Walking down on the seashore, with the sun rise
Garut, Jawa Barat | 19 Juni 2011

Untuk kesekian kalinya saya mampir ke kota Jogja. Tak sekalipun saya merasa bosan, mungkin ini alasan kenapa saya ingin sekali meniti karir di sana, merasakan hidup berdampingan dengan orang jogja. Berangkat dari Jakarta, saya mampir ke Bandung sekedar mengecek administrasi terakhir setelah menyelesaikan masa studi yang hampir lima tahun ini. Hari itu juga dari sore hari "Go Show" di stasiun Kiara Condong, Bandung, saya berdua dengan sahabat saya, Galang, dapat dua tiket ekonomi Kutojaya jurusan stasiun Kutoharjo, Jogja. 

Terakhir saya ke kota ini bulan Oktober saat menjalankan misi dari "Aku Cinta Indonesia" yang sebagian besar waktunya dihabiskan di Wonosari. Kali ini saya bersama dengan sahabat saya, menikmati liburan usai tugas akhir di kota kelahirannya. Mengingat sahabat saya ini memang tak pernah jalan-jalan. Semua destinasi yang saya rencanakan, tak ada satupun yang pernah dia kunjungi. Dasar.. padahal dia orang jogja aselik. Karena uang saku yang saya bawa benar-benar seadanya, saya pun selama 5 hari numpang tidur di rumah sahabat saya *selama dulu pernah maen ke jogja, memang selalu numpang sih, hehehe. Keluarganya sangat terbuka dengan kedatangan saya. Sebagai orang yang senang berpergian jauh, mendapat tumpangan untuk beristirahat dan makan bagi saya ini anugerah. Terima kasih ibu Endang, bu lek, mbak Ratri, Yudha dan Laras, sampai berjumpa lagi, kalo ke Jogja pasti saya mampir, Gondolayu Lor sebelah Hotel Santika :D

Hari pertama di Jogja, saya menghabiskan waktu hingga malam hari dengan menikmati kopi campuran coklat dan kayu manis di warkop semesta dengan mbak rosa, petualang ACI asal jogja. Saya kira obrolan kami hanya akan berlangsung satu atau dua jam saja, namun ternyata sampai diatas jam 9 malam kami masih saja asik ngobrol entah ngomongin apa dari A sampai Z. Mengenal seorang perempuan yang jiwa "pecinta alam" nya sangat tinggi, suka naek gunung, pencetus dan petinggi program 1 buku untuk Indonesia, yang suka membawa vespanya kemana-mana dan seorang teman yang asik diajak bercerita. Kalau saya jadi cowo, saya pasti mau banget jadi pacarnya hehehe. Dari mbak rosa, ide untuk ke pantai Timang itu muncul, dan esok harinya benar-benar kejadian hanya dengan bermodalkan info minim dari dia. Terima kasih mbak, sampai jumpa di lain waktu :)

Pagi kedua di Jogja, saya bangun lebih pagi untuk persiapan ke Sendang Sono, sebuah situs ziarah Katholik di daerah Kulon Progo. Lokasinya di barat laut dari kota Jogja. Berawal dari menonton film "3 Hari Untuk Selamanya" karya Riri Riza tahun 2007, terdapat satu adegan yang lokasinya di Sendang Sono. Saat Ambar dan Yusuf saling terbuka dengan masalah mereka. Siang hari kami pun bergegas menuju Gunung Kidul. Menuju pantai yang sudah saya idam-idamkan dari beberapa minggu sebelumnya. Perjalanan yang tidak mudah dan dengan kondisi cuaca yang tidak bersahabat. 

Malam minggu, via sms *old skool sekali ya* saya hampir saja berantem sama Uchank, sahabat saya di Jogja dari SMA, gara-gara sepeda. Tapi akhirnya janjian untuk sepedahan bareng di Sunmor dan keliling Jogja jadi juga esoknya. Obrolan kami sangat banyak, seperti biasa ketika kita hanya bisa berhubungan lewat messenger. Mengenal orang seperti dia yang menurut saya kadang-kadang bisa menjadi sangat bijak saat dibutuhkan, hampir 6 tahun kami berteman, sudah banyak sekali saya merepotkan dia. Pesanmu yang akan selalu ku ingat, "Lihatlah di kaca saat wajahmu sedang sedih dan menangis perih, tapi jangan kuatir ada saatnya kala ini kan berakhir". Terima kasih chank, ada satu janji kamu yang saya tunggu nanti kalo kita ketemu lagi. Sampai jumpa nanti :)

