Jawa Timur


Semenjak sering pulang kampung ke rumah mertua, mampir ke Bromo sudah menjadi ritual saya dan Bre tiap kali ke Malang. Jarak tempuh yang tidak sampai dua jam dan kondisi jalan yang cukup baik membuat kami tidak pernah bosan mengunjungi tempat ini. Tahun ini kami mengunjungi Bromo tiga kali! Pertama di bulan Januari kami menginap semalam di Dusun Cemoro Lawang. Lalu di awal bulan Juli kami berdua melakukan perjalanan singkat ke Cemoro Lawang untuk pertama kalinya bersama Pikachu. Dan yang ketiga bersama dengan keluarga Bre kami jalan-jalan ke view point di pintu masuk Bromo jalur Tumpang.


Menjelajah Sumba, sebuah pulau di timur Indonesia adalah impian saya sejak 9 tahun silam. Bisa berkuda di Sumba, rasanya mimpi banget. Ya memang masih mimpi sampai sekarang. Hehe. Tapi kali ini saya mendapat kesempatan naik kuda, untuk pertama kalinya. 

Setelah menghabiskan pagi di Seruni Point —menikmati Bromo dari ketinggian, kami berencana kembali ke Kota Malang melalui jalur Tumpang. Dari penginapan kami langsung menuju Gerbang Masuk Cemoro Lawang Bromo, di sini kita baru memperlihatkan lembar konfirmasi tiket yang sudah kita beli online beberapa hari sebelumnya, serta Surat Keterangan Sehat dari puskesmas. Dari gerbang ini sampai ke padang pasir Bromo ternyata sangat dekat. Ini sih kalau mau ke Bromo tinggal jalan kaki daripenginapan juga bisa sebenarnya. 


Tahun 2020 lalu yang terasa begitu cepat terlewati. Banyak perjuangan dan pengorbanan. Mengawali tahun ini saya dan Bre mendapat kesempatan untuk menyapa Bromo kembali. Semenjak 4 tahun silam mengunjungi Bromo, melihat Cemoro Lawang dari kejauhan, saya berkeinginan untuk menginap di Cemoro Lawang, sebuah desa di atas awan yang berada di lereng pegunungan Tengger. Akhirnya terwujud setelah melalui banyak pertimbangan karena kondisi pandemi yang membuat sangat rentan untuk berwisata. 


Menutup penghujung tahun 2020, saya dan Bre memutuskan untuk main ke Bumi Perkemahan Hutan Bedengan. Sudah satu bulan kami tinggal di Malang, keinginan untuk ngelencer (pelesiran) ke alam bebas pada akhir pekan begitu besar. 


Setelah bertahan hampir sembilan bulan di rumah saja, kami berdua akhirnya memutuskan untuk mudik ke Malang di minggu terakhir bulan November kemarin. Menghabisi akhir tahun di kota yang dinginnya membuatku memakai selimut saat tidur siang dan selalu pakai jumper di rumah. Setelah membeli tiket pesawat, saya cukup was-was menunggu hasil rapid test. Hamdalah, hasil nya non-reaktif. Kami berangkat pagi itu ke Bandara Soekarno Hatta, menggunakan pesawat Citilink (untuk menghabiskan sisa voucher refund). Sedikit ada drama karena lembar hasil rapid test Bre hilang saat kami check in. Untung ada scan nya di hp jadi masih bisa diurus di bagian validasi hasil test di bandara. 


"Sepertinya besok kita bakal trekking. Jadi kita musti beli sendal gunung nih." Celotehku malam itu sepulang halal-bihalal ke rumah teman SMA di daerah Dinoyo, Malang.  Kami langsung belok ke salah satu toko outdoor namanya Petualang. Dapat sepasang sendal gunung merk Outdoor favoritku, karena selain harganya murah, dipakainya awet dan eye catching. Dan aku suka karena warna nya merah muda.


Malang, kota tercinta. Tempat Bre dilahirkan dan dibesarkan hingga merantau ke Jakarta. Kota yang sekarang menjadi kota yang selalu bikin kangen karena sejuknya dan hangatnya keluarga. Sudah hampir satu tahun kami tidak pulang. Bre yang sudah jadi anak perantauan kembali pulang melepas kangen. Saya pun jadi ikutan kangen juga dengan Bromo.


