Unparalled view of Prague Old Town Square
Terdiam sejenak melihat langit yang bermain dengan gradasi warna. Kota kecil yang begitu memesona mata saat matahari baru tiba di pagi hari dan mulai pergi di sore hari. Prague, kota yang menjadi begitu ramai karena menyamai kota Paris dalam hal kecantikannya. Kota ini menjadi overrated karena sering memerankan latar cerita cinta. Meski begitu, saya tak mengelak kota ini juga membuatku jatuh hati, pada keindahan fajar dan senja nya yang tak dapat dirangkai kata-kata.


Rabu pagi menjelang siang kemarin, saya menjemput teman juga sahabat saya sejak sekolah menengah pertama ini keluar rumah. Oh, berarti pertemanan kita sudah berumur lima belas tahun, jadi ketahuan deh umurnya, hehe. Kami bertolak langsung ke sebuah kafe kecil di Kemang Selatan. Dulu namanya Warung Kopi Sruput, tapi sejak tahun 2016 ini berganti nama menjadi Locarasa Gelato Coffee and Cookies. Duh kepanjangan ya, jadi saya singkat Locarasa saja. 

Brühl's Terrace

Perjalanan Berlin - Prague yang memakan waktu kira-kira lima jam dengan bus, membuat kami singgah beberapa jam di Dresden, kota tua di Jerman yang berbatasan langsung dengan Republik Ceko. Hanya sekadar singgah, sembari menunggu bus berikutnya yang berangkat ke Prague. Pemberhentian bus ada di Dresden Central Station, di mana kami juga menitipkan tas di luggage storageKami berjalan mengelilingi bangunan-bangunan dengan arsitektur baroque (antara abad 16-18) di bawah langit biru dan sedikit matahari terik.



Aktifitas biasa yang bukan jalan-jalan, seperti belanja ke pasar dan supermarket, nyari jajanan, menghabiskan waktu di rumah atau ngobrol dengan si host. Selama perjalanan keliling kota di Eropa, waktu yang paling banyak kami habiskan dengan aktifitas bukan jalan-jalan adalah di kota Berlin dan Reykjavik. Di Berlin, kami main ke Mauerpark ke tempat berkumpulnya warga lokal di akhir pekan, makan currywurst kesukaan warga lokal, menikmati musik jalanan dimana-mana, leyeh-leyeh di pinggir sungai Spree, dan membeli kacamata.

Berpindah-pindah. Inilah yang kami berdua lakukan selama dua tahun hidup bersama. Kami fokus mengejar cita-cita, dan mengesampingkan "itu" untuk sementara waktu. Meski dulu kamu sudah mempersiapkan itu, saya tahu, bahwa ada yang lebih penting dari itu. Maka, di manapun asal ada kamu, aku mau hidup dimana saja. Termasuk juga repotnya pindah kesana-kemari. Dan dua minggu lalu, adalah aku berdoa menjadi satu kali terakhir sebelum menetap ke tempat berteduh yang menjadi impian kita.


Ceritanya hanya obrolan iseng di suatu kedai kopi di Jakarta, tempat kita biasa kopdar impulsif di sela-sela waktu setelah pulang kerja. Sudah beberapa kali kami melakukan perjalanan sendiri-sendiri dan kadang jadi kangen pengen jalan-jalan bareng. Jadi kemana kita sehabis ini? Trip yang murah meriah yuk karena budget trip tahun ini sudah mulai habis. Tercetuslah jalan-jalan ke Purwakarta, naik gunung Lembu dan rekreasi di sekitaran waduk Jatiluhur. Hari H minus seminggu, ternyata ada yang labil ngajakin ke Loji. Apaan tuh Loji, saya googling gambar yang muncul rata-rata pohon pinus dan jembatan. Bagus sih. Kami pun di grup whatsapp yang menamakan diri "Kapan kita kemana" yang ngga pernah ganti nama sejak setahun lalu dibentuk ini pun jadi galau. Sampai H minus sehari, kami masih labil dan akhirnya memutuskan untuk ke Loji. Kita piknik-piknik cantik aja karena lagi males naik-naik gunung.

