Semesta mendukung. Seharian saya dan Nisa main ke Fuji san cuaca begitu cerah karena dua hari berikutnya mendung dan hujan seharian. Kalau menyesuaikan itin yang sudah saya buat, jadwal ke Fuji san seharusnya jadi transit road trip kami dari Tokyo ke Kyoto. Tujuan nya biar irit budget transport karena selama di Jepang kami ngga menggunakan JR Pass. Tapi gegara trip impulsif ke Shirakawago, kami terpaksa merubah rute road trip menjadi Tokyo — Fuji san — Tokyo — Kanazawa — Shirakawago — Takayama — Kyoto. 


Bisa sampai Jepang adalah impian saya sejak seumuran mereka


Otaku World

Suka sama Jepang ngga terlepas dari manga dan anime. Jaman SMA dulu tiap ada manga favorit baru terbit di gramed, ku beli dan bawa ke sekolah. Jadi kalau saya ngoleksinya Shounen magz, gebetan saya Shounen star, kita tuker-tukeran bacanya pas di sekolah. Ada juga temen yang ngoleksi Naruto atau Samurai Deeper Kyo, kita bawa ke sekolah dan tukeran baca. Duh, kalau inget dulu sampai ketahuan guru gara-gara ada komik setumpuk di sebelah jendela, atau ketahuan guru BK waktu lagi jadwal kosong saya baca Shounen star, rasanya jaman-jaman kelas 2 SMA itu indah banget ya.. Hahaha.

The farthest beach I reach before I turn 30.
September 26, 2016 | Vik, Iceland


By the side of Kamo river I'm missing you.
It's really cold and I need your hugs so much!
I left home for more than a week. Leaving my partner (rather than a husband, i prefer this way to call him) to reach my another dream —traveling to Japan in Autumn. I didn't feel sad at all, because when I booked the ticket one year ago I already decided to go with my travel mate, Nisa. And this is the third time we are separated to travel by our selves (after we married).


Kami tiba pukul 15:25 dan bus berikutnya yang menuju Kyoto akan berangkat pukul 16:50 sesuai jadwal. Jadi kita hanya punya waktu kurang dari satu setengah jam to wander around in the heart of Takayama's old town. Hujan tidak mau berhenti tapi kita tak sedikitpun ragu melangkahkan kaki keluar dari terminal bus sambil menggendong tas depan dan tas belakang berukuran 35 liter ini. Jangan khawatir, kami selalu bawa payung kemana-mana.

It's like a magical oil painting
I traveled into another world
that I could no longer tell the difference between fantasy and reality



Cara mengolah makanan "goreng tepung" yang enak dan gurih itu susah-susah gampang. Meskipun di supermarket udah banyak beredar tepung jadi-jadian yang berlabel krispi, tetep aja hasilnya similikiti, ga memuaskan. Berikut resep "goreng tepung" manual yang pernah saya temukan di dunia maya, lupa sumbernya dari mana, waktu itu sih fokusnya ke menu jamur krispi. Tapi saat ini sudah saya terapkan ke berbagai bahan masakan, seperti daging ayam dan sayur-sayuran selain jamur. Semua caranya sama, hanya beda di bahan utamanya saja. 

It's sweet, sour and crunchy. 


One year ago
today.

We're wandering this city of rainbows.


Kesampingkan Paris, Prague dan Venice yang overrated, kunjungi kota-kota terpencil di Eropa yang tenang. With scenic views and unique charms.  Berbekal dari tulisan di sini kami bisa menginjakan kaki di sebagian kota-kota kecil nan imut ini di Eropa. Berikut adalah daftar dari kota kecil yang kami kunjungi secara terencana atau pun impulsif. Dari 5 kota yang kami singgahi, kita ngga perlu menggunakan transportasi publik selama di sana karena dengan jarak tempuh berjalan kaki, kita lebih bisa menikmati tiap sudutnya.

