Laut dan nyiur yang menginspirasi.
Pantai Bara. Tanjung Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan | 16 November 2013

Cara menikmati sore yang bijak.
Tanjung Bira, Bulukumba Sulawesi Selatan


Di pojok ruang, kopi di meja dan seorang teman yang mengajak bicara. Januari lalu, belum genap setahun kami bercerita tentang mimpi-mimpi. Saat yang sama di warung kopi. Membuat daftar resolusi di atas kertas. 

"Gue pengen kerja = passion."

Begitu frustasinya saya waktu itu, soal pekerjaan dan masa depan karena saat itu saya baru tujuh bulan bekerja setelah sempat dua bulan menganggur karena masih ingin menikmati liburan setelah lulus kuliah. Saya pun memintanya meninjau ulang apa yang sudah kami share waktu itu. Bukan, lebih tepatnya apa yang saya citakan. Ia pun bercerita, bagaimana posisi saya saat menuliskan resolusi itu sambil menggebu-gebu, bagaimana selama hampir setahun saya menjalani misinya.  

"Beberapa waktu lalu, lo sendiri bilang kalau kerja = passion berarti lo ga bisa enjoy jalan-jalan. Karena lo harus kerja untuk mencapai target dan harus bisa muasin konsumen lo."

Saya tertawa sendiri mendengarnya jawabannya, karena memang itu yang pernah saya katakan padanya sambil mengeluh. Ya, dulu saya ingin kerja = passion. Saya ingin jalan-jalan sambil kerja, atau kerja sambil jalan-jalan lah. Tapi seiring dengan mencoba menjalaninya, saya pun jadi sering mengeluh. Ternyata kalo hobi aja jadi kerjaan, terus kalo jenuh, hobinya kemana? Malah jadi kebalik. Sejak itu saya pun jadi mulai menikmati bekerja di kantor, nabung, lalu traveling. Yap! Ia bilang, "Lo itu sekarang posisinya, menikmati passion lo. Lo kerja keras, nabung, terus jalan-jalan sepuas hati lo tanpa mikir beban apapun."

Daftar resolusi di kertas sebelas bulan lalu adalah saat di mana saya sedang mengejar passion. Pikiran yang terfokus untuk gimana caranya bisa jalan-jalan gratis sambil kerja, atau malah jalan-jalan biar dapet duit. Pikiran sempit. 

"Traveling kalo dijadiin ajang cari duit ya jadinya ribut." 

Begitu kata Om Farchan, seorang penulis perjalanan yang rajin sekali ngetweet sampai saya akhirnya bisa menemukan kalimatnya yang menohok beberapa traveler yang sedang twitwar. Ribut dalam definisi saya adalah ribut dengan pikiran sendiri. Pikiran saya yang waktu itu benar-benar sempit. 

Sekarang saya tak perlu lagi mengejar passion. Nikmati sajalah. Tak perlu lagi mengejar destinasi. Tiga hari dua malam di satu tempat tanpa berpikir harus kesana, kesini. Tak perlu ngejar sunrise karena hujan masih deras, dan lebih memilih selimut dari pada kamera. Bangun agak siang menunggu langit menjadi biru. Melakukan perjalanan sendiri atau berdua saja, demi bisa memahami apa esensi dari sebuah perjalanan itu.

Saya belum tahu apa yang saya inginkan. 
Saya ingin menikmatinya saja.



















Malacca, 21 September 2013

Langit yang masih menyisakan lembayung fajar dari timur di Kampung Naga.
Kami tiba tepat di depan gapura bertuliskan Kampung Naga pukul 4 pagi, sebelum adzan subuh berkumandang. Langit masih gelap, kami pun berteduh di musholla yang ada di sebrang gapura. Perjalanan selama hampir 5 jam dari Jakarta membuat kami ingin menyelonjorkan kaki. Malam sebelumnya (Jumat 23/08/2013), saya bersama dengan 4 orang teman saya dari Jakarta, janjian di Terminal Kampung Rambutan. Dari info mas Efenerr untuk menuju Kampung Naga dari Jakarta, kami bisa menggunakan bus tujuan Singaparna yaitu bus Karunia Bakti. Jadi kami tak perlu transit di terminal Tarogong jika menggunakan bus tujuan Garut. Bus tujuan Singaparna ini pasti lewat tepat di depan Kampung Naga. 

Setelah langit mulai terang, kami pun memulai petualangan kami pagi itu. Sebelum memasuki Kampung Naga, kami melewati sebuah monumen yang baru saja dibangun. Di atasnya ada tugu Kujang Pusaka. Dari situ kami dihampiri oleh seorang yang mengaku dirinya adalah pemandu lokal. Mang Nteng kami memanggilnya. Tanpa kami bertanya, ia pun menjelaskan bahwa untuk memasuki Kampung Naga sebaiknya ditemani oleh pemandu karena kita tidak bisa sembarangan memasuki wilayah tanpa adanya pengetahuan mengenai adat dan budaya di dalamnya. Memang kampung ini masih sangat menjaga budayanya. Kampung yang dikenal dengan keislamannya yang masih sangat kental.


