Cara menikmati sore yang bijak.
Tanjung Bira, Bulukumba Sulawesi Selatan


Di pojok ruang, kopi di meja dan seorang teman yang mengajak bicara. Januari lalu, belum genap setahun kami bercerita tentang mimpi-mimpi. Saat yang sama di warung kopi. Membuat daftar resolusi di atas kertas. 

"Gue pengen kerja = passion."

Begitu frustasinya saya waktu itu, soal pekerjaan dan masa depan karena saat itu saya baru tujuh bulan bekerja setelah sempat dua bulan menganggur karena masih ingin menikmati liburan setelah lulus kuliah. Saya pun memintanya meninjau ulang apa yang sudah kami share waktu itu. Bukan, lebih tepatnya apa yang saya citakan. Ia pun bercerita, bagaimana posisi saya saat menuliskan resolusi itu sambil menggebu-gebu, bagaimana selama hampir setahun saya menjalani misinya.  

"Beberapa waktu lalu, lo sendiri bilang kalau kerja = passion berarti lo ga bisa enjoy jalan-jalan. Karena lo harus kerja untuk mencapai target dan harus bisa muasin konsumen lo."

Saya tertawa sendiri mendengarnya jawabannya, karena memang itu yang pernah saya katakan padanya sambil mengeluh. Ya, dulu saya ingin kerja = passion. Saya ingin jalan-jalan sambil kerja, atau kerja sambil jalan-jalan lah. Tapi seiring dengan mencoba menjalaninya, saya pun jadi sering mengeluh. Ternyata kalo hobi aja jadi kerjaan, terus kalo jenuh, hobinya kemana? Malah jadi kebalik. Sejak itu saya pun jadi mulai menikmati bekerja di kantor, nabung, lalu traveling. Yap! Ia bilang, "Lo itu sekarang posisinya, menikmati passion lo. Lo kerja keras, nabung, terus jalan-jalan sepuas hati lo tanpa mikir beban apapun."

Daftar resolusi di kertas sebelas bulan lalu adalah saat di mana saya sedang mengejar passion. Pikiran yang terfokus untuk gimana caranya bisa jalan-jalan gratis sambil kerja, atau malah jalan-jalan biar dapet duit. Pikiran sempit. 

"Traveling kalo dijadiin ajang cari duit ya jadinya ribut." 

Begitu kata Om Farchan, seorang penulis perjalanan yang rajin sekali ngetweet sampai saya akhirnya bisa menemukan kalimatnya yang menohok beberapa traveler yang sedang twitwar. Ribut dalam definisi saya adalah ribut dengan pikiran sendiri. Pikiran saya yang waktu itu benar-benar sempit. 

Sekarang saya tak perlu lagi mengejar passion. Nikmati sajalah. Tak perlu lagi mengejar destinasi. Tiga hari dua malam di satu tempat tanpa berpikir harus kesana, kesini. Tak perlu ngejar sunrise karena hujan masih deras, dan lebih memilih selimut dari pada kamera. Bangun agak siang menunggu langit menjadi biru. Melakukan perjalanan sendiri atau berdua saja, demi bisa memahami apa esensi dari sebuah perjalanan itu.

Saya belum tahu apa yang saya inginkan. 
Saya ingin menikmatinya saja.



















Malacca, 21 September 2013

Langit yang masih menyisakan lembayung fajar dari timur di Kampung Naga.
Kami tiba tepat di depan gapura bertuliskan Kampung Naga pukul 4 pagi, sebelum adzan subuh berkumandang. Langit masih gelap, kami pun berteduh di musholla yang ada di sebrang gapura. Perjalanan selama hampir 5 jam dari Jakarta membuat kami ingin menyelonjorkan kaki. Malam sebelumnya (Jumat 23/08/2013), saya bersama dengan 4 orang teman saya dari Jakarta, janjian di Terminal Kampung Rambutan. Dari info mas Efenerr untuk menuju Kampung Naga dari Jakarta, kami bisa menggunakan bus tujuan Singaparna yaitu bus Karunia Bakti. Jadi kami tak perlu transit di terminal Tarogong jika menggunakan bus tujuan Garut. Bus tujuan Singaparna ini pasti lewat tepat di depan Kampung Naga. 

Setelah langit mulai terang, kami pun memulai petualangan kami pagi itu. Sebelum memasuki Kampung Naga, kami melewati sebuah monumen yang baru saja dibangun. Di atasnya ada tugu Kujang Pusaka. Dari situ kami dihampiri oleh seorang yang mengaku dirinya adalah pemandu lokal. Mang Nteng kami memanggilnya. Tanpa kami bertanya, ia pun menjelaskan bahwa untuk memasuki Kampung Naga sebaiknya ditemani oleh pemandu karena kita tidak bisa sembarangan memasuki wilayah tanpa adanya pengetahuan mengenai adat dan budaya di dalamnya. Memang kampung ini masih sangat menjaga budayanya. Kampung yang dikenal dengan keislamannya yang masih sangat kental.