Loji, perpaduan lebatnya hutan pinus dan eloknya canopy


EAST SIDE GALLERY
-









Tidak jauh dari Cochem town, berdiri Burg Eltz, sebuah kastil yang berada di atas bukit di kelilingi oleh hutan dan sungai. Burg Eltz adalah kastil jaman pertengahan yang masih dimiliki oleh House of Eltz, keluarga bangsawan Jerman. Dari beberapa kastil yang berdiri di sepanjang sungai Rhein, Burg Eltz merupakan salah satu kastil yang masih berdiri kokoh dan masih dijaga.


Satu tahun yang lalu Mei 2015, saya terdampar di tulisan nya mbak Patricia  deBagpacker saat blogwalking. Sejak itu, saya pasang foto tempat ini jadi wallpaper di ponsel saya. Saat itu saya bertekad, kalau saya ke Jerman saya pasti akan ke tempat ini. Dan jadilah hari itu (17/08/2016) kami benar-benar terdampar di kota kecil, yang kata orang jerman asli, seorang kenalan di jalan, you've come to the cutest town in Germany.

Road trip — a way to draw closer the feeling of being far away from home. I enjoyed every moment when we take the road trip. Thus It's hard for me to fall asleep when we're on the road. And that is the time when my random thoughts circling around my head. 

Driving the ring road in Iceland by ourselves was our plan. But both of us cannot drive, so the only thing we can do to enjoy the road in Iceland is by taking bus tour. At first, we thought that we couldn't fully enjoy because of the "tour" thing. But, luckily we got an awesome driver and a tour guide that take us to some places that is not in the list and stop wherever there is a nice view (even it's just for 5 or 10 minutes). We also got the front - right seat, where Bre and I could see the road clearly without any obstacles. 

Some sceneries will take my eyes for long time. Then I'll take a deep breath, to make sure this isn't a dream.


Tidak ada yang menyapa kami pagi itu, kecuali supir bus yang membawa kami ke Fisherman Bastion yang ada di puncak bukit. Host kami pun masih tidur, karena jam 6 pagi kota ini belum bangun. Kami baru sampai Budapest sore kemarin, namun ia telah memikat hati kami. Maka esoknya kami bangun lebih pagi untuk menyapa Budapest yang memesona. Jó reggelt, Budapest! (Selamat pagi dalam bahasa Hungaria).


Pasar. Saya suka sekali pasar. Pasar itu berwarna. Di pasar banyak hal yang bisa kita lihat. Di pasar warga lokal berinteraksi satu sama lain. Di pasar saya menemukan banyak hal.


Kalau ditanya berapa persen perjalanan 50 hari keliling Eropa kami yang sesuai dengan rencana, saya akan jawab hanya 30%. Sisanya adalah kejutan. Begitu juga dengan Belgia, saya tidak memasukkan nya ke itinerary perjalanan kami. Jadi ceritanya sebelum berangkat, saya mencoba menghitung kembali anggaran selama di Eropa dan ternyata biaya hidup di Belanda lumayan tinggi. Maka saya mencoba memangkasnya dengan menyelipkan negara Belgia selama empat hari tiga malam. Tidak akan terpikir kota-kota cantik di Belgia seperti Ghent atau Antwerp akan masuk ke dalam itinerary, hanya Brussels, ibu kota Belgia yang terlintas di kepala saya waktu itu.


The best chocolate in the world. The best ... blablabla.

Saya kira kebanyakan guide atau beberapa tulisan mendeskripsikan sesuatu secara berlebihan sebagai the -est / the most -paling. Mungkin tujuannya biar kita "mau mencoba" atau "mau merasakan" sesuatu yang baru sehingga wajib kita masukan ke bucket list. Padahal bisa jadi hal-hal tersebut sebetulnya subjektif. Tapi pada akhirnya, memuaskan rasa penasaran, mencoba hal baru, dan menambah pengalaman merupakan hal yang lumrah bagi para pelancong. Dan memanjakan perut adalah wajib selain memanjakan mata saat mengunjungi suatu kota. 