Ceritanya nemenin adek ikut ujian mandiri di Universitas Brawijaya (yang akhirnya membuahkan hasil keterima, Alhamdulillah). Ceritanya mudik sekalian juga nemenin si adek jalan-jalan di Malang. Jujur aja udah puas banget hampir dua minggu di Malang, dari naik gunung, turun gunung ke kota, sampai ke pantai. Dari cwie mie, baso mercon, susu murni sampai roti maryam. Karena di hari-hari terakhir tinggal berdua sama si adek, setelah jam ujian kelar, tercetuslah ke Museum Angkut yang lokasinya tidak begitu jauh dari kampus Unibraw. 

Memori kamera cuma dua giga, udah sengaja dikosongin karena dari info Tante nya si doi yang emang hobi jalan-jalan kalau ke Museum Angkut siapin kamera sama memori gede. Di postingan ini saya bakal ekspos foto-foto selfie untuk menghibur diri saat baca-baca lagi tulisan dan foto-foto sendiri. Lebih tepatnya bakalan lebih banyak foto dari pada tulisan sih. Hahahaha.. Sebagai pembuka foto berikut adalah hasil kelelahan dari pagi kena macet dan kepenatan si adek setelah enam bulan intensif belajar dan kurang piknik.


"Tolong mbak kepala nya jangan miring." Kata petugas kelurahan.

Setelah kekenyangan makan di Bakso Damas, kami langsung bergegas menuju Batu. Jam menunjukan pukul 1 siang, matahari sedang begitu cerahnya. Menggunakan sepeda motor kira-kira setengah jam lewat jalur alternatif belakang kampus UMM. Meski terik, namun tidak begitu terasa karena udara sejuk Malang, salah satu yang bikin si adek pengen banget kuliah di sana. Untuk lokasi parkir, dari manajemen Museum Angkut sudah menyediakan parkir resmi yang tarifnya hanya dua ribu rupiah saja. Dari sana, kami langsung di suguhi banyak warung-warung makan yang ada diatas air!

Gerbang Pasar Apung, lebih kece dibanding bagian depan Museum Angkutnya sendiri

Pasar apung adalah salah satu objek di Museum Angkut yang biaya masuknya gratis. Dari lokasi parkir, pasar apung menjadi lintas masuk menuju Museum Angkut. 

Cuma di Pasar Apung si adek nggak mau narsis, katanya phobia air warna hijau

Si bro lagi di Jakarta, jadi fotonya sendiri ajah!


Dari Pasar Apung, kami langsung menuju loket untuk membeli tiket. Berhubung weekday jadi kami tidak perlu mengantri panjang. Setelah itu, kami tidak bisa berkata-kata lagi. Jeprat-jepret gaya ini gaya itu.. Tralalalala.. 

Udah cucok lah jd model foto


 Ahaai, sampe jogja bisa berubah jadi betis tukang becak


Foto-foto preweding di sini asik juga kali


Setelah merasa aneh dengan poster mbak-mbak dan mas-mas di pojok kanan,
baru ngeh pas diliat difoto kayak beneran di kantor pos


Watch out! Satenya gosong!


Capek motoin si Adek, foto di kaca yuk


"HELP MEEEE!"
Jalanan di Amerika jaman dulu
Asik ih kayak di manaaa gitu..


Abis dari Amerika belok Eropa!


Haa haa haa .. *Capek bikin caption


Mbak, mbak.. Kalau ngga beli jangan duduk situ.
Tempat ini sebenernya beneran cafe di dalam Museum Angkut

Aduh adeknya aja cantik gimana kakaknya
Gedubrak praaang brak!

Di beberapa spot dibuat ala Universal Studio, tiap bagian dari objek Museum Angkut merepresentasinkan beberapa belahan dunia seperti Eropa, Amerika, Inggris, China Town, Batavia dan Las Vegas. Tiap objek memiliki keunikan tersendiri, begitu juga dengan spot makan yang di design seperti di luar negeri. Ada yang indoor dan outdoor. Meskipun outdoor, karena lokasi Museum Angkut berada diatas gunung, jadi tetaplah adem. Ngga bikin keringetan dan makin keranjingan foto.

Dan ini foto terakhir sebagai perwujudan bukti nyata kelelahan si adek setelah berbulan-bulan gak kemana-mana, dan sempat sendirian di rumah ditinggal mudik sekeluarga selama seminggu. Kasian!

Melepas lelah di pangkuan Ibu Ratu Elizabeth. Kapan lagi coba?