Bonsoir, Paris!
Sehabis kepanasan dan kesasar di Venice rasanya pengen langsung buru-buru terbang ke Iceland, nyari yang sejuk-sejuk biar adem. Tapi... tiket pesawat ke Iceland kalau dari Itali harus transit dulu di Barcelona, jauh, dan secara harganya jauh lebih mahal dibanding kalau kami berangkat dari Paris. Itu lah kenapa yang tadinya Paris ngga ada dalam itinerary, jadi masuk ke jurnal perjalanan kita —baru beli tiket ke Iceland pas di Innsbruck. Transit ke Paris sekalian melihat menara Eiffel biar ngga kebawa mimpi terus, kayak 5 tahun yang lalu.


Senang banget kalau udah ngutak-ngatik tampilan blog. Memoles cantik biar sedap dipandang mata. Padahal mah cuma diper-simple aja dengan ganti template dan main sedikit warna. Tujuannya biar pas ngeblog jadi lebih bersemangat. Jadi mood booster. Tapi sayangnya ganti template gratisan ini suka banyak minus nya, masih bertebaran bug yang kadang ngeselin buat dibenerinnya. Salah satunya padalah Twitter card dan Facebook Open Graph yang sering kita gunakan untuk sharing link. Kalau hanya ganti-ganti warna, jenis hurus, padding size, dan pengaturan lainnya yang tidak ada di bagian Customize sih kita tinggal klik kanan > inspect page, terus mainin deh css nya (*too much leisure time).


Pelancongan kami di Innsbruck tidak masuk dalam daftar itinerary, jadi saat baru tiba kami benar-benar blank tak tentu arah. Bekal nya hanya dari "pernah baca" postingan salah satu anggota grup Backpacker Dunia, lalu saya mencoba mengontaknya lewat pesan di facebook saat dalam perjalanan dari Munich. Karena tidak ada jawaban, yaudah deh kita pasrah saja besok mau gimana. 


Saya baru saja mengadopsi berbagai macam jenis tanaman manja dari Diny, seorang pecinta hutan sejati yang ku kenal. Berhubung doi sekarang udah terbang ke Arizona, maka berbagai tanaman hias koleksinya terpaksa harus dijual agar terus terawat. Dan sisanya beberapa tanaman favoritnya jatuh ke rumahku. Katanya ini bukan titipan, tapi hadiah agar saya bisa mengadopsi dan merawatnya, dan jikalau sudah beranak pinak kan bisa dibagi-bagi lagi. Hehe.


Nyasar di kota ini adalah hal yang wajar. Bahkan pakai GPS pun menurut saya ngga akan ngebantu. Mau nanya orang juga susah karena petunjuk jalannya ngga akan membuat kita mengerti. Muter-muter di kota ini selama tiga hari udah cukup membuat ketek kita basah dan kaki bengkak-bengkak. Memang, nyasar adalah salah satu seni dalam traveling, tapi yang satu ini sepertinya ngga bikin kita mau balik lagi ke kota yang katanya bentar lagi akan tenggelam ini, karena faktor tempatnya yang terlalu crowded. Tapi secara keseluruhan, Venice the romatic city of water, kota ini cukup asik buat dijelajahi terutama bagi para pecinta kota dan bangunan tua. 

Kami meninggalkan Vienna dan melanjutkan perjalanan ke Innsbruck (11/09/2016). Ini adalah perjalanan dadakan, karena rencana awal seharusnya kami langsung ke Venice. Dua minggu sebelum berangkat ke Innsbruck, waktu itu kami masih di Ceko, tiba-tiba saya kepikiran kepingin melihat pegunungan Alpen. Namun, karena Swiss tidak masuk dalam jajaran itinerary, saya putuskan untuk ke Innsbruck, melihat The Austria's Alpen. Beruntung sekali, mungkin sekitar setahun sebelumnya saya pernah membaca postingan di grup Facebook Backpacker Dunia tentang kota ini. Jadilah trip ke Venice selama 5 malam saya coret menjadi tiga malam pertama kami habiskan di kota Innsbruck. And that's really worth!