Sudah hampir 3 bulan tak menyentuh catatan perjalanan di blog ini. Bukan karena sibuk dengan pekerjaan, tapi karena menyempatkan waktu untuk beromansa dengan perjalanan terkadang membutuhkan saat yang tenang, ditemani segelas kopi dan musik yang membuat pikiran ku mengapung melayang menuju tempat di sana.




when was the last time you disappeared?




Dan pertanyaan ini membuatku tertohok. 
Dari sekian perjalanan, yang terakhir memblusuk di sebuah perkampungan muslim yang masih bertahan asri di tengah hiruk pikuk kota. Membuat ku mengingat kembali, perjalanan-perjalananku dahulu. Di mana ruang dan waktu tak lagi ku perduli. Menghirup udara dari semilir angin yang ditiup oleh anai, menyapa senyum pagi dari mereka, menikmati segelas teh hangat di dapur yang mengebulkan asap dari nasi yang tanak, mendengarkan alunan nada dari salah seorang seniman pembuat seruling, belajar menggunakan penumbuk beras, mendengarkan sejarah dan cerita, dan mencoba menyatu dengan mereka.

Sebuah pagi di Kampung Naga, Garut

when was the last time you disappeared?
from the life in the concrete jungles call cities,
from everyday conversations that have long repetitive,
and the rest of those regular scenes?

when was the last time you really had enough time to sense any of these?
the scent of the beach
the morning dew under your bare feet
the sunset hues
the orchestration of the nature?

when was the last time you floated across the line, over those walls,

and lost your sense of time?

why not now?

- float2nature


Finally, I could touch this island again after one year waiting for the sunset.
Pulau Pari. Kep Seribu, DKI Jakarta |  16 Maret 2013


Sungguh sulit untuk memilih foto-foto yang sudah diunggah para travel blogger. Namun, sebagai host ronde 22 ini saya berkewajiban untuk menentukan pemenang. Jumlah yang terkumpul sebenarnya masih kurang banyak. Saya sendiri yakin, setiap pejalan pasti menemukan matahari di setiap perjalanannya. Hanya saja, beberapa yang bisa beruntung bertemu dengan magic atau golden hour. Karena hanya di saat itulah kita bisa merekam keanggunan matahari. Kriteria yang saya jadikan acuan untuk memilih pemenang sebenarnya simple saja, tentunya yang berhubungan dengan tema. Dan yang menurut saya paling menunjukan tema matahari yang intim sekali dengan perjalanan adalah foto The Emak! Jujur saja setiap melihat fotonya, saya menjadi rindu dengan perjalanan, dan merindukan setiap matahari yang saya temui di pagi hari. Ketika di rumah saya malas sekali untuk bangun pagi, maka di rumah kedua saya (*tenda) saya akan rela bangun pukul 5 pagi, tentu untuk bercumbu dengan matahari!


Selamat untuk The Emak, untuk menjadi host ronde berikutnya. Terima kasih untuk para travel blogger yang sudah menggunggah foto-foto mataharinya. Ditunggu ronde berikutnya!

Salam rindumu untukku lewat ombak dari pulau dewata telah sampai ke sini sayang..
Jarak pun berlalu.

Seperti kerinduan akan senja yang tak pernah sama,
Jogja selalu membuatku rindu. (26 Mei 2013)


Halo! Temu kembali di turnamen foto perjalanan yang kali ini udah masuk ronde 22! dan saya menjadi tumbal (eh tuan rumah) untuk ronde ini. Awalnya sempat bingung, sejak ronde 5 mulai gak ngikutin lagi karena sibuk aktivitas di kantor dan tentunya traveling sendiri hingga mulai jarang up-to-date. Sekalinya mulai nguplod eh kepilih, thanks @pergidulu yg memilih foto seorang bapak yang sedang berangkat kerja ini buat jadi pemenang di tema jalanan. Jadi hampir seminggu saya ngilang dulu buat semedi di Goa nyari tema yang asik buat ronde 22 ini. Ada beberapa tema yang sempat jadi masukan, dari tentang strangers, self potrait dan ray of lights. Namun akhirnya saya memutuskan satu tema yang semoga selalu menjadi teman setia perjalanan kita, yang selalu dipuja kehadirannya, Matahari!



Mentari, matahari, sang surya. Ia sumber energi, penerang jalan, dan penunjuk bahwa hari masih ada. Ia memiliki banyak cerita di setiap kehadirannya. Menerangi tiap langkah yang kau jalani. Ia pun tidak hanya melulu tentang sunrise dan sunset. Ia berjaga bergantian dengan malam. Menunjukkan adanya kehidupan. 