For your information
Tarif tiket masuk per orang : Rp 60.000 (Weekday) Rp 75.000 (Weekend)
Tarif kamera (SLR/gopro/pocket) : Rp 30.000

First time left footprints in his hometown beach
Ungapan Beach, Malang, East Java Indonesia | July 25th 2015



Setelah puas menikmati terbang tandem di atas Kota Batu, waktu sore kami habiskan di pepohonan rindang tepat di sebelah kiri dari lokasi paralayang. Omah Kayu, salah satu objek wisata yang kini mulai diramaikan oleh para turis lokal. Para sepupu ipar udah ngga sabar menuju ke sana, karena dari awal niat mereka memang ke Omah Kayu, bukan paralayang yang ngelihatnya aja bikin merinding. Katanya sih pengen foto-foto mumpung langit masih terang, lalu sambil menunggu senja sampai gelap sehingga Kota Batu terlihat seperti hamparan bintang-bintang di langit.

Salah satu spot di Omah Kayu yang hanya berupa gazebo


Lagi-lagi karena hari itu masih dalam masa liburan panjang lebaran, semua objek wisata jadi penuh. Setelah masuk melalui lorong kecil untuk membayar tiket yang di design unik dengan kayu-kayu, kami berjalan ke bawah menuju pepohonan pinus yang sudah ramai. Sulit sekali kami untuk bisa masuk ke salah satu pondokan, karena semua penuh dan sudah banyak yang mengantri.



Omah Kayu pada awalnya merupakan tempat peristirahatan yang dirancang dengan konsep back to nature. Tiap kamar merupakan satu pondokan kecil yang dibangun di setiap pohon yang tumbuh dekat tebing. Sehingga hanya diperlukan jembatan kecil atau anak tangga untuk menghubungkan jalan setapak dengan pondokan. Setiap pondokan dilengkapi dengan area balkon yang luasnya lebih lebar dibandingkan kamar tidurnya sendiri. Untuk kamar mandi hanya ada di satu spot di tengah-tengah area dan jumlahnya hanya ada 2. Letak pondokan berbeda-beda level ketinggiannya sehingga privasinya lebih terasa. Satu lagi yang bikin beda dengan rumah-rumah kayu biasa adalah, lokasinya yang berada di tebing tinggi sehingga view dari setiap pondokan adalah lanskap Kota Batu yang bikin mata segerrr..



Tampak samping jalan setapak, pepohonan dan pondokan

Saat ini Omah Kayu fungsinya sudah berubah menjadi tempat umum yang bisa saja dikunjungi oleh siapa saja. Hal itu dikarenakan sepinya pengunjung penginapan yang menganggap tarif per pondokan mahal. Jadi lah Omah Kayu jadi tempat wisata yang umumnya digunakan para turis lokal untuk berfoto-foto di depan rumah dan balkon kayu dengan atau dengan latar Kota Batu.


(Kiri - kanan)
Wulan, Ayu dan Fatin yang ngga bs lepas dari smartphone, tapi selalu siap kalo di foto
Gambar tepat di depan kamar yg berbentuk seperti tenda



Karena kita anti mainstream, kita pasca wedding aja yah!


Untuk bisa menikmati leha-leha di balkon Omah Kayu, sebaiknya datang bukan disaat liburan atau akhir pekan. Kalau pun terpaksa datang di akhir pekan, sebaiknya datang pada pagi hari sekitar pukul 8-9 pagi jadi kita tidak perlu rebutan dan mengantri untuk bisa bersantai di pondokan. Celah untuk bisa masuk ke Omah Kayu tanpa membayar tiket adalah di atas pukul 5 sore, karena penjaganya sudah tidak ada yang melakukan pengecekan, hehe.. Jika sudah mulai gelap, bisa kembali ke lokasi di depan warung-warung makan untuk melihat pemandangan lampu-lampu Kota Batu. Sayangnya kami tidak jadi menghabiskan malam di Gunung Banyak karena perubahan rencana untuk menikmati dingin malam dengan makan roti maryam panas-panas di Alun-alun Kota Batu. 


