Europe


Menyusun itinerary adalah hal yang paling mendebarkan sebelum perjalanan, setidaknya bagi saya. Sama rasanya saat berburu tiket promo, menyusun rencana perjalanan juga. Namun sedetil apapun rencana yang kita buat, pasti akan ada banyak perubahan. Kalau tidak banyak berubah berarti Anda ikut agen perjalanan yang semua destinasi nya sudah jelas di awal. Di sini saya akan beberkan rute perjalanan keliling Eropa tahun 2016 lalu. Buat siapa sih? Tentunya untuk saya baca sendiri karena saya pelupa. 




Desember 2017, saya memutuskan untuk vakum dulu dari pekerjaan lepas sebagai fotografer wedding. Saya ingin mengembalikan gairah memotret yang sempat bikin jenuh karena tiap weekend harus standby moto-in orang. Itu lah kenapa saya lepas peralatan tempur memotret saya sebelum berangkat ke Jepang. Saya ganti dengan kamera poket super unyu yang muat di saku jaket. Saya ingin lebih menikmati perjalanan. Saya ingin bebas berekspresi. Karena hal pertama yang membuat saya jadi suka memotret adalah tempat-tempat amazing yang saya singgahi dalam perjalanan. And to make a bright fresh start this year adalah dengan posting foto lanskap Iceland yang masih terasa surreal sebelum terkubur di harddisk. Ini adalah perjalanan ku tahun 2016. Trip super impulsif dan super awesome saat kami di Eropa.


Kesampingkan Paris, Prague dan Venice yang overrated, kunjungi kota-kota terpencil di Eropa yang tenang. With scenic views and unique charms.  Berbekal dari tulisan di sini kami bisa menginjakan kaki di sebagian kota-kota kecil nan imut ini di Eropa. Berikut adalah daftar dari kota kecil yang kami kunjungi secara terencana atau pun impulsif. Dari 5 kota yang kami singgahi, kita ngga perlu menggunakan transportasi publik selama di sana karena dengan jarak tempuh berjalan kaki, kita lebih bisa menikmati tiap sudutnya.

Pertanyaan yang sering saya denger selain tentang budget adalah tentang barang bawaan saya selama keliling Eropa, terutama temen-temen cewe "Lo keliling dua bulan gitu bawa baju seberapa banyak, Ken?" Apa saja yang perlu dan ngga perlu dibawa agar kita mudah bergerak saat berpindah-pindah antar kota dan negara. Jangan membawa yang menyusahkan diri-sendiri. Karena perjalanan itu untuk dinikmati, bukan ntuk repot-repot bawa barang dan oleh-oleh. 

Pengennya sih foto ketje gitu sambil gendong tas, tapi berhubung motretnya pake tripod dan timer, jadi musti bolak balik pegel


Tidak ada yang menyapa kami pagi itu, kecuali supir bus yang membawa kami ke Fisherman Bastion yang ada di puncak bukit. Host kami pun masih tidur, karena jam 6 pagi kota ini belum bangun. Kami baru sampai Budapest sore kemarin, namun ia telah memikat hati kami. Maka esoknya kami bangun lebih pagi untuk menyapa Budapest yang memesona. Jó reggelt, Budapest! (Selamat pagi dalam bahasa Hungaria).


Pasar. Saya suka sekali pasar. Pasar itu berwarna. Di pasar banyak hal yang bisa kita lihat. Di pasar warga lokal berinteraksi satu sama lain. Di pasar saya menemukan banyak hal.


Kalau ditanya berapa persen perjalanan 50 hari keliling Eropa kami yang sesuai dengan rencana, saya akan jawab hanya 30%. Sisanya adalah kejutan. Begitu juga dengan Belgia, saya tidak memasukkan nya ke itinerary perjalanan kami. Jadi ceritanya sebelum berangkat, saya mencoba menghitung kembali anggaran selama di Eropa dan ternyata biaya hidup di Belanda lumayan tinggi. Maka saya mencoba memangkasnya dengan menyelipkan negara Belgia selama empat hari tiga malam. Tidak akan terpikir kota-kota cantik di Belgia seperti Ghent atau Antwerp akan masuk ke dalam itinerary, hanya Brussels, ibu kota Belgia yang terlintas di kepala saya waktu itu.


