Pulau Kayu Angin Bira, Kepulauan Seribu bagian utara

Kebanyakan dari para penyelam yang ingin memperoleh sertifikasi diving, lokasi penyelaman yang paling populer yang tidak jauh dari Jakarta adalah Pulau Pramuka, Kepulaun Seribu. Tidak hanya wisatawan lokal saja, banyak wisatawan asing juga mengetes kemampuan scuba diving nya di sana. Keindahan bawah laut di Pulau Pramuka terkenal karena adanya spot Monas di dalam air dan wreck atau kapal karam. Tempat penyewaan alat diving yang lengkap juga mendukung wisatawan lebih memilih Pulau Pramuka. Tetapi jika Anda ingin benar-benar merasakan kehidupan bawah laut yang sebenarnya, Anda bisa diving ke spot diving di sekitaran Pulau Kayu Angin Bira. Memang jaraknya agak jauh, memakan waktu sekitar satu setengah jam dari Pulau Pramuka menggunakan kapal motor. 

Tidak hanya bagi orang yang hobi diving, Anda juga bisa snorkeling di sekitaran Pulau Kayu Angin Bira. Dalam jarak 5-15 meter dari tepi pantai, anda bisa menyaksikan kehidupan bawah laut yang sangat kaya. Penyu, ubur-ubur raksasa, lion fish, sea ell dan clown fish masih bisa ditemukan di sana.


Sea turtle
Ubur-ubur mosaic yang dikelilingi ikan-ikan kecil

Pulau Kayu Angin Bira memang baru-baru ini mulai terdengar namanya. Biasanya pulau ini hanya jadi salah satu spot dari hopping island untuk foto-foto. Tak banyak yang tahu bahwa keindahan bawah lautnya tak kalah dengan keindahan bawah laut Kepulauan Karimun Jawa. Anda akan puas berenang, snorkeling dan diving tanpa harus menyewa kapal kecil untuk menuju spot yang banyak sekali ikan dan terumbunya. Pasirnya yang halus dan putih membuat kita betah berlama-lama di pulau ini. Apalagi pemandangan matahari terbit dan tenggelam bisa dinikmati dari pulau ini.


Menikmati matahari tenggelam
Pulau Kayu Angin bira terletak tidak jauh dari Pulau Harapan, pulau yang padat penduduknya. Hanya butuh waktu kurang dari setengah jam dengan kapal kecil, Anda bisa mencapai Pulau Kayu Angin Bira dari Pulau Harapan. Oleh karena itu, Anda bisa menyewa homestay atau penginapan di Pulau Harapan. Untuk menuju Pulau Harapan Anda bisa menggunakan kapal kerapu dari pelabuhan Kayu Adem. Waktu tempuhnya lebih cepat dibandingkan menggunakan kapal motor dari pelabuhan Muara Angke, kurang dari dua jam Anda sudah bisa mencapai Pulau Harapan.

Jadi, jika Anda hanya punya waktu sempit seperti libur akhir pekan, tetapi Anda tetap ingin liburan wisata bahari, Pulau Kayu Angin Bira adalah pilihannya. Saya sudah dua kali kesana saat libur akhir pekan. Melepas penat setelah lima hari bekerja, lalu semacam short escape selama dua hari dari kesibukan di kota menikmati keindahan bawah laut yang tidak jauh dari Jakarta. 
Hanya butuh waktu kurang dari 3 jam untuk mencapai pulau ini!

Keterangan:
Seluruh foto selain foto underwater adalah karya penulis.
Foto bawah laut oleh Agus Hong (agus_hong@hotmail.com)

Jangan ditiru yah. Ini foto masih jamannya saya alay. Hahahaa.. 
Tiket sudah ditangan, hari keberangkatan pun tiba. Setelah setengah hari masuk jam kerja, saya kembali ke rumah untuk mengambil carrier 45 L yang sudah saya packing beberapa hari sebelumnya. Sambil melawan derasnya hujan sore itu di Jakarta (14/10), saya tiba di bandara Soetta mepet sekali. Malam itu saya bertolak ke Bali, sekitar jam 10 malam saya sudah di bandara Ngurah Rai. Tak ada rencana untuk main-main di Bali malam itu, karena pesawat promo yang saya pesan ke Lombok take off esok paginya. Jadilah malam itu saya dengan Andrew menyampah (makan kuaci sampai ledes) di resto KFC bandara Ngurah Rai. Tidur di musholla seadanya sampai pagi esok menjelang.