Klayar, salah satu destinasi yang saya idamkan dari berbulan-bulan yang lalu. Tapi ga jadi, karena rasanya kurang fun kalo ga nginep di sana. Wen, teman kuliah yang sempat saya jumpai malam sebelumnya sambil minum kopi dan berbagi cerita, pun membatalkan rencana dadakan ke sana. Ga kehabisan akal, Galang pun mengajak saya ke pantai Indrayanti, yang katanya "kuta" nya Jogja. Sehabis dari sana kami pun bertanya sana-sini tentang pantai yang belum terjamah. Tadinya kami mencari info tentang pantai Trenggale, tapi nihil. Kami malah disarankan untuk ke pantai Poh Tunggal yang jaraknya hanya sekitar 3 kilometer dari Indrayanti. Dan memang, di sana sangat sepi sekali.  Saya pun di suguhi matahari tenggelam yang cantik di sana. Hari terakhir di Jogja. Terima kasih matahari!

 Maybe we do not remember days, but we remember moments.

Esoknya, ketika saya harus pulang ke Bandung pagi-pagi menuju stasiun Kutoharjo saya bangun kesiangan. Tiket ekonomi Kutojaya yang gambling ada atau gak pun membuat saya memutuskan untuk kembali ke Bandung naek kereta Kahuripan di stasiun Lempuyangan. Tapi tak disangka, ekonomi Kahuripan pun sudah habis untuk hari itu juga. Mau naik bus Bandung pun sudah telat karena sudah jam tiga lewat. Akhirnya saya putuskan naik kereta bisnis Lodaya malam meski harus merelakan sisa-sisa uang saya di dompet. "Yaelah, gak papa sih. Yang penting kan di Jogja koe udah jalan-jalan, bareng aku lagi." begitu kata Galang. Sore itu sembari nunggu jadwal kereta berangkat masih 4 jam lagi, kami mampir ke Kasongan, makan mie ayam di pinggir jalan, bolak balik Bantul - Kota nyari ATM, dan  bercerita sambil bersedih-sedih karena kami bakal susah lagi ketemu. Terima kasih sudah menjadi sahabat saya makan bakso, tugas akhir dan jalan-jalan di Jogja.

"Hey.. Welcome to the sea!"
Sukabumi, Jawa Barat | 16 April 2010

Inilah pantai pertama saya, ketika saya mulai jatuh cinta. Gambar yang saya ambil hanya menggunakan kamera ponsel dua megapiksel, dulu ketika saya belum punya kamera. Lihat saja, dengan pedenya saya jepret dengan mode potrait. Bagi saya, pantai ini punya dua cerita, saya dengan pantai, dan saya dengan dia.

"They call it, love at the first sight.."
Gunung Kidul, DI Yogyakarta | 1 Februari 2009

Di saat kita bersama
Di waktu kita tertawa
Menangis merenung oleh cinta
Kau coba hapuskan rasa
rasa dimana kau melayang 
jauh dari jiwaku juga mimpiku


Itulah petikan dari lagu yang kami bawakan dari sepanjang jalan Dago sampai Unpad DU. Bernyanyi di lampu merah, di dalam angkot, sampai di warung-warung tenda. Betapa senang dan terharunya ketika lagu kesukaan yang saya mainkan, "Yellow" Coldplay didengarkan dan mendapat imbalan dua ribu rupiah, uang hasil keringat saya pertama kali setelah lulus kuliah. 

Sebenarnya ide mengamen ini muncul ketika saya membuat daftar "100 things to before I die", terseliplah mengamen di jalanan. Ya, sebelum saya harus pindah ke ibu kota dimana mungkin saya akan jarang bertemu dengan teman-teman portable yang bisa diajak 'menggila', saya harus menjalankan satu misi ini. Mereka lah teman-teman yang bisa diajak kapanpun dan kemanapun.


Kami bukanlah anak muda yang suka menghabiskan malam dengan berhura-hura. Pemanasan sebelum "bekerja" yang kami lakukan di McD Setiabudi pun hanya bermodalkan satu gelas soda yang diminum bareng-bareng berempat. Uang hasil mengamen yang tidak sampai 50 ribu itu pun kami pakai untuk minum susu, dan sisanya kami amalkan. Cukup lah pengalaman mengamen yang pertama bagi kita berempat ini memberi kenangan untuk kita nanti. Menjadi cerita untuk reuni nanti. 


