Mengintip pagi dari dalam tenda,
Betapa rindunya menjelajah suatu tempat dengan cara "ngeteng". Bersama dengan teman-teman seperjalanan yang menyenangkan, yang rela duduk di atas kap mobil kena angin karena terpaksa hitching (Hai Dito, apa kabar lo?). Atau karena cape jalan kaki numpang di truk kayu yang gedenya ampun deh naikinnya aja susah banget! Ya saya rindu sekali dengan perjalanan-perjalanan itu. Akhirnya perjalanan itu pun saya ulang kembali. Di warung baso Cak Kar, yang ternyata memberikan fasilitas free-wifi, saya iseng browsing "pantai-pantai eksotis di Jawa Timur". Jyaleaaah.. Mode alay on! Dan nemu lah pantai ini.

Biru nya pesisir pantai dari sebelah timur. Foto ini diambil di jalan masuk ke pantai.

Pantai lagi.. pantai lagi.


Tentu saja kami memilih pantai, karena hari sebelumnya kami baru turun gunung. Dan saat menemukan pantai ini di google saya teringat kembali ketika pelesir ke pantai Klayar di Pacitan, keinginan untuk menjelajah pantai di Jawa Timur begitu menggebu. Sedikit lagi setelah pantai Klayar pasti sudah menyentuh tanah timur jawa, demi project 100 pantai yang pastinya masih berlanjut selama bumi ini masih berputar. So here the story.... Semalaman kemah di Pantai pasir putih malikan atau singkatnya PaPuMa!


Bus kami berangkat dari Terminal Arjosari, Malang pukul 9 malam. Tadinya kami mau langsung naik jurusan Jember, tapi sepertinya sudah tidak ada. Kami pun menaiki bus jurusan Banyuwangi yang jalurnya melewati Jember. Kiranya sampai Jember pagi hari jadi kami ngga perlu menginap, eh ternyata kami sampai jam 2 pagi. Hayaaah.. Masih gelap. Antimo yang baru diminum 4 jam yang lalu pun masih menyisakan rasa kantuk yang tiada tara. Baru saja turun bus, kami dihadang banyak orang yang menawarkan jasa ojek. Saat kami bilang kami mau menuju pantai papuma di pagi hari, si bapak malah memaksa kami menginap di motel. Kami pun buru-buru meninggalkan bapak itu, tetapi bapak itu malah mengikuti kami menawarkan jasa ojek yang tarif nya main tembak saja. Jadi, trik supaya ngga diikutin dan ditanya-tanya terus adalah pura-pura menelepon teman di Jember minta dijemput. Hahaha... Kalo ngga gitu pasti urusan jadi panjang. Akhirnya bapak itu pun pergi dan kami memutuskan tidur bergantian di teras Musholla di depan terminal, bersama dengan para gelandangan. 


Setelah sholat subuh, kami tidur lagi. Benar-benar ya antimo itu ternyata nyiksa juga kalo minumnya telat. Kami pun memulai perjalanan kami pagi hari itu sambil bertanya-tanya dengan para petugas dishub di terminal soal angkutan umum menuju Terminal Ajung. Tak dinyana, kita malah ditawari jasa ojek lagi. Langsung nembak pula harganya. Karena males berdebat tidak jelas dengan "calo" saya langsung bertanya pada ibu kios sambil beli minuman ringan. Untuk menuju terminal Ajung kita naik angkutan umum 2 kali. Lagi-lagi ditengah jalan ditawarin jasa ojek, karena kami berdua kelihatan lama menunggu angkutan umum berikutnya. Gak deh. Setelah sampai Terminal Ajung kami naik angkutan pedesaan yang udah ngga tau lagi gimana bentuknya menuju Ambulu. Duduk sumplek-sumplekan bareng sayuran, ayam, dan ibu-ibu serombongan mau kondangan. 

Sesampainya di Ambulu, kami cari sarapan sambil bertanya-tanya ke penduduk sekitar soal angkutan umum ke PaPuMa. Ternyata di sana hanya tersedia dua jenis angkutan umum, yaitu ojek dan bentor (becak motor). Kami pun dihampiri beberapa tukang ojek, sambil nego harga. Inilah seninya traveling di  Indonesia, ngga ada harga patokan jadi kita harus pintar-pintar nawar. Karena perundingan berlangsung alot, bapak-bapak ojek pun meninggalkan kami. Kemudian kami mencoba alternatif ke dua yaitu bentor. Ternyata kalo naik bentor itu hanya sampai perbatasan pertigaan antara pantai Watu Ulo dan pantai PaPuMa. Tadinya mau ngirit ongkos malah jadi kemahalan. Hahaha.. Lalu kami putuskan naik ojek saja ke bapak ojek yang tadi. Pas kami hampiri ke pangkalan ojeknya, si bapak sudah ngga ada! Kami pun panik dan mencoba menyusuri jalan raya sambil cari ojek lain.



Tapi yang namanya jodoh, akhirnya kami bertemu lagi dengan si bapak setelah berjalan kaki beribu-ribu kilometer! Kita sepakat 100 ribu untuk 2 ojek pulang pergi Ambulu-PaPuMa, yang artinya sekali jalan kita kena dua puluh lima ribu. Si bapak juga dengan senang hati menjemput kami ke lokasi esok harinya. Ternyata Pak Selamet ini orang baik. Bersyukur sekali kami bertemu dengan nya. Sampai di PaPuma pukul 11 siang, kami membayar tiket masuk sebesar 12 ribu. Setelah pamitan dengan pak Selamet, kami langsung menuju bibir pantai. 