Ferris wheel yang menjadi ikon di Alun-alun Batu

For your information:
Lokasi: Kawasan wisata Gunung Banyak, Batu
Jam buka: sampai dengan pukul 17:00
Tarif masuk kawasan wisata: Rp 5000/ orang
Tarif masuk Omah Kayu: Rp 5000/ orang
Jumlah maksimal per pondokan: 4-5 orang
Tiket Ferris wheel Alun-alun Batu: Rp 3000/orang


Begitu teriak si abang Nicholas Saputra waktu landing skydiving di Thailand dalam iklan “Journey to overcome the fear” dari salah satu produk shaver yang dipakai sehari-hari sama suami. Hahaha.. paralayang menjadi suatu wajib buat langkah pertama sebelum benar-benar impian buat skydiving terwujud (Amiin!). Dari beberapa kali wacana, kemarin akhirnya jadi juga.


Brew saat terbang tandem, melihat pemandangan kota Batu di bawah langit biru yang cerah

Rencana awal menyisir pantai-pantai di Malang yang batal karena beberapa hal, membuat Mas Nug berinisiatif mengajak kami paralayang. Wah, pas sekali karena saya dan Brew memang benar-benar udah ngebet dari awal tahun. Dengan lokasi yang tidak begitu jauh dari rumah Brew, kami berangkat berenam bersama dengan sepupu-sepupu ipar yang memang doyan jalan. Menggunakan sepeda roda dua, kalau menggunakan roda empat di libur panjang lebaran gini, bisa-bisa 4 jam baru sampai daerah Batu karena kondisi lalu lintas menuju Wisata kota Batu dan Puncak Bogor tidaklah jauh berbeda.

Lokasi Paralayang Batu terletak di Wisata Gunung Banyak. Petunjuk jalan menuju kesana lumayan banyak, jadi kita tidak perlu kesulitan untuk menuju kesana karena ternyata banyak sekali warga lokal yang berkunjung ke sana. Cari saja petunjuk bertuliskan “Paralayang”. Tidak hanya bagi para penggemar olahraga ekstrim, namun lokasi take off paralayang ini menjadi favorit bagi para turis lokal karena view nya yang amazing selain objek wisata Omah Kayu (akan saya tulis setelah ini).


Banyak turis lokal mengabadikan diri dengan latar kota Batu


Untuk mengalahkan rasa takut sama ketinggian, olahraga paralayang ini bisa jadi pilihan dengan biaya yang lumayan terjangkau. Saat sampai di lokasi, kami pun langsung menuju booth pendaftaran paralayang yang ternyata sudah ramai. Untuk mendaftar sangatlah mudah, cukup menuliskan nama dan berat badan, kami memperoleh nomor urut. Oleh team yang ada di booth, kami diperbolehkan untuk makan dan jalan-jalan dulu, atau menuju lokasi take off dengan mengantri. Kami pun mampir dulu ke warung Bakso Paralayang yang tidak jauh dari lokasi take off. Menikmati semilir angin gunung sambil menikmati semangkuk bakso panas. 


Syereeem..

Awalnya kami berniat terjun sesaat sebelum matahari tenggelam, agar warna langitnya sedikit kekuningan. Namun ternyata, kondisi angin agak mulai buruk karena di balik bukit ada banyak awan mendung. Jadilah pukul setengah 3 siang kami bersiap-siap di lokasi take off. Kami dipinjamkan monopod a.k.a. tongsis yang bisa dipergunakan dengan smartphone. Saya pun menolak karena dari awal saya hanya membawa kamera SLR untuk dokumentasi sebelum terbang saja, dan untuk smartphone saya juga tidak terbiasa selfie menggunakan tongsis, yang ada nanti saya malah tidak menikmati sensasi terbangnya. Saya pun dipaksa oleh si Mas Tandem, "Ntar nyesel lho." Begitu katanya. Mas Nug pun meminjamkan smartphone nya plus dengan bluetooth remote nya. Ia mengajari saya sebentar, karena beberapa kali saya sudah dipanggil oleh team yg sudah ready di ujung landasan pacu. Makin dag dig dug serr lah karena saya giliran pertama sebelum Brew.


