengah ke selatan lalu kembali ke pasar untuk makan siang dan melanjutkan ke utara dan balik lagi ke pasar, hehe. Capek memang harus bolak-balik menggunakan kendaraan roda dua, apalagi hari sebelumnya kami sudah lumayan lelah setelah mengeksplor Makassar. Sempat beberapa kali Mamat hampir bersenggolan dengan pengguna motor lain, dan sekali carrier saya jatuh di tengah jalan. Rasa lelah tak mematahkan semangat kami untuk berwisata "makam". Ya, karena Toraja ternama dengan adat istiadat nya dalam prosesi pemakaman. Maka hari itu kami mengekplor budaya Toraja dengan mengunjungi beberapa makam yang sudah menjadi sejarah dan yang masih di gunakan sampai saat ini.

Lemo, kuburan batu pahat milik kepala suku Toraja masa lalu
Tujuan kami pertama adalah Lemo. Di sekeliling tebing banyak sekali makam, dan beberapa di antaranya terdapat tulang belulang yang mencuat keluar sehingga terlihat dari bawah. Selain itu kami pun mendapati pemandangan ngarai sawah yang hijau setelah mengitari situs pemakaman ini.

Pemandangan di balik Lemo
Selain Lemo, di daerah selatan Tana Toraja kami mengunjungi situs pemakaman lain seperti Tampang Allo dan Lado. Jarak antar situs tidak terlalu jauh. Sebenarnya diantara itu masih terdapat banyak lagi situs makam lain. Kami pun mengunjungi Baby Grave di Kambira, yang merupakan pemakaman bayi di pohon. Seorang bayi yang belum tumbuh giginya dimakamkan di pohon, karena di percaya arwahnya masih suci. Berbeda dengan orang dewasa yang dimakamkan di tebing batu. 


Baby grave di Kambira
Makam ini sudah tidak digunakan lagi sejak agama sudah masuk ke sini.
Beberapa tengkorak yang tersusun di dalam Tampang Allo
Suasana di dalam Lado, turis asing banyak sekali yang datang ke sini!
Salah pemandangan gua di dalam Lado
Setelah mengeksplor wilayah utara Tana Toraja, kami kembali ke pasar Rantepao. Kami sempat melewati patung Sultan Hasanuddin yang berada di simpang lima kota Makale, ibukota administratif Tana Toraja. Di pasar, kami makan di sebuah tempat makan yang siang itu ramai pengunjung. Kami pun langsung memesan makanan tanpa bertanya terlebih dahulu harganya hingga saat tiba meminta bon, kami terkaget. Ya, harga makanan yang sudah jadi di Tana Toraja itu berbeda sekali dengan Makassar. Untuk ukuran mahasiswa yang biasanya satu porsi di sini bisa dihabiskan untuk makan selama 3 hari. Sehabis makan, kami melanjutkan eksplorasi ke wilayah utara. Karena waktu yang mepet menjelang sore, kami hanya mampir ke desa tenun di Galulu Dua dan desa adat Kete Kesu. 


Salah satu pengrajin tenun di Galulu dua
Kete Kesu
Salah satu rumah adat di Kete Kesu yang sedang di renovasi
Kami tak bisa mendapati prosesi pemakaman dan pesta adat yang biasanya dilakukan orang suku Toraja. Padahal kalau kami sampai di sini hari sebelumnya, kami bisa ikut menyaksikan prosesi adat yang sudah terkenal se-antero dunia ini karena hanya satu-satunya. 


Mamak neneng, di desa galugu dua.
Bercerita tentang anaknya yang akan menikah dengan suku jawa
Tapi itu tak membuat saya kecewa, mengenal lebih dekat dengan warga asli suku Toraja sudah cukup membuat saya bahagia. Melihat perbedaan yang mencolok antara mereka dengan saya, melihat sisi lain di tempat yang jauh dari saya dibesarkan, dan belajar bahwa perbedaan bukan penghalang untuk saling mencintai. Itulah yang saya dapatkan di Tana Toraja.

Yes, a heaven in noisy port city. Zoom out this picture, and see the port and the city can be seen!
Kami tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar sekitar jam 1 pagi waktu Indonesia tengah(6/10). Tentu lokasi pertama yang kami cari adalah musholla, karena kami memang tidak berencana untuk menginap di mana pun di Makassar, meski kami punya travelmate yang sekarang sudah menetap di Makassar. Sambil berbaring di karpet hijau, saya mulai browsing mau kemana saja selama di Makassar. Jujur! Saat itu saya benar-benar blank mau kemana. Rencana ke Bulukumba, Tanjung Bira dan Selayar sudah pasti nggak mungkin. I'm alone and don't have much time there. Karena dua travelmate saya berencana ke Tana Toraja dan satu lagi berencana naik gunung Bawakaraeng. Terus belum lagi jarak yang jauh dari kota sampai ke Selayar. Bisa-bisa di sana cuma numpang pipis aja. Hahahaa.. 

