5 days for forever. A beach to remember.
December 30th 2014 | Similan Islands, Phang Nga Thailand



Judulnya harusnya sih Papatheo bukan Sepa, karena dari awal kami (saya dan Nisa) berdua bikin trip kemping ceria, tujuan utama weekend escape kemarin adalah Pulau Papatheo, salah satu pulau pribadi yang terletak di utara Kepulauan Seribu. Setelah coba bernegosiasi dengan si penjaga pulau Papatheo, beliau melarang kami mendirikan tenda di sana karena memang si "empunya" pulau tidak mengijinkan. Kakak Nisa masih mencoba bernegosiasi, saya sendiri sih udah males karena melihat kondisi pulau Papatheo nampaknya kurang keceh. Apalagi dengan banyaknya sampah di bawah dermaga dan juga kondisi pulau yang nampak kurang diperhatikan.



Bandara Don Muang (DMK Airport) tidak lah sebesar Swarnabhumi Airport. Ukuran bandara nya lebih kecil jadi kita bisa jelajahi dari ujung ke ujung tanpa membuat kaki pegal. Karena kami sudah tau bakalan singgah lama di bandara ini, maka sebelum berangkat saya pun iseng mencari alternatif untuk membunuh waktu di Bangkok. Saya sendiri baru pertama kali ke Bangkok (23/11/2015). Tadinya kepikiran mau ngeksplor kota, namun karena lokasi bandara yang jauh dari kota jadi kami mencari lokasi yang dekat dari bandara. Sepertinya sih lalu lintas di Bangkok ngga jauh beda sama Jakarta, dari pada kejebak macet jadi kami memilih alternatif yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. 


Makan siang di Magic Food Point


Kami sampai di DMK Airport sekitar jam setengah satu siang. Tentu hal pertama yang kami cari adalah makanan. Makan di dalam bandara tentunya cukup menguras kantong, maka kami mencari kantin staf yang lokasinya pasti tricky buat wisatawan. Berkat petunjuk dari blog ini, kami mencoba menyusuri koridor yang ada di bagian kanan bandara. Tapi jadinya kami malah nyasar-nyasar di parkir basement. Setelah coba nanya-nanya ke petugas parkir akhirnya kami sampai juga di Magic Food Point yang lokasinya sebetulnya lebih gampang digapai kalau kita keluar dulu dari Departure Hall. 

Porsi lengkap berdua gini cuma 30 ribuan lho!


Satu cup besar teh tarik melepaskan dahaga setelah tiba di Bangkok, yang panasnya ngga beda jauh sama Jakarta. Untuk bisa makan di Magic Food Point, kami diharuskan membeli voucher makan dulu yang nantinya bisa ditukar kembali kalau sisa. Jangan khawatir untuk yang muslim, di bagian paling pojok kiri terdapat counter makan halal yang penjualnya sangat ramah. 


Brew pesan es teh tarik lagi

Magic Food Point


Temple Wat Don Muang Phra Arramluang


Tahun sebelumnya kami sempat main ke Phuket dan Krabi tapi yang kami lihat sepanjang waktu hanya laut, pantai dan pantai. Dan untuk kami yang baru pertama kali ke Bangkok, rasanya ngga afdhol kalo ngga mampir ke salah satu temple nya. Dan di sinilah temple yang letaknya bersebrangan dengan bandara, cukup ditempuh dengan berjalan kaki saja.

Katanya sih templenya ngga semegah seperti tourist attraction lainnya di pusat kota Bangkok
tapi cukup menarik untuk dikunjungi


Jembatan penghubung dari bandara ke temple. Temple ada di sebelah kiri.


Sayangnya di sana lagi sepi, jadi ngga bisa nanya-nanya. Kami hanya masuk ke pelataran nya saja. Saya sempat dikelilingi anjing-anjing penjaga yang menggonggong. Brew bukannya nolongin malah ngumpet. Saya diam aja sampai mereka pergi lalu jepret-jepret sebentar dan meninggalkan pelataran. Mampir ke kios yang berjejer di sebrang pertigaan jalan. Melihat banyak sekali snacks yang dijajakan bikin ngiler tapi karena ngga tahu halal apa engga jadi ngeces aja deh. 

Menuju pertigaan depan mencari jajanan

Food stall yang bersebrangan dengan Bandara

Belanja Oleh-oleh

Ini optional banget buat yang masih punya sisa duit ngetrip dan kayaknya butuh cindera mata buat disimpen sendiri. Hehehe. Saya sendiri selama di HongKong dan Macau ngga beli apa-apa karena di sana apa-apa mahal, jadi deh beli gantungan kunci di Bangkok buat kalau ada yang maksa minta oleh-oleh. Sambil wara-wiri karena masih banyak waktu, saya muterin beberapa toko oleh-oleh di dalam bandara.


Toko yang paling banyak bertebaran di dalam Don Mueang Airport adalah Mapas. Di tiap lantai pasti ada, di beberapa bagian juga ada, jadi jangan khawatir kalau di toko di bagian ruang tunggu jenis gantungan kunci dan kartu pos nya ga variatif, di lantai atas masih banyak bertebaran. Harganya juga sama saja. Selain menjual souvenir, Mapas juga menjajakan camilan oleh-oleh dan berfungsi juga seperti convenience store. 