Persiapan sebelum take off


Brew saat take off dibantu salah satu club team


Sebelum tiba di landasan, dibawa muter di atas rumah-rumah

Waktu terbang tandem berkisar antara 10-15 menit, mungkin tergantung angin atau mood tandem nya kali ya. Karena jujur aja, kayaknya kami ngga sampe 10 menit terbang. Cepat saja waktu berlalu tahu-tahu sudah landas. Posisi saat akan landas adalah kaki diangkat ke atas. Setelah landas, kami berkumpul di lahan parkir menunggu ojek yang akan mengantarkan kami kembali ke lokasi wisata Gunung Banyak. Oiya, selain gift certificate, tongsis dan pilot tandem, satu paket paralayang tandem seharga 350 ribu ini sudah termasuk pengantaran kembali ke lokasi take off yang jaraknya kira-kira 5 kilometer dari lokasi landasan yang berada di Songgoriti. Karena liburan panjang, antrian ojek pun menjadi rebutan antara pilot tandem dan peserta. Saya pun menyempatkan diri mengobrol sejenak dengan para senior pilot yang pengalaman terbangnya sudah tak terhitung lagi. Untuk bisa terbang tandem, seorang pilot harus sudah 1000 kali terbang dengan 120 kali terbang dengan teman pilot. Mas Taufik, salah seorang pilot pun menawarkan saya sekolah paralayang agar bisa terbang sendiri. Waduh mas, terbang bukan passion saya sih kecuali kalo ada yang mau bayarin hehe. Sekarang target supaya bisa berani skydiving, karena jujur saja saya takut ketinggian. Yang penting sekarang udah berani terbaaaaang ... 

Ini saya, "Woohoooo..!"
Sambil teriak begitu, lalu Mas Ryan mencoba manuver, "Ayo teriak lagi." Begitu katanya. Hahaha..


For your information
Lokasi take off: Kawasan Wisata Gunung Banyak, Batu
Lokasi landing: Jalan Arumdalu 20 Songgoriti, Batu
Harga per orang: Rp 350.000
Berat badan maksimal: 90Kg
Jam buka: sampai dengan pukul 17:30
Untuk book bisa langsung menuju booth pendaftaran


Pantai Malikan

Pantai Pasir Putih

We feel the most alive when we're out there. 
Seeking happiness, in a place we've never been 
as we surrender ourselves to the currents of the universe.

Pantai Papuma, Jember, Jawa Timur | 30-31 Mei 2014

Belum ke Malang kalau belum nyobain bakso bakar.

Dikutip di majalah aneka yess, kira-kira saya masih SMP waktu itu. Budhe Nik yang asalnya memang dari Malang melirik majalah yang sedang saya baca, lalu menjanjikan saya bakso bakar jika saya mau main ke Malang. Dua kali ke Malang, tapi janji itu tak juga ditepatinya, mungkin karena beliau sibuk mengurus anak-anak nya yang masih kecil. Kesempatan itu akhirnya saya dapat bersama Brew saat main lagi ke kota Malang. 



Amusement Park. Taman bermain atau taman ria adalah salah satu favorit destinasi saya.
Tapi tidak untuk wahana yang satu ini.


BNS. Singkatnya begitu, dari tahun 2009 waktu pertama kali solo traveling ke Malang, muncul keinginan menggebu buat main ke BNS. Yang akhirnya baru kesampean enam tahun kemudian. Waktu itu sih mikirnya tempat ini kayak taman-taman lampion gitu. Tapi ternyata BNS itu tempat wahana bermain mirip BCL (Bandung Carnival Land) yang hanya buka mulai dari sore hari hingga tengah malam. 

Jam menunjukan pukul 4 sore, di warung bakso bakar Pahlawan, mangkuk kedua, sambil kepedesan, saya iseng mengajak Brew ke BNS (baru inget dulu pengen banget ke sini). Toh hari itu malam terakhir di Malang jadi kami memutuskan ngga pergi ke tempat-tempat yang ekstrim kayak bromo dan sekalian ngobatin paralayang yang gagal. Lokasi menuju BNS sangatlah mudah di capai, karena berlokasi tidak jauh dari Jatim Park. Di tengah jalan kami juga sempat berhenti, sekedar menikmati udara sejuk dan pematang sawah dibawah langit yang mulai senja.


Jadi teringat buku gambar SD


Sampai di BNS, kami langsung menuju loket tiket. Untuk masuk saja kita dikenakan biaya 25 ribu rupiah (weekend). Jika kita hanya membayar tiket masuk, maka untuk setiap wahana kita diharuskan membayar tiket lagi per wahana, rata-rata per wahana adalah 10-15 ribu rupiah. Jadi kita diberi opsi lain dengan membeli tiket terusan sebesar 90 ribu rupiah untuk semua wahana kecuali Go Kart, The Battle Area dan Banji Trampolin. Tentu saja kami beli tiket terusan, karena rempong kalau harus buka-buka dompet setiap mau masuk wahana. 

