Yes, a heaven in noisy port city. Zoom out this picture, and see the port and the city can be seen!
Kami tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar sekitar jam 1 pagi waktu Indonesia tengah(6/10). Tentu lokasi pertama yang kami cari adalah musholla, karena kami memang tidak berencana untuk menginap di mana pun di Makassar, meski kami punya travelmate yang sekarang sudah menetap di Makassar. Sambil berbaring di karpet hijau, saya mulai browsing mau kemana saja selama di Makassar. Jujur! Saat itu saya benar-benar blank mau kemana. Rencana ke Bulukumba, Tanjung Bira dan Selayar sudah pasti nggak mungkin. I'm alone and don't have much time there. Karena dua travelmate saya berencana ke Tana Toraja dan satu lagi berencana naik gunung Bawakaraeng. Terus belum lagi jarak yang jauh dari kota sampai ke Selayar. Bisa-bisa di sana cuma numpang pipis aja. Hahahaa.. 

Nah saat itu, tanpa mikir panjang inilah kata kunci yang saya ketik di mesin pencari : pulau terdekat dari kota makassar. Dan pulau Samalona adalah jawabannya. Cuma setengah jam! Saya ngga berburu foto seperti apa pulaunya. Toh, paling ngga beda jauh sama pulau-pulau di Kep Seribu. Apalagi cuma setengah jam, kalau bisa dapet warna air laut yang biru tosca anggap aja hadiah. Pagi itu juga, kami di jemput Wiwi langsung menuju Bantimurung. Hah? Kenapa ke Bantimurung? Ya karena salah satu travelmate saya pengin kesana. Ngalah deh sambil berdoa semoga sampai di Samalona ngga terlalu siang. Dan ternyata kami sampai dermaga Kayu Bangkoa siang terik. "Nggak apa-apa, kulit gosong itu pertanda abis liburan."

Dermaga Kayu Bangkoa

Dermaga Kayu Bangkoa terletak tidak jauh dari Fort Rotterdam dan masih satu garis pantai dengan pantai Losari. Kami menyewa kapal untuk antar-jemput kesana setelah nego dengan si empunya kapal lewat telpon sebelumnya. Kami dapat informasi tentang penyewaan kapal ini dari salah seorang teman yang baru kami kenal di UKM pecinta alam UNHAS. Biasanya sewa kapal di sana ratenya 300-500 ribu, berangkat hari ini dan dijemput esok harinya. Karena one-day trip jadi kami bisa dapat harga lebih murah. Berangkat lah kami kesana setelah makan siang dengan menu coto makassar di pinggir dermaga. 

Ternyata masih banyak pulau lain yang ada di sekitar pulau Samalona, ada pulau Lae-lae dan pulau kayangan. Saat tiba di pulau Samalona, nafas saya tertahan. "Gila! Sedeket ini tapi airnya bisa ijo toska, keliatan bening lagi. Nyesel ninggalin alat snorkeling di rumah!" Sambil ngitung jumlah persediaan baju yang dibawa, nggak mungkin banget nyebur. Telanjang? Ini bukan naked beach! Sewa baju? Lima puluh ribu satu stel, belum perlengkapan snorkeling nya yang harga sewanya di atas harga pasar! Jadilah leyeh-leyeh adalah aktivitas termurah yang bisa kami lakukan saat di Samalona. Eits! Ternyata leyeh-leyeh pun di sana juga nggak gratis lho. Kami juga harus bayar sewa tempat berteduh seharga lima puluh ribu yang sudah ada bale nya dan terletak di bawah pohon. 

"Oh segitu kere nya kah gue sampai ga rela bayar segitu buat menikmati keindahan Samalona?" Bukan, saya bukan engga rela. Kalau ada yang lebih murah dan sama-sama nikmat, kenapa harus bayar? Tiba-tiba teringat dengan budget yang musti di tabung buat sailing trip bulan depan. Kami menggelar flysheet tepat di samping kapal motor yang sedang nganggur. Lumayan buat berteduh. Tidur.. Ya saya tertidur di samping kapal. 

Semua serba lima puluh ribu di Samalona! Termasuk toilet yang sekali masuk lima ribu. Hahahaha..

Air laut ternyata pasang, yang membangun kan saya sehingga kami harus pindah tempat. Sambil menunggu matahari terbenam, melihat hijau birunya pesisir di pulau ini.

