Adem Ayem Kota Utrecht

Sep 7, 2016


Waktu yang kami habiskan di Utrecht lebih banyak di rumah Marije, host kami selama di Utrecht. Hujan yang sejak kemarin belum berhenti bikin kita males keluar rumah. Jadi kami di rumah nyuci baju, ngejemur dan masak-masak. Ngirit banget lah pokoknya selama di Utrecht. Dari empat hari di sana, kami ke pusat kota hanya dua kali, itu pun setengah hari. Suasana perumahan tempat kami nginep pun sepi dan tenang banget. Marije, yang suka yoga ini bercerita, kadang kala saat dia nginep di rumah pacar nya di Amsterdam dia suka kangen sama Utrecht, rasanya damai di sini. Kalau alasan saya kenapa milih kota ini sih sepertinya random banget. Pernah baca di majalah (lupa apa majalahnya) kota ini kota pelajar, jadi ngga terlalu rame dan bising. Dan berikut tempat-tempat yang kami kunjungi setelah secara random memilih Utrect sebagai kota persinggahan kedua kami di Eropa.

Ulu Moskee and Moslem Neighborhood

Di hari Jumat, kami mencoba jalan kaki ke Masjid Ulu di pusat kota Utrecht yang kira-kira ditempuh sejauh 3,5 kilometer dari rumah Marije. Kami lewat jalan pintas, blusukan di komplek perumahan warga. Menyenangkan, dengan berjalan kaki pelan, sesekali berpapasan dan bertegur sapa dengan warga lokal. Beberapa rumah yang kami lewati pun cukup unik dan mungil. Ah, sampai Indonesia ngga sabar pengen design rumah sendiri. Setelah melewati komplek warga kita akan melewati Central Museum, salah satu spot wisata di Utrecht.



Setelah Bre sholat jum'at, kami jalan-jalan di lingkungan masjid yang nama jalannya banyak ditandai dengan nama daerah-daerah di Indonesia. Nama daerahnya sendiri di sini itu Lombok area. Nama jalannya ada Javastraat, Riaustraat, Balistraat, Sumatrastraat dan banyak lagi lainnya. Di Lombok area ada banyak grocery store halal di sepanjang jalan. Jadi sekalian lah kami mampir belanja bahan makanan. Dan ini pertama kalinya kami makan bacon kalkun! Setelah itu baliknya kami nyasar-nyasar tak tentu arah karena tak menemukan halte bus untuk kembali ke rumah. Masih sore, belum gelap sama sekali. Kami langsung kembali ke rumah dan masak-masak lagi.



Slot Zuylen

Kedua kali kami keluar rumah (selain ke supermarket) adalah pagi buta ke Slot Zuylen. Waktu nanya-nanya ke si host mengenai waktu yang pas ke Slot Zuylen, dia sendiri malah belum pernah ke sana. Hahaha, jadilah kami berangkat pagi-pagi menggunakan bus karena lokasi nya yang lumayan jauh. Sampai di sana, sepinya krik krik krik. Kita kayak lagi di antah berantah. Entah karena kita yang kepagian atau memang bukan spot wisata banget.

Untuk sampai ke Slot Zuylen, kita diharuskan jalan kaki dulu melewati komplek warga. Kira-kira 650 meter dari halte bus. Penunjuk jalannya pun cukup jelas jadi ngga akan nyasar. Selain melewati komplek warga, kita juga akan menyebrangi sungai Vecht lewat jembatan yang besar. Lalu akan ada jalanan yang kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon besar.







Slot Zuylen adalah istana atau benteng yang berada di desa Oud Zuilen. Istana nya terletak di sepanjang sungai Vecht. Informasi lengkap tentang istana ini bisa dibaca di sini. Kami tidak berhasil masuk ke area istana ini, karena kami kepagian! Saya sendiri udah cari informasi sebelum ke sini kalau istana ini baru buka tour guide nya jam 11 siang. Saya pikir kita bisa aja masuk di area halamannya saja tanpa harus pake tour guide. Tapi ternyata, gerbangnya masih dikunci dan ngga ada orang sama sekali. Kami pun coba mengeksplor daerah sekitar yang ternyata berupa ladang luas yang banyak sekali dihuni oleh domba dan sapi. Kami pun langsung bertolak ke pusat kota.


Pasar Kain Lokal

Sampai di pusat kota, kami mencoba menembus gang-gang sempit untuk sampai ke tempat ngeprint yang kalau di sini terkenal namanya Printerette. Berhubung setelah kota Utrecht adalah pertama kalinya kami akan naik bus antar negara, jadi rada parno sama peraturan agen Flixbus yang mengharuskan kita mengeprint sendiri label untuk tas yang disimpan di bagasi. Tapi ternyata ngga terlalu pengaruh, kecuali agen bus Regiojet yang ekslusif memberikan kita label beneran tiap check in.