The best chocolate in the world. The best ... blablabla.

Saya kira kebanyakan guide atau beberapa tulisan mendeskripsikan sesuatu secara berlebihan sebagai the -est / the most -paling. Mungkin tujuannya biar kita "mau mencoba" atau "mau merasakan" sesuatu yang baru sehingga wajib kita masukan ke bucket list. Padahal bisa jadi hal-hal tersebut sebetulnya subjektif. Tapi pada akhirnya, memuaskan rasa penasaran, mencoba hal baru, dan menambah pengalaman merupakan hal yang lumrah bagi para pelancong. Dan memanjakan perut adalah wajib selain memanjakan mata saat mengunjungi suatu kota. 


Waktu yang kami habiskan di Utrecht lebih banyak di rumah Marije, host kami selama di Utrecht. Hujan yang sejak kemarin belum berhenti bikin kita males keluar rumah. Jadi kami di rumah nyuci baju, ngejemur dan masak-masak. Ngirit banget lah pokoknya selama di Utrecht. Dari empat hari di sana, kami ke pusat kota hanya dua kali, itu pun setengah hari. Suasana perumahan tempat kami nginep pun sepi dan tenang banget. Marije, yang suka yoga ini bercerita, kadang kala saat dia nginep di rumah pacar nya di Amsterdam dia suka kangen sama Utrecht, rasanya damai di sini. Kalau alasan saya kenapa milih kota ini sih sepertinya random banget. Pernah baca di majalah (lupa apa majalahnya) kota ini kota pelajar, jadi ngga terlalu rame dan bising. Dan berikut tempat-tempat yang kami kunjungi setelah secara random memilih Utrect sebagai kota persinggahan kedua kami di Eropa.


Rasanya menjadi suatu wajib ke Belanda untuk mampir ke Zaanse Schans, desa kecil yang lokasi nya sekitar satu jam dari Amsterdam menggunakan transportasi umum. Desa yang nampakin ke-Belanda-an ini punya semua yang jadi khas Belanda. Ada kincir angin, sungai-sungai kecil, sepatu bakiak, dan keju (yang ngga ada Red Light District). Untuk ngelilingin desa ini kita ngga dipungut biaya, masuk ke rumah keju nya aja free, kita bebas nyobain testernya. Kecuali untuk masuk ke museum-museum nya baru kena biaya. Dan juga toilet umum ke charge rata-rata toilet €0.5 - 1, duh lumayan banget kan sekali pipis kena 8 ribu! Di sini air gratis (tap water di mana pun bisa diminum), tapi pipis bayar. Hahaha.


Kalau malam sebelumnya Bre mengajak saya mengintip Red Light District yang sangat ramai dan penuh sesak, pagi ini saya memilih untuk menikmati suasana pagi di kompleks para seniman dan studio seni di Jordaan District. Cukup berjalan kaki dari hostel, karena memang hostel kami berada di pinggiran Central Amsterdam.

Belanda itu sepeda, sungai, jembatan, kincir angin, sepatu bakiak, dan keju.


Pertama kali (2016/08/09) kami menginjakkan kaki di Eropa adalah Belanda, yang dulu nya pernah ngejajah negeri kita tercinta ini lama banget lho. Makanya sebagian bahasa nya mirip-mirip kayak korting, gratis, keran (kraan), apotek (apotheek), kassa, dan lain-lainnya yang bisa dijumpai di beberapa tempat. Kalau kenapa kami memilih Belanda sebagai pintu masuk pertama adalah karena aplikasi visanya mudah. Lewat imigrasi Belanda di Schipol Airport kami juga ga lama-lama, hanya dicek paspor saja.
Older Posts