This video represent my answer..



a story for tomorrow. from gnarly bay productions, Inc. on Vimeo.


I've seen this video for more than hundred times. 


Hey you..! Let's make a story for tomorrow!


Belum genap satu bulan setelah menjelajah sebelah barat daya propinsi Lampung, saya kembali ke sana. Bukan karena penasaran, tapi hanya sekedar memuaskan nafsu "bertualang" yang ternyata tak pernah saja puas. Seperti biasa, kami bertolak dari terminal kampung rambutan tengah malam[8/6]. Hujan deras sejak sore di selatan Jakarta, membuat beberapa jalanan banjir dan tentunya macet menjadi imbas. Membuat saya telat dari kantor pulang ke rumah untuk packing. Tak terburu-buru, karena saya ingin tau bagaimana rasanya ditunggu orang karena telat, hehe karena selama ini kalau kumpul saya datang tepat waktu dan selalu jadi orang pertama. Dan ternyata setelah sampai di terminal, semua menyambut heboh, karena saya orang terakhir yang ditunggu. Hahahaha.. 

Setelah menempuh perjalanan hampir 3 jam dengan bus kami sampai di pelabuhan Merak. Biasa saja, tidak seperti ketika kali pertama tiba di Merak dengan noraknya. Kami sampai di pelabuhan Bakaheuni pagi hari setelah fajar melewati garis batas bumi.  

Si gadis petualang dari Bogor
Kami langsung menyewa angkot untuk menuju Dermaga Canti. Tidak perlu kerepotan untuk nego harga dengan supir angkot, karena jarak tempuh menuju dermaga hanya dua jam. Tidak terlalu jauh seperti Kiluan. Barulah sampai dermaga Canti saya heboh. Yap, bertemu lagi dengan laut! *buat saya selat sunda ga dihitung laut, karena naek ferry, laut jadi terasa jauh. 

Ini lho dermaga Canti

Dengan menyewa kapal selama 2 hari, hari pertama [9/6] di sana kami tidak langsung menuju destinasi utama kami, Krakatau. Tapi wisata bahari dan nyelem. Mencari spot-spot asik untuk melihat ikan-ikan menari di dalam air. Pulau Sebuku Kecil adalah pulau pertama yang kami singgahi. Tak ada orang disana, dan memang sangat sepi. Hanya ada saya dan teman-teman dari tim uwee. Saat tiba di Sebuku Kecil, kamera pun mulai panas. Apalagi kalau bukan foto-foto, kebiasaan orang Indonesia sih. Narsis. Hahaha.. Saya pun mencoba menyusuri pantainya, yang ternyata mentok di tengah. 



Pulau Sebuku Kecil memiliki pasir yang putih dan kasar karena tersusun dari bekas karang-karang putih yang banyak bertebaran. Jadi jangan coba bertelanjang kaki untuk memutari pulau ini. Karena tak banyak yang bisa di eksplor dari pulau ini, kami pun langsung menuju spot snorkeling di pulau Geligi. Ah dan saya pun udah nggak tahan buat nyebur. 



Rasanya memang cupu banget nyebur pake lifevest. Saya yang tidak bisa berenang ini pun meragukan kalau nenek moyang saya itu bukan seorang pelaut. Hahahaa.. tak apalah, nanti ada waktunya kok saya bisa nyelem dengan bebas a.k.a free diving seperti abang nicholas saputra. Puas snorkeling kami pun mulai merasa kelaparan karena jarum jam sudah melewati angka 1. Kami menuju pulau Sabesi yang menjadi tempat singgah kami untuk menginap. Kami langsung disuguhi makan siang yang nikmat, sayur asem dan ikan tongkol. Setelah itu kami diajak menuju penginapan yang lebih tepatnya disebut homestay karena kami tak kebagian penginapan di pinggir pantai. Kami pun bersiap main lagi ke laut, nyebur lagi sambil nyari ikan nemo. Dan pulau Umang menjadi tempat kami menghabisi hari hingga matahari tenggelam.



#np ttatw - malino
Malam pun kami habiskan dengan berbincang-bincang di aula makan tentang celana saya yang hampir hilang dan tau-tau ketemu sudah dijemur entah oleh siapa. Lalu kami menepi di pinggir pantai sambil menyalakan api unggun. Bakar-bakaran ikan seadanya dan menikmati malam. Saya pun sempat tertidur di pinggir pantai karena kecapekan. Gimana ngga, pulang dari kerja saya benar-benar belum istirahat sudah berenang seharian. Akhirnya malam itu kami semua tepar, merebahkan diri langsung ke kasur tanpa aba-aba. Bukan hanya karena lelah, tetapi juga karena jam 4 pagi kami semua harus standby untuk nyebrang ke Anak Krakatau. 