Saya menggunakan atasan baju lapis dua, sweater dan jaket polar. Untuk bawahan celana semi jeans dengan sebelumnya saya lapisi celana triatlhon yang menempel di kulit. Tak lupa kaos kaki dan sarung tangan polar. Semua itu tetap saja tak mampu menahan dinginnya bandara Keflavik di tengah malam. Yap, kami menginap di bandara setelah kembali dari 14-hours tur ke South Coast dan Jokulsarlon.



aku pergi jauh
melepaskan mimpi-mimpi
melumpuhkan ketakutan 
menapaki jalanan
tersesat dalam labirin-labirin sempit
terjebak rumit kehidupan
lalu berhenti sesaat lelah
dan kembali menapaki jalanan
semakin jauh,
semakin aku sadar aku tak tahu apa-apa


Waktu yang kami habiskan di Utrecht lebih banyak di rumah Marije, host kami selama di Utrecht. Hujan yang sejak kemarin belum berhenti bikin kita males keluar rumah. Jadi kami di rumah nyuci baju, ngejemur dan masak-masak. Ngirit banget lah pokoknya selama di Utrecht. Dari empat hari di sana, kami ke pusat kota hanya dua kali, itu pun setengah hari. Suasana perumahan tempat kami nginep pun sepi dan tenang banget. Marije, yang suka yoga ini bercerita, kadang kala saat dia nginep di rumah pacar nya di Amsterdam dia suka kangen sama Utrecht, rasanya damai di sini. Kalau alasan saya kenapa milih kota ini sih sepertinya random banget. Pernah baca di majalah (lupa apa majalahnya) kota ini kota pelajar, jadi ngga terlalu rame dan bising. Dan berikut tempat-tempat yang kami kunjungi setelah secara random memilih Utrect sebagai kota persinggahan kedua kami di Eropa.


Rasanya menjadi suatu wajib ke Belanda untuk mampir ke Zaanse Schans, desa kecil yang lokasi nya sekitar satu jam dari Amsterdam menggunakan transportasi umum. Desa yang nampakin ke-Belanda-an ini punya semua yang jadi khas Belanda. Ada kincir angin, sungai-sungai kecil, sepatu bakiak, dan keju (yang ngga ada Red Light District). Untuk ngelilingin desa ini kita ngga dipungut biaya, masuk ke rumah keju nya aja free, kita bebas nyobain testernya. Kecuali untuk masuk ke museum-museum nya baru kena biaya. Dan juga toilet umum ke charge rata-rata toilet €0.5 - 1, duh lumayan banget kan sekali pipis kena 8 ribu! Di sini air gratis (tap water di mana pun bisa diminum), tapi pipis bayar. Hahaha.


Kalau malam sebelumnya Bre mengajak saya mengintip Red Light District yang sangat ramai dan penuh sesak, pagi ini saya memilih untuk menikmati suasana pagi di kompleks para seniman dan studio seni di Jordaan District. Cukup berjalan kaki dari hostel, karena memang hostel kami berada di pinggiran Central Amsterdam.

Belanda itu sepeda, sungai, jembatan, kincir angin, sepatu bakiak, dan keju.


Pertama kali (2016/08/09) kami menginjakkan kaki di Eropa adalah Belanda, yang dulu nya pernah ngejajah negeri kita tercinta ini lama banget lho. Makanya sebagian bahasa nya mirip-mirip kayak korting, gratis, keran (kraan), apotek (apotheek), kassa, dan lain-lainnya yang bisa dijumpai di beberapa tempat. Kalau kenapa kami memilih Belanda sebagai pintu masuk pertama adalah karena aplikasi visanya mudah. Lewat imigrasi Belanda di Schipol Airport kami juga ga lama-lama, hanya dicek paspor saja.


8 Agustus 2016. Pagi yang sendu karena hujan, kami diantar ke Bandara Soekarno Hatta. Baru kali ini Mama dan Bapak meminta untuk mengantar kami, karena biasanya solo traveling pun saya selalu berangkat sendiri tak ada yang mengantar. Mungkin karena perjalanan ini bukan sehari dua hari, bukan seminggu dua minggu. Seperti mau pergi jauh, kali ini saya dan bapak berpelukan erat. Begitu dengan mama, peluk dan cium. "Mah, impian kakak terwujud. Makasih ya mah udah mendukung sampai saat ini.