Disana kami lupa, kami kembali menjadi anak-anak. Berlari-lari ke sana kemari layaknya pasangan muda yang jatuh cinta. Halah.. Kami mulai dengan wahana Kora-kora kalau di Dufan mereka bilang. Disco Bumper Car, dimana kami main bom bom car diiringi musik dangdut pantura. Lucu nya dari semua wahana kebanyakan kami cuma naik berdua saja, jadi waktu teriak-teriak itu aneh karena cuma saya saja yang teriak.


Ghost Stories

Di BNS, ada wahana yang unik namanya Art Trick. Seperti dua foto di atas, kami lumayan lama berada di dalam sana. Selanjutnya Gravitron, yang bikin Brew ketagihan. Kalau saya sih ngga, karena sensasi ngambang setelah diputer-puter dengan kecepatan tinggi itu bikin mual. Salah satu wahana yang paling antri adalah Sepeda Gila, sama seperti di BCL kami menaiki sepeda di atas ketinggian. Yang membedakan di BNS adalah jalurnya memutari taman bermain dan di sebelah kiri kami disuguhi pemandangan bukit bintang. Lokasi BNS memang diatas bukit di malam hari pun view kota Batu terlihat dari sana.


Lampion Garden, tujuan utama kami ke BNS
Setelah menaiki beberapa wahana yang bikin ngos-ngos an, kami pun beristirahat di Lampion Garden. Banyak bangku taman yang disediakan. Lampion yang dibuat pun beraneka ragam dan unik. Ada yang memang diletakan di kolam air mancur dan ada yang dibuat terbang seperti hot air balloon. Permainan kami akhiri dengan mengunjungi Night Market dimana kita bisa berbelanja souvenir bertema kota Batu dan Malang. Harganya pun sangat murah menurut saya. Berbeda sekali dengan souvenir yang dijual di taman bermain di kota besar seperti Dunia Fantasi atau USS di mana terkadang harga souvenir lebih mahal dari harga tiket masuk. Begitu juga dengan harga makanan yang dijual di Food Court, lebih murah daripada jajan di kantin kantor. Hehehe. 

And the final attack is Hot Rodeo! Wahana ini jadi tontonan banyak orang. Tadinya sepi banget wahana ini, lalu tiba-tiba jadi ramai setelah saya coba naikin dan berkali-kali jatuh ngga berhasil. Brew ternyata ngga boleh naik wahana ini karena berat badannya melebihi 70 kilo. 


Detik-detik mau jatuh


Bermain di taman hiburan, entah itu di Pasar Malam, atau di taman hiburan kota, semua menyenangkan. Menyadarkan kita bahwa kita masih memiliki jiwa kekanakan. Melatih adrenalin dan menguras keringat. Ada satu permainan yang membuat saya tertantang, yang menontonnya saja membuat saya sesak napas. The Streaming Condor, roller coaster berbentuk U yang kecepatannya bisa mencapai 122km/jam. Wahana ini pernah ditayangkan di episode Running Man. Mungkin next challenge kalo mampir ke Taiwan? Let's see.

Mengintip pagi dari dalam tenda,
Betapa rindunya menjelajah suatu tempat dengan cara "ngeteng". Bersama dengan teman-teman seperjalanan yang menyenangkan, yang rela duduk di atas kap mobil kena angin karena terpaksa hitching (Hai Dito, apa kabar lo?). Atau karena cape jalan kaki numpang di truk kayu yang gedenya ampun deh naikinnya aja susah banget! Ya saya rindu sekali dengan perjalanan-perjalanan itu. Akhirnya perjalanan itu pun saya ulang kembali. Di warung baso Cak Kar, yang ternyata memberikan fasilitas free-wifi, saya iseng browsing "pantai-pantai eksotis di Jawa Timur". Jyaleaaah.. Mode alay on! Dan nemu lah pantai ini.

Biru nya pesisir pantai dari sebelah timur. Foto ini diambil di jalan masuk ke pantai.

Pantai lagi.. pantai lagi.


Tentu saja kami memilih pantai, karena hari sebelumnya kami baru turun gunung. Dan saat menemukan pantai ini di google saya teringat kembali ketika pelesir ke pantai Klayar di Pacitan, keinginan untuk menjelajah pantai di Jawa Timur begitu menggebu. Sedikit lagi setelah pantai Klayar pasti sudah menyentuh tanah timur jawa, demi project 100 pantai yang pastinya masih berlanjut selama bumi ini masih berputar. So here the story.... Semalaman kemah di Pantai pasir putih malikan atau singkatnya PaPuMa!