100 Beaches Project. Karena kekaguman saya pada pantai, saya akan memulai proyek baru ini. Merekam semua pantai yang telah dan akan saya datangi. Agar saya ingat, pantai mana saja yang sudah pernah saya jamah. Untuk sentuhan pertama, sebuah pantai di pesisir selatan pulau jawa. Di mana pertama kali saya menyaksikan jingganya matahari tenggelam di pantai.

"My first sunset at the beach."
Garut, Jawa Barat | 27 Januari 2011

Saya tidak mencari pantai yang cantik. Tidak pula harus yang berpasir putih. Semua pantai untuk saya indah selama ia sepi.

Setelah melihat salah satu postingan seorang teman di media sosial tentang pantai yang memiliki gondola di salah satu bukitnya, tanpa basa basi saya langsung bergegas ke Jogja. Apalagi pantai itu belum ada di peta. Meski sudah 3 kali ke Gunung Kidul, saya tak akan pernah bosan.. Dan kali keempat saya kesana, meski mendung saya tetap menikmatinya. Pantai Timang yang mereka bilang, memiliki sebuah laguna kecil yang di samping kanannya terdapat bukit tempat gondola itu ada. 

Untuk menuju kesana, jalan yang dilalui tidak mudah. Dari sepanjang empat kilometer, tiga kilometer harus dilalui dengan hati-hati karena kondisi jalanan yang berbatu licin. Kata Ibu Supiyanti, yang saya temui di jalan, dulu jalan ini hanya setapak tanah. Namun karena akan dibangun dengan cor blok maka batu-batu yang tak beraturan itu sengaja disebar. Disarankan untuk membawa mobil. Karena saya kesana menggunakan kendaraan roda dua, terpaksa saya un berjalan kaki sepanjang tiga kilometer. Jalanan yang harusnya bisa ditempuh 5 menit, kami lalui selama hampir satu jam. Pengorbanan yang terbayar saat kami sampai di bukit.

Angin berhembus kencang, mendung dan sore. Tak perlu banyak kata untuk mendeskripsikan tempat ini.

Gondola, yang bisa beroperasi pada jam-jam tertentu
Timmy, saya menyebutnya karena ia kecil dan pasirnya berwarna jingga.

Vandalisme

Sayang memang, saya hanya sebentar mampir. Kebiasaan untuk leyeh-leyeh di pantai tidak saya lakukan saat itu. Kondisi cuaca yang tidak memungkinkan dan langit yang sudah gelap membuat saya harus bergegas kembali ke kota Jogja.



Sore itu saya terburu-buru menuju terminal. Tak ada yang dapat membuat saya begitu terburu-buru ingin pulang, selain kerinduan saya padanya. 

Setelah tiga hari berturut-turut pesan teks masuk ke ponsel saya yang terus menanyakan kapan saya pulang, hari itu saya teringat bahwa kemarin tepatnya tanggal 10 Maret adalah tanggal lahir ibu saya. Saya tidak lupa, hanya saja karena kesibukan di tanggal 10 saya sampai lupa untuk mengucapkan selamat padanya. Jam 11 siang, dari Lembang saya tancap gas langsung menuju kosan saya di Bandung Selatan. Saya pun menghubungi adik saya di Jakarta. Lucunya, ibu malah lupa bahwa kemarin adalah hari ulang tahunnya. Ya, saya tahu dia selalu sibuk memikirkan anaknya. Apalagi anaknya ini yang sering lupa membalas pesan teksnya, dan selalu mengundur-ngundur waktu untuk pulang ke rumah. 

Di perjalanan ke terminal, saya mampir ke toko buku. Saya tidak akan kesulitan mencari hadiah untuknya, karena saya tahu betapa ia sangat mencintai buku dan hobinya membaca buku tentang agama. Di dalam bus, saya menelponnya untuk memberi tahu bahwa saya sedang dalam perjalanan, saya tak mau membuatnya khawatir jika saya sampai Jakarta malam hari. Sampai di rumah, sebuah kejutan kecil kami buat berempat. Saya kira ia sedang istirahat, tapi ternyata ia masih mengenakan mukenanya. Dengan kaget ia menyambut kami penuh haru, mungkin itu pertama kalinya ia diberi kejutan dengan sepotong kue ulang tahun dan lilin.. Selamat ulang tahun, ma.. We always love you..