Langit pagi itu cerah sekali, puncak Gunung Agung Bali pun terlihat dari jendela pesawat yang saya tumpangi. A]khirnya setelah hampir dua tahun, saya kembali lagi ke kota ini. Di pesawat, saya sempat membaca majalah traveling, yang membahas tentang Sekotong, surga kepulauan di barat Lombok. Ah jika saja waktu libur yang saya miliki lebih panjang, saya pasti kesana. Gili Kedis, gili sudak, gili nangu.. wait for me, I'll be back with my -soon to be- beloved husband! *sambil ngimpi kesana bulan madu* hahahaa..

Berlayarlah dengan apa yang kau genggam saat ini.


Sepenggal kalimat dari seorang teman, empat bulan lalu, membuat saya memutuskan untuk langsung membeli tiket pesawat ke Flores. Yang ada digenggaman saya saat itu hanyalah tiket pulang pergi Jakarta-Lombok, Labuan bajo-Jakarta. Entah ada pikiran apa yang merasuk ke kepala saya hingga membuat saya benar-benar jatuh cinta dengan laut. Saya ingin berlayar. Saya ingin mengarungi lautan. Saya ingin menjelajah samudera. 


Lembayung fajar di selat Sumbawa


Setelah tiket di tangan, saya belajar berenang dan tentunya mengumpulkan uang jajan. Sambil sedikit-sedikit membeli peralatan menyelam. Kalau saya ingat lagi, saya tak habis pikir karena dulu saya adalah orang yang takut air, maksud saya berada di dalam air yang bervolume tinggi seperti kolam renang. Dan mimpi saya ke Flores, membuat saya mengalahkan rasa takut itu. Selain itu, saya pun mulai belajar teknik freediving. Meski saat ini saya hanya mampu menyelam di kedalaman lima meter. Ya, rasa takut itu membuat pengalaman menyelam saya menjadi lebih berharga. Dan Rabu sore minggu lalu (14/11) saya berangkat ke Lombok dengan transit semalam di Bali. Awal perjalanan sailing trip ini pun disambut hujan deras di Jakarta.

Flores Sea
A journey of a thousand miles begins with a single step. Said Lao Tzu, a Chinese philosopher. A single step is just a beginning of the journey. What makes the journey becomes real is a dream. And my dream, sailing from Lombok to Flores, comes true! Every journey has a story. I'll tell you how really wonderful it is to sail through Flores sea for four days.

 

"A dangerously beautiful.. "
Pantai Klayar, Pacitan Jawa Tengah | 1-2 September 2012

Lumbung padi yang terletak persis di depan rumah adat Toraja

Sudah sebulan berlalu, sejak menginjakan kaki di South Celebes. Perjalanan selama tiga hari tanpa rencana, bermodalkan tiket promo milik seorang teman yang mendadak batal berangkat. Hari pertama di kota Makassar, saya habiskan dengan berwisata ala keluarga ke Taman Nasional Bantimurung dan berleyeh-leyeh di pantai pasir putih yang cantik di pulau Samalona. Malamnya, setelah mandi seadanya di masjid apung dekat pantai Losari, kami bergegas menuju pool bus Litha dengan taksi. Saat orang-orang menikmati malam minggunya seperti kebanyakan anak muda, saya menikmati malam dengan tidur pulas di bus yang layaknya sleeping bus, dengan harga seratus ribu rupiah kami memperoleh pelayanan kelas eksekutif. Perjalanan ini selama hampir 9 jam menuju Rantepao, pusatnya para turis di Tana Toraja.

Kami sampai di Rantepao pagi hari, disambut dengan udara dingin yang membuat saya harus mengeluarkan jaket dari tas. Tana Toraja terletak di dataran tinggi, sehingga hawanya sangat berbeda sekali dengan kota Makassar yang panas karena terletak di dataran rendah yang langsung berbatasan dengan laut. Pool bus Litha terletak di pasar Rantepao, cukup strategis untuk kemana-mana. Kami pun tidak kesulitan untuk mencari tempat makan muslim dan sewa motor. Setelah sarapan, kami menitipkan barang bawaan kami ke tempat sewa motor, karena kami tidak berencana untuk menginap di Tana Toraja. Lalu dengan bermodalkan fotokopi-an peta lokasi wisata Tana Toraja, kami berangkat dengan hati gembira. Karena pagi itu matahari cerah sekali!