Sebelum adzan subuh berkumandang kami sudah di dermaga. Langit masih gelap, sepertinya memang mendung karena tak ada tampak garis-garis fajar di sebelah timur. Perjalanan laut menuju Anak Krakatau membutuhkan kira-kira dua jam dari pulau Sabesi. Banyak di antara kami yang akhirnya ketiduran di kapal. Hanya saya, Mamet, Kibo dan Irwan yang terjaga.  Makanya kami bisa dapet foto kece begini di subuh hari.


Vika dan mbak Sari pun kebangun karena kehebohan kami...
wait... pinky? kalo ga ngejreng bukan Uwee namanya hahaha
Kece kan?
*seneng banget akhrinya celana gue ketemu!
Sampai di tepi pantai Anak Krakatau saya mulai lagi terpesona dan lebay karena bertemu dengan pantai yang pasirnya hitam legam. 



Untuk mendaki Anak Krakatau tidak butuh lebih dari 15 menit kalau kita berjalanan cepat. Saat tiba disana masih sangat sepi. Hanya ada rombongan kami. Kami memang sengaja datang lebih pagi, selain mengejar sunrise. Nggak seru juga kalau puncak Anak Krakatau udah jadi pasar. 




Dan seperti biasa, meski kurang dari lima menit saya akan menyempatkan waktu untuk merenungi diri di sana. Bukan galau lho ya.. tapi mencoba untuk memperoleh makna dengan mengakui keberadaan saya disana. Itulah kali pertama saya berdiri di gunung yang tak berbatas dengan laut. Dulu saya sempat mentwit, tentang gunung apa yang bisa jatuh cinta dengan laut. Ada beberapa jawabannya. Dan Anak Krakatau inilah gunung dan laut yang jatuh cinta yang untuk pertama kalinya saya singgahi. Tentu saja cantik sekali bukan. Gunung yang keberadaanya tepat di tengah samudera. Mungkin kalau saya muluk dengan sedikit bumbu galau, mungkinkah seorang pecinta pantai dan laut seperti saya akan bertemu dengan seorang pecinta gunung sejati dan kami berdua akan jatuh cinta? Ah drama! Lamunan saya pun terbangun karena tiba-tiba diajak foto bareng dengan berbagai gaya di dekat kawah Anak Krakatau. 


Setelah puas bercanda dengan Anak Krakatau, kami langsung menuju Laguna Cabe, pulau kecil yang berbentuk cabe yang bersebelahan dengan Gunung Rakata. Yaks, nyebur lagi sampe puas. Sampai kaki dan tangan pegal karena berenang kesana kemari. Alam bawah laut di sekitaran Krakatau tidak diragukan lagi. Teman saya, om Abe satu-satunya orang paling niat bawa alat *karena doi freediver, dapat banyak sekali gambar-gambar ketjeh. Ini dia hasil jepretan sang master free diving.










Setelah puas snorkeling, kami pun kembali ke Pulau Sabesi untuk makan siang dan persiapan packing untuk kembali ke Jakarta. Lagi-lagi kepikiran buat tinggal di pulau itu muncul lagi, ya rasanya saya nggak mau pulang. Saya belum sampai puncak Anak Krakatau. Makanya saya harus kembali kesini, kemping di Gn. Rakata, dan mendaki lagi Anak Krakatau! 



Ayo ditunggu kapan kita kesana lagi?!

P.S.
Lagi suka banget dengerin payung teduh yang judulnya cerita tentang gunung dan laut, makanya keluar ide untuk bikin tulisan dengan judul yang sama. hehe..

Video perjalanan saya ketika dua kali singgah ke Lampung. Menjelajahi pantai-pantai cantiknya, berdansa bersama lumba-lumba dan mendaki anak Krakatau.



"First time we met after 5 years. You're cozy like your name, always :)"
Pantai Baron, Gunung Kidul | 20 Agustus 2010

Pantai Ciantir

Pantai Tanjung Layar

Pantai Karang Taraje

"Menghilang sehabis daftar sidang."
Pantai-pantai di Desa Sawarna, Banten | 31 Januari - 2 Februari 2012

Setelah banyak sekali rencana untuk mengeksplor pulau sebelah, mulai dari roadtrip sampe nekad traveling berdua sama temen cewe. Saya dan Desi yang memang belum pernah sekalipun traveling bareng, kenalpun karena tahun pertama kuliah pernah satu asrama, mutusin buat gabung sama Backpacker Indonesia, mengingat budget kami terbatas banget kalau cuma berdua. Kami juga nggak mau ikut-ikutan travel agent yang nantinya bakal ngurangin kepuasan liburan kami. Dan memang pas banget saat saya lagi browsing, nemu deh satu forum yang ngadain trip ke Kiluan. Akhirnya rencana ke negeri Andalas yang udah dicoret-coret di dinding kamar dari tahun kemarin terwujud juga di tahun 2012 ini. Meski hanya bisa ngeksplor satu propinsi saja, Lampung. 