Bersama full time-travel mate di Terminal KLIA Malaysia, menunggu penerbangan ke Doha. 


Malang, kota tercinta. Tempat Bre dilahirkan dan dibesarkan hingga merantau ke Jakarta. Kota yang sekarang menjadi kota yang selalu bikin kangen karena sejuknya dan hangatnya keluarga. Sudah hampir satu tahun kami tidak pulang. Bre yang sudah jadi anak perantauan kembali pulang melepas kangen. Saya pun jadi ikutan kangen juga dengan Bromo.

Selain banyaknya mall yang tersebar di setiap sudut jalan, variasi kuliner dan wahana bermain yang ada di Jakarta, kita ngga akan pernah kehabisan ide untuk menikmati akhir pekan di Jakarta (selama punya duit). Terus kalau misalnya sudah bosan dan kantong lagi kempis, kemana dong? Saya akan jawab berdasarkan pengalaman pribadi menghabiskan tiap akhir pekan dengan anggaran minim namun sarat petualangan yang ngga jauh-jauh dari Jakarta. 

Weekend Escape: Canopy Trail Gunung Gede



Kepingin ngeliat yang hijau-hijau dan menghirup udara yang segar? Ngga perlu harus naik gunung. Cukup ketemuan sama teman-teman di Stasiun Bogor, paksa salah seorang buat minjemin mobil dan ajak temen yang jago nyupir, lalu meluncur lah ke Cibodas. Kalau mau piknik bisa masuk ke taman, kalau mau lebih kece dan lagi mainstream cobain canopy trail. Cerita lengkap dan foto bisa diintip di sini.

Sebelum membooking penginapan, baiknya menyusun itinerary terlebih dahulu. Tanggal berapa kita akan menginap, lokasinya, dan aktivitas apa saja yang akan dilakukan saat berada di sana. Sehingga kita bisa menentukan pilihan terbaik akan menginap di mana. Belum tentu penginapan AirBnB lebih murah dari hotel atau hostel. Terkadang harga penginapan di hotel atau hostel bisa lebih murah dibandingkan penginapan AirBnB, contohnya saat kami memesan penginapan di Cochem, listing AirBnb yang tersedia di kota kecil di Jerman itu paling murah seharga 1juta-an rupiah permalam, sedangkan hostel dengan double bed per malam memiliki tarif 600-700 ribu rupiah. Ternyata tarif hostel lebih murah dari AirBnB. 

Juga soal lokasi, kebanyakan listing AirBnB yang memiliki tarif rendah, lokasinya jauh dari pusat keramaian kota. Harus pintar-pintar mengatur strategi karena semakin jauh lokasi dari pusat kota maka akan ada biaya transportasi lebih untuk commute. Saya memilih penginapan yang lokasinya tidak jauh dari stasiun, trem dan halte bus. Setidaknya dapat ditempuh dengan berjalan kaki kurang dari 2km. 

Membuat akun dan verifikasi 

Buka dulu halaman https://www.airbnb.com/c/nandriani7 sebelum mendfatar biar kamu bisa dapat kupon
Lumayan kan? :)

Segala preketek berkas untuk ngajuin visa

Alohaaaa.... Akhirnya visa kita granted! 

Baru deh saya posting artikel ini. Selama dua minggu menunggu hasil visa, perasaan campur aduk. Rasanya sudah ngga terhitung lagi berapa kali saya diare karena kebanyakan pikiran. Berikut adalah pengalaman kita (lebih tepatnya curcol) mengurus persiapan visa schengen selama kurang lebih empat bulan.

Candi Tinggi, salah satu candi di kompleks Candi Muaro Jambi
Sumber: http://destinasian.co.id/ Foto oleh Muhammad Fadil

Meski saya suka mengunjungi situs bersejarah, tapi saya sendiri bukanlah pecinta sejarah. Mungkin karena dulu pas sekolah nilai pelajaran sejarah saya selalu bikin remedial. Hehe.. Maka nya jarang sekali saya menulis tentang sejarah. Tapi mencoba menulis tentang sejarah menjadi sebuah tantangan. Harus mencari berbagai sumber dan mencoba menyatukannya menjadi sebuah tulisan yang mampu menyampaikan informasi. Kali ini adalah tentang Candi Muaro Jambi, Candi Hindu Budha terluas yang ada di Indonesia.