Mapas yang ada di ruang tunggu diluar counter check in

Selain Mapas ada Chitralada Shop yang lokasinya di lantai mmm saya lupa. Pastinya keliatan banget kok kalo kita jalan-jalan di sekeliling bandara. Toko yang ini lebih unik karena barang-barang yang dijual sepertinya hasil dari kerajinan tangan jadi bukan barang pabrikan seperti yang ada di Mapas. Harganya agak lebih mahal tapi cocok banget untuk yang suka barang-barang unik untuk koleksi pribadi. Saya sendiri suka banget sama topi-topi lebarnya, sayang males bawanya ribet.

Cobain ini dan itu tapi ngga jadi beli :p

Menikmati sunset dari balik jendela Gate


Kalau yang ini pastinya bonus kalau kamu dapat penerbangan nya malam hari. Sambil menunggu boarding time yang tak kunjung jelas karena delay, kami duduk menghadap jendela. Sambil ngemil ayam goreng tepung dari KFC yang terpaksa kami beli karena sudah mendekati jam makan malam, memandang langit merona jingga menjadikan akhir petualangan kami semakin syahdu. Selamat menikmati Bangkok 5 jam!

Gara-gara delay jadi bisa lihat sunset dari boarding room

Setiap sudut Kota Macau yang kami jelajahi memiliki masing-masing cerita untuk nanti. Dan cerita kami di Macau berakhir di desa Coloane, salah satu tempat paling romantis yang tidak dipadati turis. 


Sehabis menjelajah Taipa, kami memutuskan untuk menikmati matahari tenggelam di pantai Hac Sa atau Cheoc Van yang ada di Coloane. Karena lokasinya yang lumayan memakan waktu menggunakan bus, sejak pukul 4 sore kami mulai mencari pemberhentian bus menuju Coloane. Lumayan memakan waktu karena pemberhentian bus di sekitar Ruo Do Cunha tidak menunjukan rute ke Coloane. Jadilah kami jalan memutar-mutar mengikuti peta untuk mencarinya. Beginilah kalau tanpa GPS, selain modal peta, insting juga bekerja. Setelah berjalan hampir dua kilometer dari Taipa House Museum (karena memutar), bolak-balik nanya, kami pun sampai di halte bus di Olimpica Avenue. Di sini ada rute bus No. 26A menuju Coloane, sayang nya bus yang datang selalu penuh dan sangat jarang. Hampir satu jam kami menunggu, sehingga langit yang semakin jingga terpaksa kami nikmati dari halte bus.

Perjalanan bus dari Taipa menuju Coloane memakan waktu sekitar 45 menit. Di dalam bus, kami berdua berdiskusi untuk memutuskan apakah akan memaksakan ke pantai atau ke desa Coloane. Akhirnya kami putuskan untuk makan di Lord Stow bakery yang ada di desa Coloane, karena perut yang udah keroncongan semenjak sore. Kami sempat terkecoh dengan lokasi pemberhentian yang pas ke desa Coloane, lalu seorang kakak yang sepertinya baru pulang bekerja pun membantu kami. Dari sekian banyak warga lokal yang berinteraksi dengan kami selama di Macau, kakak yang saya lupa menanyakan namanya ini lumayan fasih bahasa Inggrisnya, sehingga kami pun nyambung. Ternyata kami turun di halte yang sama, ia mengajak kami berjalan bersama melewati gang-gang sempit sehingga kami bisa langsung sampai ke pinggir pantai. Kami berpisah di belakang gereja St Francis Xavier, sepertinya ia sedang buru-buru sampai kami lupa berkenalan. 

Gereja St Francis Xavier
Hari pun hampir gelap saat kami sampai di Desa Coloane. Tepat di depan gereja adalah bibir pantai dengan latar kota Guangdong. Di samping kiri gereja terdapat restoran yang mengiringi malam dengan lantunan lagu-lagu syahdu dari negeri barat. Menambah suasana yang makin romantis saja kala itu. Jalanan pun tidak begitu ramai, hanya ada mobil-mobil parkir yang tertata rapi. Kami pun duduk berdua menghadap pantai, bercengkerama sampai terlupa bahwa kami sedang lapar. 

Sisa senja yang kami nikmati sebelum gelap menyelimuti desa.

Setelah hari benar-benar gelap, kami berjalan menyusuri bibir pantai menuju Lord Stow Bakery yang ada di ujung jalan. Mungkin karena sudah malam, jadi antrian tidak begitu banyak. Kami memesan takeaway satu Portuguesse Egg Tart (kesukaan doi), satu cup Serradurra, sepotong choco cheese cake dan dua gelas homemade lemon tea dan es cappucino. Kebanyakan orang memesan kue di sini untuk dinikmati di pinggir pantai. Tentu saja kami juga, membawa dessert yang kami jadikan menu utama makan malam ini kembali ke tempat kami pertama saat tiba di depan gereja St Francis Xavier. 

Di dalam toko Lord Stow Bakery, tepat dibelakang saya mengambil gambar
adalah deretan mesin pendingindan rak-rak kue
Klimaks drama

Sambil makan malam istimewa -duduk di dinding pembatas jalan dan pantai, kami disuguhi gemerlap kembang api dari sebrang. Kalau di film-film drama mungkin ini klimaks dari kisah cinta di mana kedua tokoh utama akhirnya bisa bersatu setelah sekian lama saling memendam rasa. Halah. Berbagai cerita kami bagi malam itu, termasuk uneg-uneg selama hidup bareng. Dan juga kebahagiaan yang tidak cukup diungkapkan dengan kata, hanya saling pandang saja. 

Satu tahun, hanya permulaan saja. Masih banyak lagi cerita yang menanti.