Why am I here? Ke Makassar adalah rencana dadakan buat gantiin tiket pesawat temen yang batal berangkat


Dermaga di pulau Samalona

Dan biru langit pun kini berganti warna menjadi senja. Rencana kami yang ingin menghabisi senja batal karena Wiwi harus kembali ke kota Makassar. Ia harus kembali sebelum magrib. Jadilah kami menikmati matahari tenggelam dari atas kapal. Kami nggak nyesel, karena menikmati matahari pulang ke rumah, dari atas kapal itu tetep keren kok.

Dermaga bagi kapal yang berlabuh di Samalona


Tetap menikmati, meski laju perahu kami menjauhi arah matahari.

Perahu ini melaju, goyangannya seperti Elf yang biasa saya naiki ketika traveling di Jawa Barat. Beberapa kali kami teriak menjaga keseimbangan. "Mat, fotoin benderanya pasti keren." Karena nggak berani berdiri sendiri saya meminta tolong Mamat. What a beautiful view!


Sudah berapa pulau yang anda jelajahi di Indonesia? 
Berbanggalah, Indonesia adalah negara dengan kepulauan terbesar di dunia.

Samalona, yang dulu hanya angan-angan karena nggak sengaja pernah baca reviewnya di kaskus. Kini, sudah jadi salah satu wilayah jajahan saya. Eh, bukan itu maksudnya. Tapi paling tidak, karena belum bisa berjumpa dengan Phinisi, saya bisa memenuhi hasrat untuk bertemu laut!

Nenek moyangku seorang pelaut!

Tebing di sebelah barat pantai Klayar
Jam 4 dini hari. Saya tiba di Stasiun Tugu, Yogyakarta[1/9] dengan kereta Gajahwong. Meski posisi duduknya harus 90 derajat, kereta ekonomi AC jurusan Jkt-Ygy ini menurut saya lebih nyaman dibanding dengan kereta kelas bisnis yang biasa saya tumpangi dengan harga yang sama. Menunggu jemputan, sampai matahari terbit saya berjalan hingga ujung stasiun. Dari jauh nampak Jalan Malioboro.


Selamat pagi! Salam sapa yogya dari tiga tahun yang lalu

Setelah menumpang mandi dan sarapan di rumah Galang, hmm.. ya lagi-lagi saya merepotkan dia, hehe kami berdua bersiap menuju Pacitan. Tujuan saya ke Yogya memang untuk bertemu sapa dengannya, selain juga karena saya ingin berjumpa dengan pantai Klayar, yang sejak akhir tahun 2011 sudah saya idam-idamkan. Tidak hanya saya dan Galang yang berniat ke pantai Klayar, teman-teman kuliah yang kini di Yogya dan Solo sempat mengajak touring kesana. Sempat? Iya mereka hanya sempat buat janji. Setelah saya sampai di Yogya, dalam keadaan lelah karena langsung balik dari kantor, tiba-tiba mereka membatalkan touring. Memang membuat kesal, but it doesn't matter at all. Galang tetap semangat meski kita hanya pergi berdua. Eh! Ryan udah nunggu di Pacitan. Travel mate saya yang satu ini emang paling setia. Meski ngasi tau nya dadakan, dia ngiyain. Saya sempat kuatir dia gak akan selamat sampai Pacitan karena kita jalan sendiri-sendiri. Ini pertama kalinya dia solo traveling. Saya ke Yogya dulu dia langsung ke Pacitan. 

Dan benar, ke-kuatiran itu muncul. Dia ngga dapet motor sewaaan di Pacitan. Sampai kami adu jempol lewat sms dan adu mulut lewat telpon. Tuhan tetap berpihak pada kami. Sore menjelang matahari terbenam, kami bisa bertemu di pantai Klayar setelah saya menyisir pantai ke sebelah timur. Tak ada lagi adu bicara, kami menikmati sisa senja hingga matahari sembunyi. 

