Menyapa Pagi, Melepas Kangen Bromo

Jul 21, 2016


Malang, kota tercinta. Tempat Bre dilahirkan dan dibesarkan hingga merantau ke Jakarta. Kota yang sekarang menjadi kota yang selalu bikin kangen karena sejuknya dan hangatnya keluarga. Sudah hampir satu tahun kami tidak pulang. Bre yang sudah jadi anak perantauan kembali pulang melepas kangen. Saya pun jadi ikutan kangen juga dengan Bromo.

Kenapa Bromo? Saya dan Bre belum pernah menyapa bromo bersama. Kami selalu dipisahkan jarak waktu. Saat pertama kali Bre kesana sekitar dua belas tahun lalu, mungkin saya sedang seru-serunya baru jadi anak sma.  Atau saat pertama kali saya ke sana sekitar tujuh tahun lalu di sela liburan semester, mungkin Bre sedang mengadu nasib di Jakarta. Karenanya kami ingin sekali menikmati waktu bersama di tempat ini. 

Menyapa pagi, melepas kangen.
Awalnya kami sudah berkali-kali diperingatkan untuk menghindari Bromo, karena dua hari sebelum kami berangkat, Bromo ditetapkan status waspada level dua. Wisatawan hanya boleh memasuki kawasan wisata dalam radius satu kilometer dari kawah Bromo. Kami selalu mengecek berita untuk meyakinkan orang terdekat kami bahwa kami akan baik-baik saja di sana. Malam sebelum berangkat, Bre memutuskan agar kita tetap jalan. “Kita nikmati saja perjalanan ke sananya, kalau memang di sana terjadi sesuatu ya kita tinggal pulang lagi. 

Berbekal baju hangat, sarung tangan dan topi kupluk kami berangkat pagi hari dari rumah. Dengan roda dua, kami menyusur jalan pegunungan di daerah Nangka Jajar. Jalur yang kami lewati adalah melalui Pasuruan. Jalanan yang dilalui sangat mulus dan kami menikmati perjalanan yang mungkin sudah lama tidak kami rasakan, montoran berdua.

Para penikmat alam menunggu pagi
Sampai di Desa Wonokitri, desa terakhir dan gerbang pertama loket ke TNBTS jalur Pasuruan, kami mencoba mengumpulkan info bagaimana akses ke desa Cemoro Lawang. Ya, tujuan utama kami adalah menginap di Desa Cemoro Lawang. Dari ngobrol-ngobrol dengan Mas Zainul, kami pun diberi tahu bahwa untuk menuju desa Cemoro Lawang kami harus melalui Lautan Pasir. Sangat tidak memungkinkan bagi motor matic, karena memang dari awal kami tidak berencana ke kawah Bromo untuk menghindari jalanan berpasir. 

Ternyata, jika ingin menggapai desa Cemoro Lawang tanpa melewati Lautan Pasir kami harus jalan kaki dari Bukit Kingkong ke Seruni Point sampai ke Desa Cemoro Lawang. Atau jika menggunakan kendaraan bermotor kita harus lewat jalur Probolinggo. Doeeeng! Kami pun ditawarkan untuk menginap di Desa Wonokitri saja. Karena masih bersedih dengan kenyataan bahwa kami tidak bisa menggapai Cemoro Lawang, kami menolak tawaran itu lalu melanjutkan perjalanan yang masih 9KM lagi menuju Pananjakan Point. Nanti di sana baru kita putuskan apakah kami akan memaksakan ke Cemoro Lawang dengan jasa ojek, menginap di Wonokitri, atau pulang saja kembali ke Malang. 

Bromo yang tertutup kabut di Pananjakan Point
Di warung makan yang berada di depan parkir motor Pananjakan Point, kami menikmati semangkuk mie rebus dengan tambahan pentol (yang dalam bahasa Ngalam maksudnya adalah bakso) untuk mengurangi dinginnya udara yang menusuk tulang. Sembari mengobrol, saya pun mengutarakan kegalauan saya karena begitu kekeuh untuk menginap di Cemoro Lawang. Bre menanyakan kembali tujuan saya ke Bromo. “Emangnya harus banget nginep di Cemoro Lawang? Kan nanti trekking-trekking juga akhirnya.” Saya pun menelepon Mas Dedi, pemilik homestay di Cemoro Lawang untuk membatalkan penginapan. Masih sekitar pukul 2 siang, kami turun lagi ke Desa Wonokitri untuk mencari penginapan. Tenang saja, banyak sekali bertebaran homestay di sana. Rata-rata harganya 150-200 ribu per malam.