Bus kami berangkat dari Terminal Arjosari, Malang pukul 9 malam. Tadinya kami mau langsung naik jurusan Jember, tapi sepertinya sudah tidak ada. Kami pun menaiki bus jurusan Banyuwangi yang jalurnya melewati Jember. Kiranya sampai Jember pagi hari jadi kami ngga perlu menginap, eh ternyata kami sampai jam 2 pagi. Hayaaah.. Masih gelap. Antimo yang baru diminum 4 jam yang lalu pun masih menyisakan rasa kantuk yang tiada tara. Baru saja turun bus, kami dihadang banyak orang yang menawarkan jasa ojek. Saat kami bilang kami mau menuju pantai papuma di pagi hari, si bapak malah memaksa kami menginap di motel. Kami pun buru-buru meninggalkan bapak itu, tetapi bapak itu malah mengikuti kami menawarkan jasa ojek yang tarif nya main tembak saja. Jadi, trik supaya ngga diikutin dan ditanya-tanya terus adalah pura-pura menelepon teman di Jember minta dijemput. Hahaha... Kalo ngga gitu pasti urusan jadi panjang. Akhirnya bapak itu pun pergi dan kami memutuskan tidur bergantian di teras Musholla di depan terminal, bersama dengan para gelandangan. 


Setelah sholat subuh, kami tidur lagi. Benar-benar ya antimo itu ternyata nyiksa juga kalo minumnya telat. Kami pun memulai perjalanan kami pagi hari itu sambil bertanya-tanya dengan para petugas dishub di terminal soal angkutan umum menuju Terminal Ajung. Tak dinyana, kita malah ditawari jasa ojek lagi. Langsung nembak pula harganya. Karena males berdebat tidak jelas dengan "calo" saya langsung bertanya pada ibu kios sambil beli minuman ringan. Untuk menuju terminal Ajung kita naik angkutan umum 2 kali. Lagi-lagi ditengah jalan ditawarin jasa ojek, karena kami berdua kelihatan lama menunggu angkutan umum berikutnya. Gak deh. Setelah sampai Terminal Ajung kami naik angkutan pedesaan yang udah ngga tau lagi gimana bentuknya menuju Ambulu. Duduk sumplek-sumplekan bareng sayuran, ayam, dan ibu-ibu serombongan mau kondangan. 

Sesampainya di Ambulu, kami cari sarapan sambil bertanya-tanya ke penduduk sekitar soal angkutan umum ke PaPuMa. Ternyata di sana hanya tersedia dua jenis angkutan umum, yaitu ojek dan bentor (becak motor). Kami pun dihampiri beberapa tukang ojek, sambil nego harga. Inilah seninya traveling di  Indonesia, ngga ada harga patokan jadi kita harus pintar-pintar nawar. Karena perundingan berlangsung alot, bapak-bapak ojek pun meninggalkan kami. Kemudian kami mencoba alternatif ke dua yaitu bentor. Ternyata kalo naik bentor itu hanya sampai perbatasan pertigaan antara pantai Watu Ulo dan pantai PaPuMa. Tadinya mau ngirit ongkos malah jadi kemahalan. Hahaha.. Lalu kami putuskan naik ojek saja ke bapak ojek yang tadi. Pas kami hampiri ke pangkalan ojeknya, si bapak sudah ngga ada! Kami pun panik dan mencoba menyusuri jalan raya sambil cari ojek lain.



Tapi yang namanya jodoh, akhirnya kami bertemu lagi dengan si bapak setelah berjalan kaki beribu-ribu kilometer! Kita sepakat 100 ribu untuk 2 ojek pulang pergi Ambulu-PaPuMa, yang artinya sekali jalan kita kena dua puluh lima ribu. Si bapak juga dengan senang hati menjemput kami ke lokasi esok harinya. Ternyata Pak Selamet ini orang baik. Bersyukur sekali kami bertemu dengan nya. Sampai di PaPuma pukul 11 siang, kami membayar tiket masuk sebesar 12 ribu. Setelah pamitan dengan pak Selamet, kami langsung menuju bibir pantai. 

Perjalanan yang menyusahkan dan semuanya terbayar! Birunya langit siang itu, memantulkan warnanya pada laut selatan. Serta awan putih yang memberik corak langit. Angin laut yang menghempas serta suara ombak yang menderu mengobati segala kerinduan. "Ah pantai.. aku kangen sekali sama kamu." Sambil memeluk orang di sebelah saya. Eh ngga kok ini cuma perumpaan aja pengen meluk pantai biar romantis tapi ngga bisa. Hehehehe.. 