Menyusuri ke timur Klayar menuju batu spinx
He comes back to it's own home.. - Pantai Klayar, Pacitan





Bersama pak Wakijan, kalau tidak salah saya ingat namanya. Kami diajak untuk melihat batu spinx. Dinamakan seperti itu karena bentuknya mirip seperti singa yang sedang duduk seperti di Mesir. Di balik spinx, terdapat semburan air dari celah-celah batu yang dinamakan "seruling laut". Untuk menaiki batu itu, kita butuh orang lokal yang memberi arahan. Karena, salah pijakan atau arah, kita bisa terhempas ombak yang datangnya tidak bisa diduga. Beberapa minggu yang lalu, ada seorang laki-laki yang sempat terhempas ombak, dan baru ketemu beberapa hari setelahnya mengambang di celah-celah batu. 

Spinx. Ombak yang ada di pantai sebelah timur ini sudah memakan banyak korban. Salah satunya beberapa kamera DSLR tingkat dewa pada musibah yang menimpa para fotografer tahun 2008 silam
Seruling laut
 
Pemandangan matahari tenggelam yang sangat menawan dari batu yang saya pijak ini, membuat jantung saya berdebar-debar saat men-jepretnya. Ombak dari sebelah kiri bisa saja datang tanpa diundang.
 Malam itu saya, Galang, Ryan, Nafik serta Chimot ditemani bulan purnama. Dua orang terakhir yang saya sebut itu adalah sobat dari Yogya yang pernah menemani saya saat ekspedisi Aku Cinta Indonesia. Tak ada janji untuk ke sana bareng. Hanya secuplik pesan lewat ponsel untuk mengabarkan bahwa saya sedang di Yogya, Mas Nafik tiba-tiba menelpon sebelum saya berangkat ke Pacitan dan bilang, "Sampai ketemu di Klayar ya!" Saya hanya tertawa menganggap itu candaan saja. Tapi ternyata dia benar-benar datang, dengan backpack kecil yang hanya berisi sleeping bag dan hammock. "Saya mau kemah juga di sini." Aha! Malam itu kami habiskan sambil bernostalgia setahun yang lalu, di pantai Kapen, tidur beralasan matras dan beratapkan langit.

Kamu ga lagi sms-an kan? Di sini tak ada sinyal!


Jam 1 dini hari. Hanya tenda kami yang ada di pinggir pantai. Terang purnama membuat bintang tak lagi seksi malam itu.
Beberapa kali saya terbangun, karena kedinginan. Malam itu pantai Klayar sangat dingin. Bukan karena hembusan angin, tapi mungkin memang cuacanya sedang lembab. Api unggun terus menyala menghangatkan kami. Jam lima pagi saya jadwalkan untuk terjaga lebih dulu. Mengejar matahari terbit dari balik bukit. Lagi, kami disuguhi kanvas megah ciptaan-Nya.

Nikmatilah dan syukuri, pagi itu kita masih disapa.


Masih ada pantai di balik bukit. But, don't have clue how to get there.
Saya masih ingin tinggal semalam lagi di sini! Begitu yang terlintas di kepala selama menunggu matahari yang mulai menghangatkan tubuh saya. Baru pukul 7 pagi, kami sudah harus bergegas packing untuk kembali ke Yogya, karena mas Nafik harus menyelesaikan tugas untuk seminarnya. Saya dan Ryan merasa masih ada yang kurang. "15 menit aja ya.. Kita harus kesana!" Sambil menunjuk tebing di sebelah barat pantai Klayar. Sampai di atas sana setelah menaiki beberapa anak tangga, kami berdua lagi takjub.

"If only, we could stay longer.. "


How to get there, Pantai Klayar Pacitan :
Tentu saya prefer menggunakan motor sewaan dari Yogya. Karena berdasarkan pengalaman Ryan, sewa motor di Pacitan itu sulit. Dia bisa sampai ke pantai Klayar karena beruntung dapat sewa ojek seratus ribu untuk bisa sampai Klayar tanpa kepikiran gimana caranya dia balik lagi ke kota Pacitan haha. Jaraknya memang lebih dekat dari Pacitan. Tapi kondisi jalan lebih bagus dari Yogya, lalu lewat Gunung Kidul. Ini rute yang saya lewati, based on my real experience, yang lebih percaya sama petunjuk dari penduduk asli sana. Tugu Yogya - Wonosari - Pracimantoro - Parang Gupito - Klayar. Butuh 3 jam untuk sampai ke Klayar. Dari Parang Gupito menuju Klayar, banyak sekali pantai perawan Pacitan yang bisa kita eksplor selain Klayar. Tapi waktu tak memungkinkan, karena pantai Jongwok di Gunung Kidul sudah memanggil :D

Sarapan di pasar
Waktu paling tepat 'bermain' ke pasar sayur adalah pagi hari. Saat barang dagangan masih digelar dan ibu-ibu lalu lalang berbelanja. Di tengah hiruk pikuk dan bau jalanan becek yang tak sedap, ibu pedagang ini tetap santai menikmati sarapan paginya. Ia hanya kaget saat tiba-tiba saya potret. "Sarapan dulu, dik!"