Setelah beristirahat dua jam, kami mencoba mengeksplor Bukit Kingkong dan Seruni Point untuk mencari lokasi yang asik untuk mengejar sunrise esok hari nya. Sore yang mendung, kami berdua menyusur jalan yang diselimuti kabut. Untuk menuju Bukit Kingkong, kami memarkir motor di Musholla Syariah Mandiri. Lalu berjalan kaki sekitar 300 meter melalui jalanan konblok kecil yang menurun. Baru sepertiga jalan, hujan pun mulai turun dan terpaksa kami kembali ke parkiran motor. Kabut mulai tebal dan hujan masih rintik. Kami mengobrol di warung kecil depan Musholla yang ditinggalkan penjualnya dan menyisakan seonggokkan bara kayu yang mengeluarkan asap. Saat senja jingga mulai terlihat, baru lah kami ke Puncak Pananjakan mencoba menyapa Bromo yang mungkin saja terlihat di antara kabut sore. Sama seperti tadi siang, Bromo masih tertutup kabut. Kami pun kembali turun gunung. Awal nya kami sedikit kecewa, namun saat membalik badan kami disuguhi pemandangan yang tak pernah kami lihat selama kami pernah ke tempat ini. Kelap kelip Kota Malang di senja hari.


Senja pun mulai pudar berganti gelap malam. Kami kembali ke penginapan, mencari sesuatu yang bisa menghangatkan perut kami. Saat kami bertanya dengan penjaga penginapan dimana warung yang menjual nasi goreng, si Ibu pemilik penginapan pun menawarkan nya kepada kami dan akan mengantarkan nya ke kamar kami. Wah, dinner in bed nih. Hahaha.. Lumayan nunggu lama sih, tapi sangat memuaskan. Selain rasanya enak (dan murah), porsi nasi goreng nya mirip sama nasi goreng portugal yang ada di belakang Hotel Horison Bandung. Ah jadi kangen kan. Kami pun tidur lebih cepat agar bisa mengejar sunrise esoknya.

Spot kedua Bukit Kingkong Point, where the paving road ends.
Jam tiga pagi kami terbangun. Bukan karena alarm yang saya stel, tapi karena suara berisik dari area parkir di depan kamar kami. Sepertinya sebagian wisatawan sudah berangkat ke Pananjakan. Kami masih santai karena memang kami berencana berangkat setengah jam sebelum adzan subuh dan berniat shalat dulu di Musholla dekat jalan masuk ke Bukit Kingkong. Saat kami keluar homestay, memang sudah agak sepi, dan sepertinya tinggal kita saja yang meninggalkan Desa Wonokitri. Jalanan yang gelap, meliuk-liuk, dan sebelah kanan jurang agaknya sedikit membuat kami khawatir karena tidak adanya penerangan jalan. "Lihat keatas!" Saya menengadahkan kepala dan melihat bintang bertebaran di langit, tak terhitung dan terasa dekat.


Sudah ramai rupanya, jalanan penuh dengan jip yang parkir di kanan kiri jalan. Sebagian besar para wisatawan naik ke Pananjakan dengan jasa ojek. Kami justru berjalan turun ke Bukit Kingkong dan mencoba mencari jalan ke Seruni Point. Awalnya kami stuck karena lokasi yang sangat gelap dan tidak ada petunjuk jalan. Berbekal bertanya dengan penjaja makanan yang ada di sana, kami diberi petunjuk untuk jalan ke bawah lagi. Sampai di lokasi kedua, yang menurut ku bukanlah Seruni Point, karena jaraknya tidak begitu jauh dari lokasi pertama tadi. Kami bertanya kembali dan diberi tahu bahwa untuk ke Seruni Point jalanan yang dilewati bukan lagi jalanan konblok tapi jalan terabas yang curam. Kami pun disarankan untuk tidak kesana, karena justru mereka yang ke Seruni Point dari Cemoro Lawang pada naik ke Bukit Kingkong. Kami pun ngga banyak mikir dan mencoba mencari tempat yang nyaman untuk bisa duduk berdampingan sembari menunggu langit membuka jendela. Spot kedua di Bukit Kingkong ini tidak seramai spot pertama yang ada di atas.  Jadi kami bisa lebih bebas bergerak tanpa bertabrakan dengan para penikmat alam yang lain.

Kalau selama ini, yang menjadi primadona adalah Gunung Bromo dan Gunung Batok. Kami membelokkan lensa mata ke kiri. Sebuah desa yang ada di tebing tepi Bromo. Sungguh keindahan ciptaan Tuhan yang membuat kami tak pernah berhenti bersyukur untuk bisa melihatnya. 


Pemandangan yang membuat rasa kangenku terbayar lunas. Hingga Gunung Bromo dan Puncak Mahameru yang ada di belakang nya terlihat jelas dan tinggal kami berdua di sana bersama dengan dua bapak ibu penjaja makanan. Bre memesan kopi panas. Saya membuka jaket karena udara sudah tidak sedingin tadi. Kami duduk lagi di bawah payung untuk menahan sinar matahari yang menyilaukan mata. "Wanna come to this heaven every once a year?"

No comments

Post a Comment