Sebelum sampai ke Printerette kami justru terjebak di pasar lokal, pasar dadakan yang sepertinya ngga diadain tiap hari. Dan saya suka sekali pasar. Bukan karena suka belanja di pasar tapi di pasar lah kita bisa melihat bagaimana kehidupan di suatu tempat berjalan. Duile, berlebihan sekali bahasaku. Sebetulnya seru aja kalau lagi di tempat-tempat begini. Jadi bisa lihat yang unik-unik, kain yang lucu-lucu, meskipun ngga beli sama sekali.



Oudegracht

Oudegracht atau old canal, sebuah nama jalan yang dilewati oleh pertemuan dua sungai yaitu sungai Kromme dan Vaartse. Di sini Bre hampir kena scam! Lagi enak-enaknya jalan dipinggir sungai tiba-tiba kami disamperin orang yang mencurigakan. Malam sebelumnya, saya memang sempat membaca sebuah artikel soal scam di Utrecht. Scam yang paling sering terjadi adalah ada orang yang mengaku-ngaku turis nyasar minta bantuan, lalu orang yang mengaku-ngaku polisi minta kita nunjukin paspor dan orang yang memaksa meminta biaya foto untuk memberi makan burung saat kita sedang asyik foto-foto. Dan kita hampir kena dua scam pertama.


Awalnya ada orang nanyain jalan ke arah Utrecht central, sambil bawa-bawa hp dan buka aplikasi google maps. Duh, kita kan turis juga mana kita ngerti. Lagi pula saya dan Bre ngga konek internet sama sekali, jadi kalau jalan cuma pake feeling dan modal screenshot map dari hp. Situ kan pake GPS kenapa masih nanya kita? Di sini saya udah mulai curiga, kita pun masih diikutin. Lalu tiba-tiba ada polisi yang datangin kita dan nunjukin ID polisinya. Kita disuruh nunjukin paspor. Saya ngga mau, kalau mau kita ke kantor polisi dulu. Dengan mencoba nunjukin wajah sangar, saya pun menarik Bre dan pergi menjauh. Mau ngejar? Saya akan teriak, "Heeeelp!"

Oudegracht ini jalanannya cantik, asyik banget dinikmatin sambil berjalan pegangan tangan. Ah! Tapi gara-gara kejadian tadi kami pun terpaksa buru-buru ninggalin tempat ini. Hanya foto diatas menyimpan kenangan kami dengan Oudegracht.

Dom Tower

Di sini kami di sapa sama mas-mas yang lagi sepedahan ngebonceng anaknya. "Mari maaaas~" Pasti karena muka Bre yang lokal jawa banget deh. Akhirnya ketemu orang Indonesia juga di sini. Di tengah area kompleks Dom Kerk, banyak bertebaran turis-turis yang lagi berteduh di depan patung di bawah pohon besar yang rindang. Kami pun ikutan duduk-duduk sambil bengong, kira-kira enaknya ngapain ya di sini?

Dan dihadapin kami ternyata ada tower tinggi yang bisa dipanjat. Kami pun langsung ke Tourist Information yang tidak jauh dari tempat kami duduk. Dan, last guide tour ke Dom Tower adalah pukul 6 sore. Saya pun langsung membeli tiket yang dihargai €9.50 untuk satu orang, tadi nya mau pesan dua namun ngga jadi karena dapat tawaran dari turis lain yang katanya ngga jadi namun sudah terlanjur beli tiket.


Bel yang ada di puncak Dom Tower
Tour Dom Tower dipandu oleh seorang tour guide dengan bahasa Inggris yang cukup dimengerti lah. Dimulai dengan intro latar belakang Dom Tower yang membuat kami mulai tertarik. Lalu dilanjutkan dengan menaiki beberapa anak tangga, dan kemudian ada tangga lagi, tangga lagi. Sampai di bagian yang sempit, tak henti-hentinya kami naik tangga. Dan total anak tangganya ada 465! Gilaak gue bayar mahal-mahal gini buat naik tangga doang, haa haa haa. Sampai di spot untuk foto pun kami dikasih waktu. Lalu dilanjutkan lagi dengan naik tangga dilorong sempit untuk menuju bagian paling atas tower. Sayangnya, di sini dibatasi jaring-jaring sehingga kita tidak leluasa melihat kota Utrecht.


Tour yang durasinya 60 menit ini menyisakan dengkul yang gemetar saat kami sudah sampai ke bawah. Kami pun langsung kembali ke rumah. Ya, kembali ke rumah, rasanya ingin langsung rebahan dan tidur. Begitu adem dan anyem nya kota Utrecht sampai membuat kami selalu kangen sama kasur. Selama empat hari tiga malam di kota ini, waktu memang lebih banyak kami habiskan di rumah. Sometimes you just need to relax, breathe, let go and live in the moment.  When you try to control everything, you enjoy nothing. Halah, sebetulnya sih karena masih jetlag jadi jam tidur kami masih acak-acakan. Saya menyelesaikan tulisan ini di hampir satu bulan menjelajah Eropa. Di Budapest, kota yang masih tidak rela harus kami tinggalkan besok pagi.



1 comment