Saya tahu dalam doanya pasti terselip nama ku dan ketiga adikku


Sepertinya kata terakhir sedikit kasar, susah cari pengganti kata itu sih. Udah cocok banget buat dijadikan judul. Lalu ada apa dengan kata terakhir itu? apa hubungan dengan kedua kata sebelumnya? Let me tell you the story..

Pantai Ujung Genteng

Awalnya saya bersama dengan dua orang teman dari bike to campus bandung berencana  touring ke Pantai Cidaun, Cianjur. Tapi obrolan lepas dan ga jelas di lusa malam sebelumnya membuat kami merubah destinasi ke Ujung Genteng (UG -red), Sukabumi. Saya sudah pernah backpacking ke UG, namun karena keinginan yang besar untuk mencapai pantai Ombak Tujuh membuat saya yakin untuk pindah haluan ke sana. Selain itu mengingat view pantai Cidaun terlalu biasa untuk dijadikan objek foto.

Berangkat jam 8 pagi dengan mengendarai motor Scorpio. Kami menuju Padalarang lewat Cimahi. Lalu tembus ke Cianjur dan dilanjutkan ke Sukabumi. Dari Sukabumi kami lewat Lembur Situ langsung bablas ke desa Surade. Kemudian dari sinilah kami melanjutkan touring sambil hujan-hujanan. Langit gelap, kami pun sudah tak berharap lagi pada sunset. Dari desa Surade, pantai Ujung Genteng tinggal 22 kilometer lagi. 

Mau balik jauh, terusin ajalah tanggung..

Jam menunjukkan pukul 7 malam kami sampai di Ujung Genteng, hujan makin deras kami pun berteduh di sana. Tadinya kami mau bangun tenda di UG, namun karena salah satu teman saya ngidam sekali buat lihat penyu, akhirnya kami lanjutkan untuk menuju lokasi konservasi penyu di pantai Pangumbahan. Jalanan yang sebagian besar terendam banjir, dengan kondisi berpasir membuat kami sedikit kesulitan melewatinya. Apalagi malam hari disana tanpa ada penerangan sama sekali. Kami pun terjebak di jalanan yang putus karena air laut naik, hingga harus melewati kebun apa entah untuk sampai di pangumbahan. 

Hujan semakin deras. Jaket saya basah, dan baju satu-satunya yang saya pakai demek. Sampai di kantor konservasi, saya langsung menuju Aula tengah yang ternyata sudah di renovasi. Hmmm, saya menemukan kasur yang tergeletak begitu saja di sana. Tanpa aba-aba saya pun memasang posisi tidur yang enak. Pantat sudah ga berasa, tentu saja itu karena perjalanan 250 kilometer yang jalanannya sebagian tidak rata dan hancur. Dengan total waktu pulang pergi 25 jam. Ya, inilah REKOR saya naik motor dengan waktu terlama. 

Semalaman hujan tak berhenti. Jam 1 malam saya terbangun mendengar sebuah lagu yang akhir-akhir ini sering saya dengarkan. Baru kali itu saya menyaksikan band bandung favorit saya, Pure Saturday live di salah satu stasiun tv swasta. Oh ya, aula di Konservasi Penyu ini memang disediakan tivi besar yang suaranya bisa memenuhi satu ruangan. Sangat berbeda sekali ketika dua tahun lalu saya kesini. Saya pun melanjutkan tidur lagi karena hujan masih saja turun dengan derasnya. Boro-boro mau ke pantai liat penyu bertelur, bangun tenda diluar saja kami tak bisa. Penyu-penyu di sana akhir-akhir itu memang tak ada yang naik ke pantai, karena setiap malam hujan turun deras dan air laut dalam kondisi tinggi. 

Pantai pangumbahan, in such a long time ago.. you're still the same..

Pagi terbangun dengan malas. Jam 7 hujan baru berhenti. Saya pun sendirian berjalan kaki menuju pantai Pangumbahan. Sedikit bernostalgia, ketika dulu saya menghabisi waktu senja bersama dengan teman-teman saya. Jalanan menuju ombak Tujuh sedang tak bisa dilalui karena hujan semalaman membuat jalanan kesana hancur tak bisa dilewati. Kami lalu packing untuk kembali ke Ujung Genteng. Musibah pun menimpa kami, mulai dari melewati jalanan berpasir yang banjir dan jembatan satu-satunya penghubung pantai Cibuaya dan Ujung Genteng terputus. Terpaksa kami menunggu sampai air surut. Saya sih jujur saja senang harus berhenti dulu, karena bukan saja punggung yang masih pegal-pegal tapi juga pantat saya yang masih belum siap dibuat duduk lama lagi. Hehehee..