Perjalanan yang menyusahkan dan semuanya terbayar! Birunya langit siang itu, memantulkan warnanya pada laut selatan. Serta awan putih yang memberik corak langit. Angin laut yang menghempas serta suara ombak yang menderu mengobati segala kerinduan. "Ah pantai.. aku kangen sekali sama kamu." Sambil memeluk orang di sebelah saya. Eh ngga kok ini cuma perumpaan aja pengen meluk pantai biar romantis tapi ngga bisa. Hehehehe.. 




Matahari pun semakin bergerak ke atas, menunjukan waktunya sholat Jumat. Di pantai tidak ada pengunjung lain, hanya ada para pedagang dan penjaga toko. Brew yang kebingungan karena di pantai tidak ada masjid pun akhirnya bertanya kesana-kemari. Tidak ada orang yang terlihat akan pergi ke masjid, ia pun berencana jalan kaki sambil cari tumpangan. Lebih baik usaha daripada tidak. Beruntungnya, di jalan ada anak kecil yang sedang mengendarai motor meninggalkan pantai dan mau menumpanginya sampai ke masjid. 





Pengen berenang di sini ngga bisa. Jadi liatin si bapak mancing sambil nyanyi-nyanyi.

Matahari nya ketutup bukit. Sayang sekali!
Menunggu sunset, kami menghabiskan waktu mengelilingi ujung pantai PaPuma dari sebelah timur sampai ke barat. Bentuk pantai papuma itu seperti V terbalik jika dilihat dari bukit. Setelah senja mulai memudar, kami makan malam di sebuah warung kecil yang menawarkan sajian ikan segar untuk dikiloin. Seporsi cumi bakar dengan bumbu sambal nya menguras keringat di dahi. Setelah makan, kami tiba-tiba dihampiri seorang laki-laki yang usianya mungkin tidak jauh dari kami. Dia mengenalkan dirinya sebagai Iwan. Seorang pemuda asal Surabaya yang bekerja sebagai petugas lingkungan di pantai PaPuMa. Kami bertiga pun berbagi cerita, berbagi pengalaman kami dalam perjalanan. Malam itu kami pun langsung diajak ke kantor nya untuk lapor kalau kita akan camping semalam. Kami tidak dipungut biaya apa-apa kok, hanya membayar 3000 rupiah saja untuk retribusi. Di kantor pun kami malah jadi ngobrol dengan bapak-bapak petugas yang lain. Dan malam pun kami habiskan dengan berbincang-bincang dan bercerita. Milky way malam itu jadi agak samar semakin gelap menuju pagi.

Pemandangan dari pintu tenda. Ajib kan?
Bangun tidur ku kucek mata terus melongo, sambil nguap dan ngelamun.
Aktifitas pagi nelayan.
Sebelum di jemput oleh pak Selamet, pagi hari pukul 8 pagi setelah sarapan dan packing, kami berencana hiking ke bukit di utara. Sesuai dengan info yang diberikan oleh mas Iwan bahwa ada satu spot yang jarang sekali dikunjungi wisatawan lokal. Jalan yang dilalui beraspal namun hancur dan sudah ditumbuhi banyak tanaman liar. Tiba-tiba ada bapak petugas yang sengaja menghampiri kami menggunakan motor kopling. Kami pun disuruh menumpangi motornya, dan ia mau mengantar kami sampai atas. Baik sekali bapak nya! Memang trek nya lumayan curam. Baru sepersepuluh perjalanan saja kita sudah ngos-ngosan.

Pantai PaPuMa yang dilihat dari atas bukit

Itulah spot dimana kita bisa melihat keseluruhan pesisir pantai PaPuMa dari ujung barat sampai timur. Sayangnya masih terlalu pagi sehingga buih dilaut membuat horizon tidak begitu terlihat. Setelah sejenak menikmati view yang luas itu, kami pun beranjak pulang dengan dijemput oleh pak Selamet dan temannya. Perjalanan menuju Jakarta pun tidak mudah, dimulai dengan bus Jurusan Jember-Jakarta yang sudah habis dihari itu, sehingga kami terpaksa cari bus menuju Surabaya dulu. Sampai di Surabaya pun kami kehabisan bus ke Jakarta jadi terpaksa kita manaiki bus menuju Cirebon. Tidak henti sampai disitu, di Cirebon kita kehabisan tiket kereta dan terpaksa naik bus lagi dari Cirebon sampai Jakarta. Setelah dihitung dari Jember - Jakarta total perjalanan darat 32 jam! Tak mengapa, karena ini lah seni nya dari traveling, menikmati setiap sudut perjalanannya karena Suatu saat nanti aku pasti akan merindukan ini lagi

China Town di Singapura
Mungkin bagi beberapa orang, mendengar kata Singapura pasti merujuk ke wisata belanja. Kota yang banyak mereka sebut tidak ada apa-apanya. Ya, kalau dibandingkan dengan Indonesia yang beragam suku bangsa dan budayanya. Apalagi bagi orang yang menganggap berwisata kesana bukanlah pilihan yang menarik. Pikiran yang sempit! Karena tujuan dari sebuah perjalanan bukanlah destinasi. Itu lah yang menjadi prinsip saya ketika setahun yang lalu (2013) memutuskan untuk menginjakan kaki di luar Indonesia pertama kali di Singapura, negeri yang katanya tidak lebih besar dari kota Jakarta. Serta Malaka, kota pelabuhan dan pusat perdagangan jaman dahulu yang menyimpan banyak sejarah.