Bagi para pejalan, matahari selalu menjadi idola. Lihat saja, jika langit mulai gelap, matahari bersembunyi, mungkin pertanda akan turun hujan, sebagian dari kita pasti jadi malas keluar. Padahal keluar dari rumah, adalah langkah awal dari perjalanan yang akan kita lalui. Para pemuja senja dan fajar selalu menanti waktu dengan sabar demi bertemu dengannya. Para travel fotografer selalu menyebut-nyebut matahari sebagai model tercantik yang ada di dunia. Para pendaki gunung, rela mendaki berkejaran dengan waktu demi bisa menikmati semburat cahaya pagi dari puncak. 


Setiap pejalan pasti memiliki interpretasi yang berbeda tentang matahari. Mungkin seperti mengejar cita-cita, menemani setiap langkah, dan melihat dunia. Jadi, mari berbagi ceritamu dengan matahari yang ada di setiap perjalananmu!


A misty morning at Pangalengan, Bandung. 
Berjumpa sang surya yang baru terbangun. 
Meniti jalan, melangkahkan kaki demi sesuap nasi. 

Jalan berkabut di pagi, menjadi teman setia memulai hari.

Pangalengan, Bandung 11 Februari 2012

Karena terlalu senang main air.. sampai sok-sok an nyelem pake masker. Padahal niatnya mau berburu foto di sana. Akhirnya cuma ini yang bisa ngegambarin kalau air terjun Cigamea yang terletak di Gunung Bunder, Bogor ini patut dikunjungi. Setidaknya ini tempat terdekat dari Jakarta untuk melepas penat. Daripada menghabiskan uang belanja ke mall atau ngopi ke cafe, nyebur di sini bisa buat fresh lagi! Modal naek commuter line sampai stasiun Bogor, dilanjut dengan sewa angkot patungan ber-sepuluh. Perjalanan one-day trip bareng teman-teman kantor dan pacar kecilku si Ibas ini, cukup menyenangkan dan bikin kita ketagihan untuk bikin trip-trip gembel selanjutnya di sela-sela weekend yang selow!

Curug Cigamea dari jalur trekking


Saya menyusur sungai agak kebawah, karena di atas sudah terlalu ramai

Adeeem..

Serius, monyet-monyet di sini nggak kalah galak sama monyet-monyet di Uluwatu.
Watch out your snacks!

Don't do duck diving there!

Ujung sungai dari aliran Curug Cigamea yang menjadi batas untuk dilalui. Bening men!

Someday he'll be a real adventurer.
(Mengikuti jejak sang kakak)

Anak lelaki ini datang tergesa-gesa menghampiriku dengan keringat yang mengucur dari dahinya. Ia menggenggam dua batang eskrim yang sudah mulai meleleh. Ia berikan satu batang eskrim itu untukku tanpa aku minta sambil tersenyum. Dan bibirku pun langsung mendarat di pipi kanannya. 

Sambil menemaniku merebus mie di dapur, dia bercerita sambil menjilat-jilat eskrim yang mulai membuat tangannya belepotan. "Kalo hukum Islam itu harusnya setimpal kan? Kalo ngebunuh ya harus dibunuh kan?" Wah anak seumur gini kok nanyanya berat banget. "Temen aku, si Ali, dia dikata-katain sama si Andi kalo dia kayak monyet. Eh terus si Ali mukul si Andi. Harusnya kalo dalam Islam si Ali ngatain balik dong, jangan mukul."

Sambil mengusap-usap kepalanya aku mencoba memberinya penjelasan. "Kalau hukum Islam memang harus setimpal, tapi itu gak berlaku di Indonesia. Kalau temen kamu dikatain kayak gitu ya sabar aja. Gak harus dibales kan. Nanti dosanya si Ali berkurang lho. Kalau sama-sama mukul nanti sama-sama sakit kan ga enak." Aku mencoba membuatnya paham sambil sesekali nyengir. Ia pun mencoba memahami perkataanku. "Berarti kalo aku dikatain orang atau dijahatin orang aku aminin aja yah. Nanti dosa aku berkurang." Aku pun mengangguk dan memberi senyuman tanda aku mendukung perkataannya. 

Di situ aku terhelak. Jujur saja seharian ini aku kesal. Aku marah. Aku ingin balas dendam ke orang yang hari ini melukai hatiku. Aku pun sempat kepikiran hal yang tidak-tidak. Aku tidak rela, aku juga ingin membuat dia terluka setidaknya sama seperti apa yang aku rasakan. Tapi perkataanku ke anak lelaki tadi membuatku tersadar. Aku malu. Dalam hati "Sudah ken, bersabarlah. Lupakan saja dan bersyukurlah saat ini kau masih bisa berkumpul dan tertawa lepas bersama dengan orang-orang yang kau kasihi." 