Lembar entry check dan lembar urutan berkas

Pagi yang cerah, seperti biasa di hari kerja jalanan penuh ramai kendaraan roda dua dan empat yang beradu kayak balapan. Saya dan Bre memilih untuk memarkirkan si kuda merah di Halte busway Ragunan. Ikut mengantri bus berbarengan dengan para pekerja 9-5 di ibukota. Pukul setengah tujuh, kami memilih antrian berdiri agar lebih cepat dapat bus. Seperti biasa saya pasang ipod, volume suara setengah, dan sembari mengobrol dengan Bre. Beberapa topik dibahas agar kami lupa akan gugup yang menerjang sejak semalam. Perjalanan hampir satu jam itu akhirnya tak terasa karena kami sudah sampai Halte Kuningan Timur, halte busway terdekat dari Kedutaan Belanda. Masuk ke Kedutaan Belanda lewat pintu samping (Jalan Besakih), yang ternyata hanya berjarak 400 meter dari halte.

The way to find serenity
~
I always have bizzare feelings everytime I see the beach. I don't know why. I really can't explain them with words. But, the feeling of peacefulness fill in my entire body and soul. 




I can see it very clearly now.
My dream is real and very beautiful.
It’s so beautiful that it’s driving me crazy.
I’m looking forward to the day I can realize that dream.
And also, the process of accomplishing that dream has been very enjoyable.


~SSD

5 days for forever. A beach to remember.
December 30th 2014 | Similan Islands, Phang Nga Thailand



Judulnya harusnya sih Papatheo bukan Sepa, karena dari awal kami (saya dan Nisa) berdua bikin trip kemping ceria, tujuan utama weekend escape kemarin adalah Pulau Papatheo, salah satu pulau pribadi yang terletak di utara Kepulauan Seribu. Setelah coba bernegosiasi dengan si penjaga pulau Papatheo, beliau melarang kami mendirikan tenda di sana karena memang si "empunya" pulau tidak mengijinkan. Kakak Nisa masih mencoba bernegosiasi, saya sendiri sih udah males karena melihat kondisi pulau Papatheo nampaknya kurang keceh. Apalagi dengan banyaknya sampah di bawah dermaga dan juga kondisi pulau yang nampak kurang diperhatikan.



Bandara Don Muang (DMK Airport) tidak lah sebesar Swarnabhumi Airport. Ukuran bandara nya lebih kecil jadi kita bisa jelajahi dari ujung ke ujung tanpa membuat kaki pegal. Karena kami sudah tau bakalan singgah lama di bandara ini, maka sebelum berangkat saya pun iseng mencari alternatif untuk membunuh waktu di Bangkok. Saya sendiri baru pertama kali ke Bangkok (23/11/2015). Tadinya kepikiran mau ngeksplor kota, namun karena lokasi bandara yang jauh dari kota jadi kami mencari lokasi yang dekat dari bandara. Sepertinya sih lalu lintas di Bangkok ngga jauh beda sama Jakarta, dari pada kejebak macet jadi kami memilih alternatif yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. 


Makan siang di Magic Food Point


Kami sampai di DMK Airport sekitar jam setengah satu siang. Tentu hal pertama yang kami cari adalah makanan. Makan di dalam bandara tentunya cukup menguras kantong, maka kami mencari kantin staf yang lokasinya pasti tricky buat wisatawan. Berkat petunjuk dari blog ini, kami mencoba menyusuri koridor yang ada di bagian kanan bandara. Tapi jadinya kami malah nyasar-nyasar di parkir basement. Setelah coba nanya-nanya ke petugas parkir akhirnya kami sampai juga di Magic Food Point yang lokasinya sebetulnya lebih gampang digapai kalau kita keluar dulu dari Departure Hall. 

Porsi lengkap berdua gini cuma 30 ribuan lho!


Satu cup besar teh tarik melepaskan dahaga setelah tiba di Bangkok, yang panasnya ngga beda jauh sama Jakarta. Untuk bisa makan di Magic Food Point, kami diharuskan membeli voucher makan dulu yang nantinya bisa ditukar kembali kalau sisa. Jangan khawatir untuk yang muslim, di bagian paling pojok kiri terdapat counter makan halal yang penjualnya sangat ramah. 