Matahari pun semakin bergerak ke atas, menunjukan waktunya sholat Jumat. Di pantai tidak ada pengunjung lain, hanya ada para pedagang dan penjaga toko. Brew yang kebingungan karena di pantai tidak ada masjid pun akhirnya bertanya kesana-kemari. Tidak ada orang yang terlihat akan pergi ke masjid, ia pun berencana jalan kaki sambil cari tumpangan. Lebih baik usaha daripada tidak. Beruntungnya, di jalan ada anak kecil yang sedang mengendarai motor meninggalkan pantai dan mau menumpanginya sampai ke masjid. 





Pengen berenang di sini ngga bisa. Jadi liatin si bapak mancing sambil nyanyi-nyanyi.

Matahari nya ketutup bukit. Sayang sekali!
Menunggu sunset, kami menghabiskan waktu mengelilingi ujung pantai PaPuma dari sebelah timur sampai ke barat. Bentuk pantai papuma itu seperti V terbalik jika dilihat dari bukit. Setelah senja mulai memudar, kami makan malam di sebuah warung kecil yang menawarkan sajian ikan segar untuk dikiloin. Seporsi cumi bakar dengan bumbu sambal nya menguras keringat di dahi. Setelah makan, kami tiba-tiba dihampiri seorang laki-laki yang usianya mungkin tidak jauh dari kami. Dia mengenalkan dirinya sebagai Iwan. Seorang pemuda asal Surabaya yang bekerja sebagai petugas lingkungan di pantai PaPuMa. Kami bertiga pun berbagi cerita, berbagi pengalaman kami dalam perjalanan. Malam itu kami pun langsung diajak ke kantor nya untuk lapor kalau kita akan camping semalam. Kami tidak dipungut biaya apa-apa kok, hanya membayar 3000 rupiah saja untuk retribusi. Di kantor pun kami malah jadi ngobrol dengan bapak-bapak petugas yang lain. Dan malam pun kami habiskan dengan berbincang-bincang dan bercerita. Milky way malam itu jadi agak samar semakin gelap menuju pagi.

Pemandangan dari pintu tenda. Ajib kan?
Bangun tidur ku kucek mata terus melongo, sambil nguap dan ngelamun.
Aktifitas pagi nelayan.
Sebelum di jemput oleh pak Selamet, pagi hari pukul 8 pagi setelah sarapan dan packing, kami berencana hiking ke bukit di utara. Sesuai dengan info yang diberikan oleh mas Iwan bahwa ada satu spot yang jarang sekali dikunjungi wisatawan lokal. Jalan yang dilalui beraspal namun hancur dan sudah ditumbuhi banyak tanaman liar. Tiba-tiba ada bapak petugas yang sengaja menghampiri kami menggunakan motor kopling. Kami pun disuruh menumpangi motornya, dan ia mau mengantar kami sampai atas. Baik sekali bapak nya! Memang trek nya lumayan curam. Baru sepersepuluh perjalanan saja kita sudah ngos-ngosan.

Pantai PaPuMa yang dilihat dari atas bukit

Itulah spot dimana kita bisa melihat keseluruhan pesisir pantai PaPuMa dari ujung barat sampai timur. Sayangnya masih terlalu pagi sehingga buih dilaut membuat horizon tidak begitu terlihat. Setelah sejenak menikmati view yang luas itu, kami pun beranjak pulang dengan dijemput oleh pak Selamet dan temannya. Perjalanan menuju Jakarta pun tidak mudah, dimulai dengan bus Jurusan Jember-Jakarta yang sudah habis dihari itu, sehingga kami terpaksa cari bus menuju Surabaya dulu. Sampai di Surabaya pun kami kehabisan bus ke Jakarta jadi terpaksa kita manaiki bus menuju Cirebon. Tidak henti sampai disitu, di Cirebon kita kehabisan tiket kereta dan terpaksa naik bus lagi dari Cirebon sampai Jakarta. Setelah dihitung dari Jember - Jakarta total perjalanan darat 32 jam! Tak mengapa, karena ini lah seni nya dari traveling, menikmati setiap sudut perjalanannya karena Suatu saat nanti aku pasti akan merindukan ini lagi
Older Posts