Kami satu rombongan ber-tiga belas sampai di kota Bandar Lampung pukul 10 pagi (17/5) setelah sarapan pagi di pasar. Dengan menyewa angkot dari pelabuhan Bakaheuni, setelah nego sana-sini, kami menuju Pulau Kiluan yang terletak di di sebelah barat daya Lampung. Yah namanya angkot, selain surat-suratnya mati, gayanya juga ikutan ndut-ndutan di jalan. Bang Dolly, supir angkot, pun memaksa menggunakan angkot kuning itu, hingga sekali kena tilang. Mungkin penderitaan menggunakan angkot belum sampai disitu, kami disuguhi dulu pantai Klara yang berpasir putih di tengah perjalanan.

Pantai Klara

Pantai Klara mungkin seperti pantai Ancol di Jakarta yang menjadi kunjungan weekend warga kota Lampung. Selain banyak pondok-pondokan kecil di pinggir pantai, banyak ban-ban sewaan buat berenang. Rasanya mungkin nggak traveler banget kali ya, masa mau nyebur bareng anak-anak kecil yang pastinya banyak pipis sembarangan di pinggir pantai, hehehe.. Urung nyebur, kami foto-foto, at least meninggalkan jejak kaki dan mengambil gambar disana. I WAS THERE, Pantai Klara.


Perjalanan kami dilanjutkan langsung menuju Kiluan. Dari sinilah kami mulai merasakan goyangan hebat si angkot karena kondisi jalan ke Kiluan memang sangat tidak mulus. Ditambah dengan sound system yang dahsyat, perjalanan kami semakin seru saja. Apalagi saat salah seorang teman saya akhirnya nggak kuat dan muntah di jalan. Dari situ bang Dolly bercerita sambil jujur-jujuran sama saya, yang ketika itu duduk di depan berdua sama Desi. Dia baru pertama kali ke Kiluan lho *nyaks! pengen banting pintu rasanya, pantas aja sebelumnya dia beberapa kali nanya orang di jalan. Terus, dia juga nekad, dia tau kondisi jalan bakalan jelek, tapi tetep juga dipaksain jalan. Kalau feeling saya sih, buat buka jalur aja buat angkot-angkot lain. Meski sudah biasa dengan goyangan ELF, tapi goyangan angkot ini beda. Yasudahlah, semua penderitaan itupun terbayar saat kami sampai di Pulau Kelapa, tempat kami nantinya dua malam menginap. Aheey.. lauut..!
  
Menepi di pulau Kelapa
Saat tiba hari sudah mulai senja, saya pun hanya duduk-duduk saja sambil menunggu matahari tenggelam yang ternyata tertutup awan. Kami menginap di panggung pondokan milik pak Dirham. Oya, saya dengar cerita kalau ternyata pulau Kelapa itu milik si kakek yang juga tinggal di kamar paling pojok yang masih satu pondokan dengan kami.

Esok pagi kami bangun dini hari demi bisa melihat dolphin menari di samudera. Setelah lama menunggu, saya pun dapat giliran paling terakhit pukul setengah delapan pagi. Berharap tak berharap, melihat lumba-lumba saat hari mulai terik mungkin sia-sia saja. 

Sunrise yang kurang kece
Stres nunggu jukung nggak dateng-dateng
Team yang nggak dapet liat lumba-lumba
Setelah lebih dari satu jam menuju laut lepas, saya yang satu jukung bersama mbak Sharie dan Mamet, akhirnya menjumpai lumba-lumba yang menari. Karena tak henti-henti merekam, saya pun hanya memperoleh satu gambar yang agak kece. Paling nggak bisa ngebuktiin kalo gue beneran ngeliat lumba-lumba loncat di laut lepas.

"Sebenernya, aku nari lho bukan loncat." Kata dolphino.
Setelah mencoba merayu-rayu Bang Emet, nelayan yang membawa jukung yang kami tumpangi, kami pun diberi waktu tambahan untuk melihat dolphino-dolphino lain. Kami bisa melihat lumba-lumba yang berukuran sangat besar yang berenang tepat sekali di bawah jukung. 