Brew pesan es teh tarik lagi

Magic Food Point


Temple Wat Don Muang Phra Arramluang


Tahun sebelumnya kami sempat main ke Phuket dan Krabi tapi yang kami lihat sepanjang waktu hanya laut, pantai dan pantai. Dan untuk kami yang baru pertama kali ke Bangkok, rasanya ngga afdhol kalo ngga mampir ke salah satu temple nya. Dan di sinilah temple yang letaknya bersebrangan dengan bandara, cukup ditempuh dengan berjalan kaki saja.

Katanya sih templenya ngga semegah seperti tourist attraction lainnya di pusat kota Bangkok
tapi cukup menarik untuk dikunjungi


Jembatan penghubung dari bandara ke temple. Temple ada di sebelah kiri.


Sayangnya di sana lagi sepi, jadi ngga bisa nanya-nanya. Kami hanya masuk ke pelataran nya saja. Saya sempat dikelilingi anjing-anjing penjaga yang menggonggong. Brew bukannya nolongin malah ngumpet. Saya diam aja sampai mereka pergi lalu jepret-jepret sebentar dan meninggalkan pelataran. Mampir ke kios yang berjejer di sebrang pertigaan jalan. Melihat banyak sekali snacks yang dijajakan bikin ngiler tapi karena ngga tahu halal apa engga jadi ngeces aja deh. 

Menuju pertigaan depan mencari jajanan

Food stall yang bersebrangan dengan Bandara

Belanja Oleh-oleh

Ini optional banget buat yang masih punya sisa duit ngetrip dan kayaknya butuh cindera mata buat disimpen sendiri. Hehehe. Saya sendiri selama di HongKong dan Macau ngga beli apa-apa karena di sana apa-apa mahal, jadi deh beli gantungan kunci di Bangkok buat kalau ada yang maksa minta oleh-oleh. Sambil wara-wiri karena masih banyak waktu, saya muterin beberapa toko oleh-oleh di dalam bandara.


Toko yang paling banyak bertebaran di dalam Don Mueang Airport adalah Mapas. Di tiap lantai pasti ada, di beberapa bagian juga ada, jadi jangan khawatir kalau di toko di bagian ruang tunggu jenis gantungan kunci dan kartu pos nya ga variatif, di lantai atas masih banyak bertebaran. Harganya juga sama saja. Selain menjual souvenir, Mapas juga menjajakan camilan oleh-oleh dan berfungsi juga seperti convenience store. 

Mapas yang ada di ruang tunggu diluar counter check in

Selain Mapas ada Chitralada Shop yang lokasinya di lantai mmm saya lupa. Pastinya keliatan banget kok kalo kita jalan-jalan di sekeliling bandara. Toko yang ini lebih unik karena barang-barang yang dijual sepertinya hasil dari kerajinan tangan jadi bukan barang pabrikan seperti yang ada di Mapas. Harganya agak lebih mahal tapi cocok banget untuk yang suka barang-barang unik untuk koleksi pribadi. Saya sendiri suka banget sama topi-topi lebarnya, sayang males bawanya ribet.

Cobain ini dan itu tapi ngga jadi beli :p

Menikmati sunset dari balik jendela Gate


Kalau yang ini pastinya bonus kalau kamu dapat penerbangan nya malam hari. Sambil menunggu boarding time yang tak kunjung jelas karena delay, kami duduk menghadap jendela. Sambil ngemil ayam goreng tepung dari KFC yang terpaksa kami beli karena sudah mendekati jam makan malam, memandang langit merona jingga menjadikan akhir petualangan kami semakin syahdu. Selamat menikmati Bangkok 5 jam!

Gara-gara delay jadi bisa lihat sunset dari boarding room

Setiap sudut Kota Macau yang kami jelajahi memiliki masing-masing cerita untuk nanti. Dan cerita kami di Macau berakhir di desa Coloane, salah satu tempat paling romantis yang tidak dipadati turis. 