Dapat kado ulang tahun berupa cookies handmade di bulan Februari kemarin, rasanya begitu bahagia karena cookiesnya memang enak. Hehe, setelah beberapa kali bikin kue bolu selalu bantet, si adek kesayangan yang kuliah di ilmu gizi dan hobi bikin berbagai jenis kue kini berhasil bikin cookies yang ludes ngga ada hitungan jam. Jadi rasa-rasanya, saya jadi kepingin bikin sendiri karena selama ini beli di supermarket ngga ada yang bikin jadi favorit. Mumpung lagi momen mau dekat lebaran, cookies ini bisa jadi pilihan selain kue nastar, putri salju atau sagon keju yang udah biasa. 

Special gift from Hani, my little sista!


Dari kartu pos yang saya beli di Albertina Platz, kami mencari info bagaimana cara menuju ke tempat yang ada dalam foto dan besoknya langsung kita samperin. As simple as that. Kami berangkat naik tram, pagi itu masih sepi. 


Kalau lagi ke pengen banget makan somay, mau ngga mau harus bikin sendiri karena susah banget nyari yang enak di Jakarta. Beda kalo jaman nya di Bandung dulu, somay mamang-mamang aja enak. Kalau kepingin banget beli, bela-belain ke Jalan Ternate, Bandung demi makan somay favorit yang cuma buka di jam kerja. Nah lagi momen nya bulan Ramadhan kan, saya mau posting tentang cara buat somay ini yang menurutku mudah sih.


Dari Budapest, kami sampai di Terminal Bus U2 Stadion Vienna (07/09/2016) sekitar sore hari setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima jam (dengan transit Bratislava). Kami muter-muter dulu di dalam terminal mencari informasi. Blank banget. Jetlag lagi. Yang pasti hal pertama kami lakukan adalah membeli tiket transport, karena lokasi terminal dengan penginapan AirBnB yang sudah saya booking agak jauh. Awalnya agak linglung, penyakit yang biasa terjadi saat baru tiba di suatu kota. Di tempat asing dan mesin tiket baru. Ketemu deh sama mbak-mbak yang ternyata orang Indonesia dan seneng gitu kayaknya ketemu kita. Terus tiba-tiba ngajakin ngobrol pake bahasa Jawa. Wong Malang toh. 

Pertanyaan yang sering saya denger selain tentang budget adalah tentang barang bawaan saya selama keliling Eropa, terutama temen-temen cewe "Lo keliling dua bulan gitu bawa baju seberapa banyak, Ken?" Apa saja yang perlu dan ngga perlu dibawa agar kita mudah bergerak saat berpindah-pindah antar kota dan negara. Jangan membawa yang menyusahkan diri-sendiri. Karena perjalanan itu untuk dinikmati, bukan ntuk repot-repot bawa barang dan oleh-oleh. 

Pengennya sih foto ketje gitu sambil gendong tas, tapi berhubung motretnya pake tripod dan timer, jadi musti bolak balik pegel

I can't get enough of these scenic views of Budapest

Masih belum bisa move on dari Eropa? Banget!

Bisa jadi kurang ngetrip, jadi post-traveling syndrom nya masih kerasa. Hehe. Sudah lewat tujuh bulan, rasanya kayak baru kemarin landing di Jakarta. Pe-er menulis masih banyak dan tidak sudah-sudah. Seperti kota Budapest yang tidak sudah-sudah membuat ku bosan.



Kurang lengkap rasanya menjelajah kota Vienna jika tidak menjejaki lokasi film Before Sunrise, sebuah film tentang pertemuan dua orang asing dalam perjalanan dari Budapest ke Paris. Yang suka banget traveling dan suka bareng pasangan, wajib banget nonton film ini biar makin kerasa roman perjalanannya. Cerita di film ini bukan melulu tentang kisah cinta, perkhianatan, atau melodrama, tapi lebih ke percakapan antara dua orang, saat mereka berkeliling kota Vienna dari siang hari hingga tengah malam, tanpa ada kerumitan dalam cerita. 

Get some air.
Pantai Goa Cina, Malang, Jawa Timur | 18 April 2017


Bukan hanya sahabat, tetapi sosok seorang kakak juga saya temukan di diri kamu. Entah sudah berapa ribu curahan hati cerita jaman masih muda dulu yang saya bagi ke kamu, seorang pendengar yang baik. Rasanya tidur bareng sekasur udah jadi kebiasaan tiap kita punya waktu bersama. Ngobrol sampai pagi. Kapan ya bisa kayak gitu lagi? Sekarang kamu sudah punya teman tidur seumur hidup, semoga mimpinya makin indah.