Bang Emet, yang ternyata adalah orang asli Jawa ini
sudah 5 tahun melaut di Lampung
Kami kembali ke pulau Kelapa pukul 9 pagi (18/5). Sarapan pagi dengan lauk yang sama setiap kali makan, ikan tenggiri *menurut saya lebih mirip ikan tongkol kecil. Kemudian bersama dengan Dede, seorang bocah lelaki asli Lampung, kami ditemani untuk mengelilingi pulau Kelapa sekaligus mencari lokasi snorkeling yang bagus yang katanya di laguna. Kami pun sudah siap dengan gear masing-masing, swimming suitlife jacket, dan google. Setengah pulau sudah kami lalui, di bawah terik matahari kami tetap dengan pedenya pake snorkeling set. Pertanyaan kami yang terus saja berulang, "Ini dimana sih lagunanya?" "Itu depan lagi." Jawab Dede. Sebuah batu besar dijumpai, lalu tanpa ancang-ancang teman-teman satu rombongan saya pun memanjat dan tentunya, hobi orang Indonesia yang suka narsis, berfoto-foto sampe kehabisan gaya.

Laskar Kiluan
Lalu dimana kita akan snorkeling?
Itulah pertanyaan kami yang selalu berulang menghujam si Dede. Nggak mungkin di laguna itu kan, sambil menunjuk bebatuan yang dikelilingi air laut dengan ombak besar. Si Dede cuma mesam-mesem. Setelah puas foto-foto sama batu dengan latar belakang laut, kami melanjutkan perjalanan di tengah hari bolong sambil tetap memakai life jacket dan menenteng google. Saya, fithra, dan Roy yang sampai duluan di tepi pantai sebelah timur,  diajak Dede untuk snorkeling di lokasi yang ia tunjuk. Ealah de, de.. kalau tau tempatnya di sini kan kita ga usah bawa-bawa snorkel set gini, lucu banget ye jalan-jalan muterin pulau pake life jacket. Tawa pun pecah dan si Dede pun memberikan pernyataannya. "Kan saya tadi udah bilang, nggak usah bawa snorkel set nya karena kita cuma ke laguna. tapi pada ngotot sih." Yaah, miskomunikasi. Kami kira mau snorkeling di laguna. Hahahaa.. 

"Iki wong kuto ko koyok wong ndeso.. katro!"
Kata Dede mungkin dalam hati
Saya pun langsung nyebur, menuju lokasi yang ditunjuk Dede sebagai lokasi snorkeling yang paling bagus. Cantik memang, namun ombaknya yang lumayan besar membuat saya urung untuk berenang semakin menjauhi tepi pantai. Beberapa diantara kami ada juga yang tak berhasil menuju lokasi ini, karena ombak sehingga sulit untuk melawan arus. 

Mana makhluk laut yang paling kece?

Esoknya seusai menunggu satu tim yang nggak kebagian buat liat lumba-lumbadi hari kemarin, kami diajak ke pulau sebelah, *lupa nama pulaunya.


Pulau di sebelah kanan itu pulau kelapa

Siang harinya kami bertolak untuk kembali ke Bandar Lampung. Sebelum pamit kami berfoto bersama Pak Dirham. Dengan latar langit yang lebih biru.. Ahh rasanya nggak mau pulang!




Setelah menyebrangi laut, kami tidak langsung beranjak menuju kota Bandar lampung. Wisata bahari di Lampung masih kurang lengkap rasanya kalau belum ke pantai pasir putih, yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan kecil kami ke Kiluan. Sekitar 400 meter. Untuk menuju kesana kita diharuskan untuk berjalan kaki kurang lebih sepanjang 1 kilometer naik turun, karena akses menuju kesana harus melewati kebun warga. Saat sampai disana, kami menjumpai banyak sekali sampah, dan satu lagi benda yang saya perkirakan digunakan sebagai upacara adat.

Pantai Pasir Putih

Saat perjalanan kembali ke kota Bandar Lampung, ada lagi insiden "ngambegh" si supir, yang berujung jadi ngambeg2an antara kami dan si supir. Bang Dolly mungkin kecapean nungguin kami, dengan upah yang tidak besar, knalpot angkotnya yang rusak terantuk batu, dan jalanan yang hancur, membuat ia ugal-ugalan mengendarai si angkot. Hingga membuat kami mabok. Sampai di kota, ia pun tidak mau mengantar kami ke toko oleh-oleh karena surat-suratnya mati. Kami pun terpaksa jadi turis kota semalam, melenggangkan kaki di pinggiran toko kaki lima, lalu berakhir di Baso Sony. Kenyang makan baso, kami langsung bertolak ke Pelabuhan Bakaheuni. Ah Lampung.. Sampai jumpa lagi!

Lanskap laguna pulau Kelapa

Setelah kembali ke jakarta, saya baru tau. Tim BPI yang barengan saya jalan itu ternyata punya nama sendiri, namanya Tim Uwee.
Thanks UWEE, it's such a wonderfull journey.. !