Satu lagi, teman.

Menghabiskan sisa sore dengan teman dan segelas kopi. Itulah senja, lalu ribuan ide pun lahir sama seperti saat senja yang memunculkan ribuan kerlip lampu Kota Bandung.




Weekdays on the job and weekend on the trip. Membuat saya jadi jarang meluangkan waktu untuk menuliskan isi hati atau sekedar mencatat jurnal perjalanan yang akhir-akhir ini menjadi singkat karena sulit sekali untuk bisa dapat libur yang panjang. Nah, karena saat ini saya sedang nabung untuk next trip yang panjang makanya sudah dua akhir pekan saya habiskan dengan belajar berenang di kolam dekat rumah (*bukan empang lho) dan ber-leyeh-leyeh di rumah. Ketika berencana menulis tentang pantai Klayar, saya malah terhanyut dalam cerita tentang sebuah kota.

Pertama kalinya nge-backpack ke Yogya (2009)
Sampai begitu alay nya foto di depan stasiun

Yogyakarta. Kota yang adem tentrem buat menghabiskan waktu di masa tua ini adalah salah satu destinasi yang membuat siapa pun akan terkenang dengan memorinya seperti yang terkutip dalam lirik lagu Kla Project. 


pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu..
masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna..
terhanyut aku akan nostalgi,
saat kita sering luangkan waktu
nikmati bersama suasana jogja...
...



Dan yang membuat saya tahun ini dua kali mengunjunginya. Yang kedua baru saja tiga minggu yang lalu. Saking seringnya main ke Yogya, sampai ada yang mengira saya ini orang Jogja.  Maka seandainya ada yang bertanya saya ini orang asli mana, maka dengan pedenya saya akan menjawab, "Gue dari Gunung Kidul, Yogyakarta." Hahaha.. Memang kelihatan ndeso, tapi jujur saya sangat bangga sekali dengan kabupaten ini. Meski kawasan karst makanya daerah ini sangat tandus dan miskin, tetapi pantai-pantainya yang perawan, goa-goanya yang megah, penduduknya yang ramah serta udaranya yang sejuk membuat saya tak pernah bosan main ke sana. 

Ray of light di Goa grubuk
Di pantai ini, pertama kali nya saya tidur beralaskan pasir dan beratapkan langit.

Tahun lalu, ketika saya mendapat kesempatan jalan-jalan gratis dari ACIdetikcom, destinasi yang saya eksplor salah satunya adalah Yogyakarta. Selama 5 hari saya habiskan waktu di  Kaliurang atas, Kota Gede dan Gunung Kidul. Di ulang tahunnya yang ke-255 saya pun mendapat kesempatan untuk merayakannya bersama warga Yogya.  

Pentas seni antar daerah yang diadakan malam sebelumnya di depan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret


Kalau saya ingat-ingat lagi, pertama kali ke Yogya adalah ketika studi tour SMA(2006). Tapi hanya semalam sehingga saya hanya tau Malioboro. Setelahnya, bersama dengan keluarga, dengan teman kuliah, dan sendiri. Sehingga di blog saya tersebar cerita-cerita tentang Yogya.  Cerita saya dengan sahabat-sahabat di Yogya yang saya tulis bulan April lalu saat saya singgah di kota ini. Tentang Mangunan, bukit dengan view yang sangat waaah. Atau gara-gara film saya sampai terdampar di tempat yang sejuk ini di Sendang Sono. Serta beberapa tulisan saya di blog detik. Dan tentunya tentang pantai-pantainya yang tak ada habisnya untuk digagahi, seperti pantai Jongwok,  pantai Timang, pantai Indrayanti dan Pok Tunggal, pantai Sundak, pantai Kapenpantai Baron, dan Parang Tritis. Aaah pantai-pantai di Yogya benar-benar menghipnotis. Maka saya punya satu mimpi: menyusuri seluruh pantai di pesisir Gunung kidul dari barat ke timur!

Siapa yang tak suka Yogya? Coba tonton video empat episode ini tentang Yogya. Mungkin buat yang menganggap Yogya itu biasa-biasa saja jadi bisa berubah pikiran. Atau malah tiba-tiba mesen tiket kereta ke sana. Seperti teman saya Ryan, asli Sumatra, yang sampai ketularan bisa bahasa Jawa, katanya "Mlaku-mlaku, dab!" Hahahaa.. buat saya, Yogya tak pernah ada habisnya untuk dijelajahi. Happy traveling!