Nah saat itu, tanpa mikir panjang inilah kata kunci yang saya ketik di mesin pencari : pulau terdekat dari kota makassar. Dan pulau Samalona adalah jawabannya. Cuma setengah jam! Saya ngga berburu foto seperti apa pulaunya. Toh, paling ngga beda jauh sama pulau-pulau di Kep Seribu. Apalagi cuma setengah jam, kalau bisa dapet warna air laut yang biru tosca anggap aja hadiah. Pagi itu juga, kami di jemput Wiwi langsung menuju Bantimurung. Hah? Kenapa ke Bantimurung? Ya karena salah satu travelmate saya pengin kesana. Ngalah deh sambil berdoa semoga sampai di Samalona ngga terlalu siang. Dan ternyata kami sampai dermaga Kayu Bangkoa siang terik. "Nggak apa-apa, kulit gosong itu pertanda abis liburan."

Dermaga Kayu Bangkoa

Dermaga Kayu Bangkoa terletak tidak jauh dari Fort Rotterdam dan masih satu garis pantai dengan pantai Losari. Kami menyewa kapal untuk antar-jemput kesana setelah nego dengan si empunya kapal lewat telpon sebelumnya. Kami dapat informasi tentang penyewaan kapal ini dari salah seorang teman yang baru kami kenal di UKM pecinta alam UNHAS. Biasanya sewa kapal di sana ratenya 300-500 ribu, berangkat hari ini dan dijemput esok harinya. Karena one-day trip jadi kami bisa dapat harga lebih murah. Berangkat lah kami kesana setelah makan siang dengan menu coto makassar di pinggir dermaga. 

Ternyata masih banyak pulau lain yang ada di sekitar pulau Samalona, ada pulau Lae-lae dan pulau kayangan. Saat tiba di pulau Samalona, nafas saya tertahan. "Gila! Sedeket ini tapi airnya bisa ijo toska, keliatan bening lagi. Nyesel ninggalin alat snorkeling di rumah!" Sambil ngitung jumlah persediaan baju yang dibawa, nggak mungkin banget nyebur. Telanjang? Ini bukan naked beach! Sewa baju? Lima puluh ribu satu stel, belum perlengkapan snorkeling nya yang harga sewanya di atas harga pasar! Jadilah leyeh-leyeh adalah aktivitas termurah yang bisa kami lakukan saat di Samalona. Eits! Ternyata leyeh-leyeh pun di sana juga nggak gratis lho. Kami juga harus bayar sewa tempat berteduh seharga lima puluh ribu yang sudah ada bale nya dan terletak di bawah pohon. 

"Oh segitu kere nya kah gue sampai ga rela bayar segitu buat menikmati keindahan Samalona?" Bukan, saya bukan engga rela. Kalau ada yang lebih murah dan sama-sama nikmat, kenapa harus bayar? Tiba-tiba teringat dengan budget yang musti di tabung buat sailing trip bulan depan. Kami menggelar flysheet tepat di samping kapal motor yang sedang nganggur. Lumayan buat berteduh. Tidur.. Ya saya tertidur di samping kapal. 

Semua serba lima puluh ribu di Samalona! Termasuk toilet yang sekali masuk lima ribu. Hahahaha..

Air laut ternyata pasang, yang membangun kan saya sehingga kami harus pindah tempat. Sambil menunggu matahari terbenam, melihat hijau birunya pesisir di pulau ini.

Why am I here? Ke Makassar adalah rencana dadakan buat gantiin tiket pesawat temen yang batal berangkat


Dermaga di pulau Samalona

Dan biru langit pun kini berganti warna menjadi senja. Rencana kami yang ingin menghabisi senja batal karena Wiwi harus kembali ke kota Makassar. Ia harus kembali sebelum magrib. Jadilah kami menikmati matahari tenggelam dari atas kapal. Kami nggak nyesel, karena menikmati matahari pulang ke rumah, dari atas kapal itu tetep keren kok.

Dermaga bagi kapal yang berlabuh di Samalona


Tetap menikmati, meski laju perahu kami menjauhi arah matahari.

Perahu ini melaju, goyangannya seperti Elf yang biasa saya naiki ketika traveling di Jawa Barat. Beberapa kali kami teriak menjaga keseimbangan. "Mat, fotoin benderanya pasti keren." Karena nggak berani berdiri sendiri saya meminta tolong Mamat. What a beautiful view!


Sudah berapa pulau yang anda jelajahi di Indonesia? 
Berbanggalah, Indonesia adalah negara dengan kepulauan terbesar di dunia.

Samalona, yang dulu hanya angan-angan karena nggak sengaja pernah baca reviewnya di kaskus. Kini, sudah jadi salah satu wilayah jajahan saya. Eh, bukan itu maksudnya. Tapi paling tidak, karena belum bisa berjumpa dengan Phinisi, saya bisa memenuhi hasrat untuk bertemu laut!

Nenek moyangku seorang pelaut!

Postingan Lama