Mendengar Bratislava, nama kota ini begitu asing. Sebuah kota yang terletak di perbatasan antara negara Austria dan Hungaria. Saya memilih kota ini juga tidak sengaja, karena melihat di peta kota ini dekat dengan Vienna dan Budapest, salah dua kota yang sudah masuk daftar kota-kota yang akan kami singgahi. Jadi lah kami menambah waktu singgah selama lima hari empat malam di Bratislava, ibu kota Slovakia.


Mumpung Hungaria ngga pake Euro, jadilah kami puas-puasin jajan. Biasanya kami mengirit dengan masak sendiri dan ngurangin jajan. Selain nyobain kuliner khas Hungaria, kami juga beli magnet-magnet kulkas buat oleh-oleh, di kota-kota lain dihargai sama rata sekitar €3 eur, di sini kita bisa dapet seharga 300ft atau setara €1. Hungaria menggunakan mata uang Hungarian Forint, yang kalau di rupiahkan 1ft itu sekitar 40 rupiah. Selama di Budapest, ibu kota Hungaria ini, kami ngga nuker Euro untuk dapetin Forint di money changer, cukup gesek debit atm. Karena kami pernah coba menukar Euro ke CZK (Czech Koruna) di money changer tapi jatuhnya lebih rugi.


Dari kota Prague yang jadi tempat romantis bagi para pasangan pelancong, kami berdua bergerak ke arah selatan, ke Cesky Krumlov. Kota yang luas areanya masih lebih kecil dari Ikea Alam Sutera ini, menjadi kota yang sering muncul di berbagai tulisan tentang destinasi kota-kota kecil yang imut di Eropa. "Small-town fetish", sepertinya menjadi tema dalam perjalanan kami keliling Eropa selama hampir dua bulan ini. Beberapa kota kecil yang sudah kami singgahi seperti Cochem, Bruges dan Prague. Karena kota kecil berarti kami tidak perlu susah payah untuk menjelajahinya. Dengan waktu empat hingga lima hari, kami bisa menikmati tiap sudut kota sampai kami jadi hafal setiap jalan dan likunya. 


Kota ini tidak jauh dari Prague, jaraknya ditempuh tiga jam menggunakan bus lokal paling hemat yang menjadi favorit kami, Student Agency. Bus ini memiliki dua pemberhentian yaitu di  Cesky Krumlov - Spicak dan Cesky Krumlov - AN. Pada awalnya kami memilih pemberhentian yang pertama karena lebih dekat ke hostel, tapi karena kelewatan, kami jadi turun di Cesky Krumlov - AN. Tidak seperti permberhentian pertama yang ada di pinggir jalan (makanya kami ngga ngeh dan kelewatan), pemberhentian terakhir ini tempatnya betulan seperti terminal bus.

Aloha halo, dua ribu tujuh belas! 

Masih setia selama hampir tujuh tahun di tempat yang sama ini. Tempat di mana aku menuangkan segala cerita, untuk nanti. Sayangnya kesenangan menulis yang kadang-kadang hilang karena penatnya aktifitas atau karena suasana hati. Hingga akhirnya membuatku lupa waktu, kalau enam belas tau-tau sudah berganti menjadi tujuh belas. Jadi sekarang akan ada banyak latepost, cerita-cerita di tahun kemarin yang belum saja sempat aku tulis. 

Dua ribu enam belas adalah tahun di mana impian yang aku tempel di dinding kamar, di meja kerja, di sticky notes desktop, dan menjadi jawaban setiap pertanyaan tentang kenapa saya berani resign, sudah terwujud. Impian yang mungkin bagi orang kecil, tapi bagiku adalah satu fase untuk dapat memberi arti pada hidup. Bahwa hidup bukan hanya lahir - makan - bekerja - menikah - punya anak - lalu mati

Hafelekar, salah satu puncak Alpen di Innsbruck