Dengan modal peta hitam putih ini, kami keliling Tana Toraja dari utara sampai selatan!
Posisi pasar Rantepao ada di tengah, karena itu mungkin lebih tepatnya kami bukan keliling Toraja dari utara ke selatan. Tetapi dari tengah ke selatan lalu kembali ke pasar untuk makan siang dan melanjutkan ke utara dan balik lagi ke pasar, hehe. Capek memang harus bolak-balik menggunakan kendaraan roda dua, apalagi hari sebelumnya kami sudah lumayan lelah setelah mengeksplor Makassar. Sempat beberapa kali Mamat hampir bersenggolan dengan pengguna motor lain, dan sekali carrier saya jatuh di tengah jalan. Rasa lelah tak mematahkan semangat kami untuk berwisata "makam". Ya, karena Toraja ternama dengan adat istiadat nya dalam prosesi pemakaman. Maka hari itu kami mengekplor budaya Toraja dengan mengunjungi beberapa makam yang sudah menjadi sejarah dan yang masih di gunakan sampai saat ini.

Lemo, kuburan batu pahat milik kepala suku Toraja masa lalu
Tujuan kami pertama adalah Lemo. Di sekeliling tebing banyak sekali makam, dan beberapa di antaranya terdapat tulang belulang yang mencuat keluar sehingga terlihat dari bawah. Selain itu kami pun mendapati pemandangan ngarai sawah yang hijau setelah mengitari situs pemakaman ini.

Pemandangan di balik Lemo
Selain Lemo, di daerah selatan Tana Toraja kami mengunjungi situs pemakaman lain seperti Tampang Allo dan Lado. Jarak antar situs tidak terlalu jauh. Sebenarnya diantara itu masih terdapat banyak lagi situs makam lain. Kami pun mengunjungi Baby Grave di Kambira, yang merupakan pemakaman bayi di pohon. Seorang bayi yang belum tumbuh giginya dimakamkan di pohon, karena di percaya arwahnya masih suci. Berbeda dengan orang dewasa yang dimakamkan di tebing batu. 


Baby grave di Kambira
Makam ini sudah tidak digunakan lagi sejak agama sudah masuk ke sini.
Beberapa tengkorak yang tersusun di dalam Tampang Allo
Suasana di dalam Lado, turis asing banyak sekali yang datang ke sini!
Salah pemandangan gua di dalam Lado
Setelah mengeksplor wilayah utara Tana Toraja, kami kembali ke pasar Rantepao. Kami sempat melewati patung Sultan Hasanuddin yang berada di simpang lima kota Makale, ibukota administratif Tana Toraja. Di pasar, kami makan di sebuah tempat makan yang siang itu ramai pengunjung. Kami pun langsung memesan makanan tanpa bertanya terlebih dahulu harganya hingga saat tiba meminta bon, kami terkaget. Ya, harga makanan yang sudah jadi di Tana Toraja itu berbeda sekali dengan Makassar. Untuk ukuran mahasiswa yang biasanya satu porsi di sini bisa dihabiskan untuk makan selama 3 hari. Sehabis makan, kami melanjutkan eksplorasi ke wilayah utara. Karena waktu yang mepet menjelang sore, kami hanya mampir ke desa tenun di Galulu Dua dan desa adat Kete Kesu. 


Salah satu pengrajin tenun di Galulu dua
Kete Kesu
Salah satu rumah adat di Kete Kesu yang sedang di renovasi
Kami tak bisa mendapati prosesi pemakaman dan pesta adat yang biasanya dilakukan orang suku Toraja. Padahal kalau kami sampai di sini hari sebelumnya, kami bisa ikut menyaksikan prosesi adat yang sudah terkenal se-antero dunia ini karena hanya satu-satunya. 


Mamak neneng, di desa galugu dua.
Bercerita tentang anaknya yang akan menikah dengan suku jawa
Tapi itu tak membuat saya kecewa, mengenal lebih dekat dengan warga asli suku Toraja sudah cukup membuat saya bahagia. Melihat perbedaan yang mencolok antara mereka dengan saya, melihat sisi lain di tempat yang jauh dari saya dibesarkan, dan belajar bahwa perbedaan bukan penghalang untuk saling mencintai. Itulah yang saya dapatkan di Tana Toraja.