saya menulis ini ditengah lautan manusia. untuk pertama kali saya tulis menggunakan telepon selular. bukan seperti biasanya, disaat yang tenang dan cozy sambil menyeruput kopi.
satu jam yang lalu, saat matahari mulai meninggalkan horizon bumi saya keluar dari tempat nyaman saya di depan meja kantor. sambil membawa ransel dan menplug ipod ksayangan saya sebagai teman jalan. saya memang suka jalan kaki. karenanya kendaraaan roda dua yang saya bawa saya tinggalkan di halte paling dekat rumah saya. kemudian saya naik transjakarta, lalu di lanjutkan dengan jalan kaki ke kantor kira kira 10 menit.

bercerita tentang bagaimana saya tibatiba ingin menulis adalah karena luapan setelah   hampir sebulan meniti karir di ibu kota. bukan luapan kekesalan atau kekecewaan tentang pekerjaan, atau tentang buruk dan semrawutnya negeri ini. tapi tentang bagaimana saya melewatinya.

saya sudah belajar merasakan ketidaknyamanan ketika traveling ke kota-kota lain. saya belajar bagaimana menahan diri untuk tidak marah saat saya terdesak. saya belajar untuk mensyukuri setiap keadaan meski saya sulit bernafas ditengah kerumunan orang.

saya suka pekerjaan saya, karenanya saya tak akan mengeluh tentangnya, sjdkpaya jgzka suka jakarta, karenanya saya takkan menyalahkan jakarta dengan segala keruwetannya.

saya suka pekerjaan saya, karenanya saya takkan mengeluh tentangnya. saya juga suka jakarta, karenanya saya takkan menyalahkan jakarta dengan segala keruwetannya. aah... paling tidak saya sudah berbuat sesuatu untuk kota ini, dengan tidak menambah macet jalanan kota, dengan berpeluh sesak merasakan macet di dalam halte busway. tak apalah, hari ini saya belajar, bahwa saya harus keluar kantor sebelum pukul setengah 6 sore!

banyak yang bertanya, kenapa saya mau merasakan lelahnya bekerja di jakarta. tentu bukan karena materi, toh imbalan saya bekerja juga tak sberapa. memang butuh perjuangan untuk bertahan hidup di kota yang tak pernah tidur ini. tapi saya menikmatinya. seberapapun lelahnya, semua rasa penat itu akan hilang saat saya pulang ke rumah, saat saya mencium tangan ibu saya lalu mendengarkannya bercerita, atau saat adik-adik saya mulai jahil mengganggu saya saat telat makan malam. ah iya saya belum makan, akhirnya tulisan ini berakhir saat saya sudah di rumah!

I'm dreamin' about you.
We are together reaching our dreams..
Make a story for tomorrow
Till we get old, looking at the pictures book
Looking at photos in everywhere we take together


Hope someday we can meet,
at the mountain? at the seashore?
or just at the street where we walk together.










I walked across an empty land
I knew the pathway like the back of my hand
I felt the earth beneath my feet
Sat by the river and it made me complete


So tell me when you're gonna let me in
I'm getting tired and I need somewhere to begin
Is this the place we used to love?
Is this the place that I've been dreaming of?
So why don't we go somewhere only we know
(Keane - Somewhere Only We Know)


"After 22 years I've got a chance to go there.. the beach at my hometown."
Pantai Marina, Semarang | 4 Oktober 2011

Kami berkumpul di terminal Kampung Rambutan sejak jam 8 malam (16/5). Menunggu untuk bertemu dengan teman-teman seperjalanan kemudian berangkat menuju Merak pada tengah malam. Saya bersama dengan 12 orang lainnya yang baru saja saya kenal melalui komunitas Backpacker Indonesia, melakukan perjalanan ke tanah sebrang, ke Lampung, Sumatera. Itinerary dan budget yang sudah lengkap yang dibuat oleh mbak Sharie, menjadi bekal kami untuk mengeksplor Lampung. 

Setelah tiga jam berdempet-dempetan di dalam bus, kami tiba di pelabuhan Merak.    Pemandangan di pelabuhan ini sangat berbeda dengan yang sering saya lihat di televisi saat musim mudik tiba, tentu lebih rapi dan bersih. Kami beli tiket ekonomi kemudian di upgrade lima ribu rupiah untuk dapat tambahan fasilitas AC. Menjelang pagi, matahari mulai menampakan wajahnya, membuat teluk Sumatera terlihat jelas. Kapal feri berlabuh, kami tiba di pelabuhan Bakaheuni. Ini lah kali pertama saya menapakkan kaki saya di tanah Andalas. Welcome, Sumatera!

Disambut lembayung fajar saat tiba di Sumatera


Dengan menyewa angkot setelah dua kali bernegosiasi, kami menuju Bandar Lampung. Menurut saya, tak ada yang nampak berbeda dari tanah Lampung ini dengan tanah Jawa. Banyak bangunan, jalan raya, debu, orang-orang yang bahasanya saya kenali (*bahasa jawa dan nasional), becak, dan tukang bakso! Mungkin yang saya lihat agak berbeda adalah angkot yang kami sewa, meski fisiknya tidak dimodif seperti yang ada di Padang, atau kota lain di Sumatera, angkot kami ini punya soundsystem yang mantep. Lumayan untuk mengisi kebosanan kami di jalan, karena angkot ini jalannya sangat lambat sampai kami jadi akrab meski ada beberapa diantara kami yang belum kenal. Saya pun jadi ikutan akrab sama Bang Doli, pak Supir *karena duduk di sebelahnya, hehe.

Perjalanan ke kota Bandar Lampung ditempuh hampir dua jam, kami mampir sarapan nasi uduk di pasar. Sudah jauh sampe Sumatera, sarapan yang sama seperti di rumah. Mungkin saya harus ke Palembang, propinsi yang berada di atas Lampung supaya tau rasanya berada di tanah Sumatera kali ya. Hehe.. Karena petualanganku di pulau Sumatera takkan berhenti hanya di Lampung saja!