Kemudian kami makan mie rebus di mangkuk yang sama berdua. Sesekali aku menjitak ringan kepalanya. Ibas, adik lelaki ku yang paling kecil ini, yang usianya saja belum genap sepuluh tahun menyadarkanku, betapa pun sakitnya kita dilukai oleh orang lain, bersabar saja dan berbahagialah. Tunggu saja, karena Tuhan selalu punya rencana indah yang kita tidak pernah tahu. 

Love you, 
My little angel


Pose ala pangeran tuksedo bertopeng nya Sailormoon




Masih tentang cerita petualangan saya di Flores Barat, November 2012 kemarin. Setelah sampai Labuan Bajo, maka petualangan saya berlayar dari Lombok sampai Flores pun berakhir saat senja nampak di balik kapal besar yang sedang berlabuh. Dari kapal, saya terburu langsung menuju dermaga demi mengejar sunset dari atas bukit. Namun, senja pun pergi meninggalkan langit, menyisakan kegelapan yang malam itu membuat saya sedikit kecewa. Kenapa kecewa? Karena saya tidak akan lama berada di Labuan Bajo, hanya satu hari (jadwal penerbangan siang hari yang enggak enak banget!), dan yang nggak akan memungkinkan saya bertemu senja lagi di sini.


Setelah malam hari dihabiskan dengan farewell party bersama teman-teman seperjalanan selama empat hari di laut, saya kembali ke penginapan pada tengah malam dengan kondisi badan yang kelelahan. Ojek yang tadinya saya mau sewa untuk antar jemput ke bukit untuk melihat matahari terbit pun saya batalkan. Dan benar, esok paginya saya terbangun memang agak kesiangan, ditambah dengan incident "amukan kamar mandi" membuat saya   malas keluar pagi-pagi. Tetapi, teman saya Tata, yang baru saya kenal dekat di hari terakhir sailing trip, mencoba menenangkan saya dan mengajak saya jalan-jalan keluar berdua. Lalu kami berdua menyewa motor dan langsung ciao menuju Pasar Labuan Bajo untuk hunting kopi Flores. 

Tata, perempuan kalem dan ramah ini selalu membuat saya terhibur.
Terima kasih, Ta :)

Ternyata untuk menuju pasar pun lokasinya tidak begitu jauh, kita bisa menggunakan jasa ojek yang hanya mengeluarkan kocek lima ribu rupiah saja. Ternyata di pasar, lebih banyak ditemukan penjual kopi Flores yang mentahan. Untuk bisa memperoleh kopi yang fresh kita harus memesan minimal sehari sebelumnya, atau dengan membeli satu merk kopi yang banyak dijual di toko-toko. Dari pasar, kami berdua pun langsung bergegas menuju Goa Batu Cermin dengan modal bertanya dengan orang-orang yang kami temui di jalan. Dan memang ternyata lokasinya pun tidak begitu jauh.  

Pak Roni, guide yang menemani kami menyusuri goa.
Saya tak akan banyak bercerita tentang Goa batu cermin, jadi saya lampirkan saja foto-foto yang bisa saya ambil dengan bantuan lampu senter ini, karena memang di beberapa spot berzona gelap abadi. 




Fosil penyu

Dari foto-foto diatas pun kita bisa melihat bahwa Goa batu cermin adalah sisa peninggalan yang memberi bukti bahwa dulu labuan bajo masih bagian dari laut. Terlihat dari adanya fosil penyu, fosil ikan (foto bersama Tata) dan beberapa batuan stalakmit/ stalagtit yang mirip dengan biota laut. Saya pun sempat diantar Pak Roni ke lokasi yang bisa memunculkan cahaya Tuhan sama seperti ray of light yang ada di Goa Jomblang. Namun dia bilang, hal tersebut sangat jarang sekali muncul. Dia sendiri yang sudah empat tahun jadi guide disana belum pernah bertemu. 

Salah satu batuan yang memunculkan kristal.


Goa batu cermin ini tidak seperti goa-goa lain, di mana kita harus melangkahkan kaki menuju kebawah sehingga posisi kita berada di bawah tanah. Beberapa kali kita harus menaiki anak tangga untuk menyusuri goa ini. Setelah sekitar 2 jam menyusuri goa ini, saya pun pamit dengan rekan-rekan petugas di Goa batu cermin yang membuat saya betah ngobrol di sana. Karena jadwal yang mepet saya, diantar Tata menuju penginapan untuk segera bergegas ke Bandara. Sampai jumpa lagi Labuan Bajo! Ah saya yakin, suatu saat saya pasti mampir ke sini lagi. Mungkin janji untuk minum kopi dengan teman lama yang belum sempat terlaksana.