Sehabis menjelajah Taipa, kami memutuskan untuk menikmati matahari tenggelam di pantai Hac Sa atau Cheoc Van yang ada di Coloane. Karena lokasinya yang lumayan memakan waktu menggunakan bus, sejak pukul 4 sore kami mulai mencari pemberhentian bus menuju Coloane. Lumayan memakan waktu karena pemberhentian bus di sekitar Ruo Do Cunha tidak menunjukan rute ke Coloane. Jadilah kami jalan memutar-mutar mengikuti peta untuk mencarinya. Beginilah kalau tanpa GPS, selain modal peta, insting juga bekerja. Setelah berjalan hampir dua kilometer dari Taipa House Museum (karena memutar), bolak-balik nanya, kami pun sampai di halte bus di Olimpica Avenue. Di sini ada rute bus No. 26A menuju Coloane, sayang nya bus yang datang selalu penuh dan sangat jarang. Hampir satu jam kami menunggu, sehingga langit yang semakin jingga terpaksa kami nikmati dari halte bus.

Perjalanan bus dari Taipa menuju Coloane memakan waktu sekitar 45 menit. Di dalam bus, kami berdua berdiskusi untuk memutuskan apakah akan memaksakan ke pantai atau ke desa Coloane. Akhirnya kami putuskan untuk makan di Lord Stow bakery yang ada di desa Coloane, karena perut yang udah keroncongan semenjak sore. Kami sempat terkecoh dengan lokasi pemberhentian yang pas ke desa Coloane, lalu seorang kakak yang sepertinya baru pulang bekerja pun membantu kami. Dari sekian banyak warga lokal yang berinteraksi dengan kami selama di Macau, kakak yang saya lupa menanyakan namanya ini lumayan fasih bahasa Inggrisnya, sehingga kami pun nyambung. Ternyata kami turun di halte yang sama, ia mengajak kami berjalan bersama melewati gang-gang sempit sehingga kami bisa langsung sampai ke pinggir pantai. Kami berpisah di belakang gereja St Francis Xavier, sepertinya ia sedang buru-buru sampai kami lupa berkenalan. 

Gereja St Francis Xavier
Hari pun hampir gelap saat kami sampai di Desa Coloane. Tepat di depan gereja adalah bibir pantai dengan latar kota Guangdong. Di samping kiri gereja terdapat restoran yang mengiringi malam dengan lantunan lagu-lagu syahdu dari negeri barat. Menambah suasana yang makin romantis saja kala itu. Jalanan pun tidak begitu ramai, hanya ada mobil-mobil parkir yang tertata rapi. Kami pun duduk berdua menghadap pantai, bercengkerama sampai terlupa bahwa kami sedang lapar. 

Sisa senja yang kami nikmati sebelum gelap menyelimuti desa.

Setelah hari benar-benar gelap, kami berjalan menyusuri bibir pantai menuju Lord Stow Bakery yang ada di ujung jalan. Mungkin karena sudah malam, jadi antrian tidak begitu banyak. Kami memesan takeaway satu Portuguesse Egg Tart (kesukaan doi), satu cup Serradurra, sepotong choco cheese cake dan dua gelas homemade lemon tea dan es cappucino. Kebanyakan orang memesan kue di sini untuk dinikmati di pinggir pantai. Tentu saja kami juga, membawa dessert yang kami jadikan menu utama makan malam ini kembali ke tempat kami pertama saat tiba di depan gereja St Francis Xavier. 

Di dalam toko Lord Stow Bakery, tepat dibelakang saya mengambil gambar
adalah deretan mesin pendingindan rak-rak kue
Klimaks drama

Sambil makan malam istimewa -duduk di dinding pembatas jalan dan pantai, kami disuguhi gemerlap kembang api dari sebrang. Kalau di film-film drama mungkin ini klimaks dari kisah cinta di mana kedua tokoh utama akhirnya bisa bersatu setelah sekian lama saling memendam rasa. Halah. Berbagai cerita kami bagi malam itu, termasuk uneg-uneg selama hidup bareng. Dan juga kebahagiaan yang tidak cukup diungkapkan dengan kata, hanya saling pandang saja. 

Satu tahun, hanya permulaan saja. Masih banyak lagi cerita yang menanti.