Jenuh,
Saya hanya sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Di hadapan saya, blackbox sedang running untuk retrieve data. Sembari menunggu, saya rebahkan kepala di meja kerja.

What am I doing here?

Saya tidak jenuh kok, saya suka pekerjaan ini. Saya coba memutar film sambil makan siang. Ah.. malas. Saya pegang kepala saya mencoba mengukur temperaturnya, tidak overheat kok. Lalu, kedua mata saya menatap kalender di meja. Ah ya, sudah satu bulan saya tidak bepergian jauh. Tidak, bukan karena itu saya jadi lunglai begini. Sepertinya apapun yang saya lakukan saat ini seperti terkena efek slow motion. Tak ada gairah, lambat.

Dan tiba-tiba ada bisikan di telinga kanan saya. Kamu butuh mood booster, butuh lebih banyak kafein. Dengan setelan sandal jepit sehabis sholat, saya meluncur ke convenience store. Meski sempat lewat starbucks, saya lebih memilih segelas kopi hitam yang harganya lima ribu. Saya hanya butuh kafeinnya saja (sambil menengok lembaran di dompet).

Kopi ini cair. Tidak kental, tidak bisa mengalir pelan di tenggorokan saya. Meski akhirnya saya bisa bangun dari rasa 'malas ngapa-ngapain'. Saya pun teringat kopi kental dengan wanginya yang kuat yang masih saya ingat lima hari yang lalu. Di sebuah warung kopi kecil yang terhimpit diantara toko-toko, di tengah pasar, di Bandung. Warung kopi Purnama namanya yang terletak di Jalan Alketeri, Pasar Baru, Bandung.

Warung kopi Purnama, yang didepannya ada gerobak kembang tahu dan buah mangga. Di sebelahnya ada tukang bubur yang juga tak kalah ramai pengunjung.


Minggu pagi itu, seperti kebiasaan dulu jaman kuliah. Saya jarang sekali menghabiskan hari minggu dengan berleyeh-leyeh di kostan. Tapi menghirup udara pagi yang bebas ke Car Free Day di jalan Dago. Menikmati weekend di Bandung, saya diajak ngopi ke warung ini. Sebelumnya kami sarapan bubur ayam di sebelah warung ini. Gerobak bubur ayam ini bertengger di trotoar yang selurus dengan warung kopi ini. Sehingga ada beberapa penikmat kopi yang terkadang memesan bubur ayam lalu makan di warung kopi Purnama, dengan menambah biaya sewa duduk sebesar 2 ribu rupiah. Hahaa..

 

List minuman yang ditawarkan tidak ada yang menarik. Biasa saja. Kopinya pun hanya ada dua macam. Salah satunya kopi hitam. Saya memesannya, dengan ditemani roti srikaya. Saat tiba di meja, aroma kopinya tercium. Teman saya bilang ini namanya kopi aroma, kopi khas Bandung. Saya tak banyak bertanya tentang kopi ini. Seiring jarum jam yang melaju, sudah tiga jam saya duduk di sana dengan mengeluarkan banyak sekali buah pikiran. Yang tercampur aduk dalam perbincangan yang tak ada judulnya. Efek seharga delapan ribu rupiah benar-benar luar biasa. Entah saya sudah bicara apa saja, dari cerita bagaimana saya bisa berenang dari phobia air sampai bagaimana mimpi saya bisa ingin menjelajah Eropa. Cukup panjang jika dituliskan, dan saya pun kembali ke rutinitas, berpacaran dengan si blackbox dan memulai kode-kode bahasa antah berantah. Bisikan itu kembali terdengar, Let's back to work.

Dan ternyata mood booster saya adalah menulis dan kopi.
Sederhana!