Penjaja makanan
Sumber hidup masyarakat sekitar Gunung Bromo salah satunya adalah menjual makanan dan minuman untuk para turis. Harga yang dijual tentu saja jauh lebih mahal daripada jika kita membeli minimarket. Tapi perjuangan mereka membawanya sampai ke puncak Bromo? itulah harga yang pantas.



Jangan kusut dulu membaca judul postingan ini. Serius murni nggak ada hubungannya sama sekali dengan Korea. Hanya saja judul ini merujuk pada sesuatu yang berbau korea. Pantai terakhir yang saya kunjungi seminggu yang lalu di pesisir Gunung Kidul, punya nama yang pasti setiap orang dengar akan merujuk ke negara yang terkenal dengan oplas nya itu. Nama pantainya Jongwok. Tuh kan, pasti saat kamu denger nama itu langsung kepikiran SNSD atau Suju hahaha.. Lalu, kenapa saya beri judul Kim Jongwok?

Siang itu, matahari sudah di atas kepala. Perjalanan saya dari Pacitan menuju Yogyakarta memaksa saya untuk singgah di pesisir Gunung Kidul. Saya mencapai pantai Wediombo, pantai yang terletak paling timur setelah pantai Sadeng setelah dua jam duduk di motor menatap jalanan. Pantai Wediombo yang sudah tidak perawan ini bukanlah tujuan saya melipir di pesisir Gunung Kidul. Tetapi pantai perawan yang tersembunyi di balik bukit di sebelah Wediombo. Info pertama yang saya dapatkan tentang pantai  Jongwok ini bukan dari dunia maya, tapi langsung dari travelmate saya di Yogya yang kebetulan beberapa bulan sebelumnya telah mencapai pantai perawan itu. Ya, sesuai dengan judulnya pantai perawan, pantai ini benar-benar masih virgin, lihat saja plang penunjuk jalan untuk menuju pantai ini. Hanya bermodalkan sisa kardus mie, spidol hitam dan dipasang menancap di batang pohon dengan paku karatan. 

Setelah diambil buat foto, saya tancepin lagi kok!
Dari pantai Wediombo, kami menuju timur atau belok ke arah kiri sampai bertemu dengan plang itu. Kemudian kurang dari lima ratus meter, kami berjalan kaki di bawah terik matahari melewati pematang sawah yang sudah panen dan bukit-bukit kecil. Keringat yang mengucur di dahi pun tersapu oleh angin laut. Lelah setelah perjalanan dari Pacitan pun hilang saat kami disajikan warna biru laut dan langit serta suara desiran ombak yang mengalahkan segala jenis musik yg terputar di ipod saya. Pantai Jongwok, merangsang saya untuk menggagahinya. Ah cukup saja dengan foto yang terekam di kamera dan memori yang terekam di kepala.


Saat tiba di sana, ada empat tenda dome yang salah satunya dimiliki oleh dua pasang anak muda dari kota Yogyakarta. Karena barang bawaan saya sebuah keril setinggi kepala saat digendong, mereka mengira saya akan kemping di pantai Jongwok. "Maunya sih, tapi kereta saya berangkat sore ini juga." Kalau saja saya masih free dan tidak terikat kontrak kerja di Jakarta, saya pasti udah nggelar ponco, leyeh-leyeh di pantai sampai sunset. Ah tapi siang itu terlalu terik, saya dan Galang pun mencari tempat berteduh. Jangan berharap ada warung atau toilet di tempat se-virgin ini. 



Matahari yang menyengat membuat saya malas bergerak dari tempat kami berteduh  di balik tebing yang menghalau cahaya matahari. Kami cuma bengong, lalu mulai nggak jelas, dan akhirnya terpaku ke keong kecil yang ukurannya sebesar kuku jari kelingking saya. Keong itu lincah sekali, nggak mau diem saat saat berada di telapak tangan saya karena mau difoto. Pantai Jongwok yang tadinya sepi mulai ramai dengan teriakan-teriakan saya yang gemes bermain dengan si keong kecil.  Saya akan membawanya ke Jakarta, menemani perjalanan saya sendirian di kereta. Kasih nama siapa ya? Galang nyeletuk, Kim Jong-wok