Pantai Cibuaya

Sampai di desa Surade, kami pun memutuskan kembali ke Bandung lewat jalan potong langsung ke Cianjur tanpa lewat Sukabumi dulu. Ternyata perkiraan kami salah, bukannya lebih cepat malah justru lebih lama. Jalan yang dilewati juga lebih jauh dan jelek. Ketika saya lihat plang dijalan -BDG 215- kilometer lagi, saya cuma bisa pasrah sambil berdoa, kalau saja motor ini berubah jadi ELF, pasti saya sudah minum antimo lalu tidur pulas, tak perduli kondisi jalan mau seperti apa.




Sepak terjang saat melewati beberapa musibah dijalan

Terima kasih buat temen-temen yang ngakunya 'bikers' karena ternyata mereka berdua gak ngecek jalur dan kondisi jalan dulu, sampai bikin saya mecahin rekor, terima kasih terima kasiiiih... *dalam kondisi kayak gitu saya berikrar tetap cinta ELF lebih dari apapun.

Di jalan pulang menuju Cianjur
nampang dulu sambil ngelurusin kaki

Pagi bangun dengan cemas. Oh hari itu gue dijadwalkan sidang.

Finally, the day comes..
Setelah menanti-nanti lebih dari tiga minggu. Hari yang gue tunggu. Sampai harus kabur ke Sawarna buat ngisi waktu nunggu, sampai harus memontoran ke Pengalengan saking lelahnya nunggu. Dan akhirnya hari itu tiba juga. Sidang itu tidak seperti yang dibayangkan, kawan. Pembantaian? Nggak ada sama sekali kok. Walaupun sempat ngerasain sedikit gugup dan takut saat seminggu sebelum jadwal diundur. Tapi, pas hari H justru gue ngerasa lebih enjoy. Sampai sempet nonton film dulu. Malam sebelumnya pun gue nonton Puss In Boots, ketawa-ketiwi sendirian di kamar, seakan-akan besoknya tu ga ada apa-apa. Ya memang ga ada apa-apa. Cuma sidang gitu lho. Hehehe..

Slide yang dibikin sambil nonton film

Gak ada yang perlu ditakutin. Toh, tugas akhir ini udah kita pacarin selama lebih dari setahun. Tiap malem pacaran sama komputer. Kesel, marah, seneng semua di depan komputer. Sampe tidur meluk keyboard. Dan Alhamdulillah, sidang gue lancar selancar-lancarnya.. Walau sempet dihujam pertanyaan-pertanyaan yang sedikit ngelindur, terlalu mendasar, sampai gue lupa apa jawabannya karena gue udah terlalu dalam menyelami topik TA ini hingga gue lupa hal-hal dasar yang sebenernya penting. Cukup dengan senyum maksa dan jawaban ngeles kayak sales semuanya bisa dilewati. 

Hari itu lancar jaya. Teman-teman yang dateng nonton bikin gue tambah percaya diri. Apalagi di sela-sela sesi tanya-jawab banyak lelucon humor yang ga sengaja keluar dari mulut gue. Membuat suasana jadi lebih renyah. Pulang ke kosan ketawa-ketawa sendiri. Dan gue baru sadar, hari itu adalah hari ulang tahun Nicholas Saputra. Subhanallah, gue bakal inget terus hari ini.

Maaf ga sempet nyediain pop corn :D

Bagaimana dengan nilai? "Kami tau saudari Niken ngejar sidang karena ingin jalan-jalan. Oleh karena itu tidak butuh nilai kan? cukup dengan kelulusan saja." Ya gue memang ga butuh nilai. Toh lulus aja gue udah seneng. Sampe sekarang gue bikin tulisan ini, revisi gue udah kelar, gue masih ga tau nilai gue apa. Hahahaa... 

Dua pelajaran yang gue dapet selama memadu kasih dan berkelu kesah dengan tugas akhir  adalah selalu berprinsip pada "idealis itu bagus, tapi realistis itu perlu" dan dengan selalu menikmati prosesnya.. karena itu hanya sementara.

Nikmatilah lara untuk sementara. Jangan henti di sini.