Pengalaman Berkuda di Savana Bromo

Mar 19, 2021


Menjelajah Sumba, sebuah pulau di timur Indonesia adalah impian saya sejak 9 tahun silam. Bisa berkuda di Sumba, rasanya mimpi banget. Ya memang masih mimpi sampai sekarang. Hehe. Tapi kali ini saya mendapat kesempatan naik kuda, untuk pertama kalinya. 

Setelah menghabiskan pagi di Seruni Point —menikmati Bromo dari ketinggian, kami berencana kembali ke Kota Malang melalui jalur Tumpang. Dari penginapan kami langsung menuju Gerbang Masuk Cemoro Lawang Bromo, di sini kita baru memperlihatkan lembar konfirmasi tiket yang sudah kita beli online beberapa hari sebelumnya, serta Surat Keterangan Sehat dari puskesmas. Dari gerbang ini sampai ke padang pasir Bromo ternyata sangat dekat. Ini sih kalau mau ke Bromo tinggal jalan kaki daripenginapan juga bisa sebenarnya. 




Setelah turun nanti ada pilihan jalur. Ke kanan menuju Kawah Bromo dan Pananjakan. Kalau ke kiri menuju Pasir Berbisik dan Bukit Savana. Karena sekarang musim hujan, lintas di padang pasir ini enak. Debu-debu tidak beterbangan, suspensi motor juga aman. Nggak yang tiba-tiba jadi slip karena pasir. 

Nyempetin foto sama motor bagol andalan buat roadtrip
Ngga nyesel sewa motor ini, ashooooy...!

Oiya, berdasarkan pengalaman pribadi, motor matic biasa tidak dianjurkan lewat padang pasir terutama saat pertengahan tahun pas musim panas. Untuk motor gigi atau kopling masih aman lah.  Saya sendiri sewa motor matic khusus dengan kapasitas mesin 150cc yang ukuran ban nya besar dan memang diperbolehkan untuk dibawa touring ke Bromo. 

Suku Tengger identik dengan montoran pakai sarung doang

Meskipun saat pandemi turis sepi, banyak lalu lalang warga lokal pengangkut rumput


Bunga Verbana

Bunga Rapa mengingatkan saya saat trip ke Gyeong Ju, Korea Selatan

Jarak dari Gerbang Masuk sampai ke Bukit Teletubbies sekitar 7 kilometer. Di sepanjang jalanan pasir ditumbuhi Bunga Verbana, tanaman berbunga ungu seperti yang ada di Oro-oro Ombo dan Bunga Rapa, tanaman berbunga kuning yang biasanya tumbuh saat musim semi. 


Setelah perjalanan melewati Lautan Pasir Bromo yang cukup panjang, akhirnya kita sampai juga di Bukit Teletubbies. Terakhir kali ke sini 11 tahun yang lalu! Sendirian ke Malang terus diajak ke Bromo sama sahabat saya yang tinggal di Malang. Waktu itu belum tau kalau jodohnya orang Malang, hehe. Dan nggak nyangka bakal sering bolak-balik ke sini. 

Kami rencananya hanya numpang makan sambil gegoleran di rumput menikmati pemandangan bukit Savana dan langit yang berawan mendung. Ngobrol ngalor ngidul, membahas bagaimana efek pandemi bagi warga lokal yang terbiasa dengan adanya turis terutama para pemilik kuda di Bromo. Saat di Seruni Point saya sampai diikuti beberapa pemilik kuda menawarkan jasa naik kuda ke puncak. Sangat memaksa, saya sampai tidak tega. Tapi karena tarifnya yang cukup mahal (200-250 ribu) saya urung, lagipula jalurnya menukik tajam jadi saya tidak berani. 

Sedangkan di Bukit Savana, hanya ada 2-3 pemilik kuda yang usianya sudah tua. Ada yang duduk di dipan sambil memerhatikan turis. Ada yang tiduran di atas rumput dan kuda nya dibiarkan bebas makan rumput. Saya pun kepikiran jadi ingin naik kuda. "Bre, kalau misalnya tarifnya cuma 50 ribu gue mau deh naik kuda. Pokoknya gue ngga mau nawar-nawar. Kalau emang mahal yaudah nggak usah."


Akhirnya saya iseng nyamperin salah satu pemiliki kuda. Waktu saya tanya harganya dia bilang 50 ribu rupiah. Lho kok murah? Langsung deh saya naik. Tadinya saya kasihan dengan kudanya, kuda putih yang diberi nama Peter ini usianya baru 10 tahun dan badannya tidak terlalu besar. Tapi ternyata usia segitu produktif jadi boleh ditunggangi. 


Pertama kali peter dilepas buat foto. Saya dag dig dug ser.

Waktu pertama kali naik saya agak cemas karena mengatur keseimbangan di atas kuda lumayan sulit. Pak Burhan si pemilik kuda membantu saya sambil berjalan kaki beriringan. Lalu beliau berhenti dan memberi kesempatan saya berfoto berdua Peter. Pas di foto, Peter dilepas total. Saya kelimpungan takut-takut Peter lari mendadak.

Setelah nyoba jalan sama Peter berdua doang, sudah bisa foto pakai pose peace.

Kuncinya ada di sanggurdi atau pedal pijakan kaki. Sanggurdi membantu kita menaiki kuda dan sebagai pijakan saat menunggangi kuda. Saat duduk di pelana kuda, atur keseimbangan dengan menahan kedua kaki di sanggurdi ini. Semakin kuat maka kita semakin mudah mengendalikan keseimbangan saat kuda berjalan. Nah, untuk mengarahkan kuda ke kanan dan ke kiri, gunakan tali kekang dengan menariknya sesuai arah yang diinginkan. 

Itu lah ilmu yang saya dapat saat mencoba menunggangi kuda selama 15 menit. Sesaat sebelum selesai, Pak Burhan melepaskan Peter dan saya menunggangi Peter berjalan perlahan. Ternyata tidak sesulit itu. Sehabis menonton Arthdal Chronicles (saya belum bisa move on), seperti nya lebih sulit membayangkan gimana Eun Sum belajar naik kuda otodidak tanpa pelana kuda. 

Spot pepohonan di sebelah kanan yang menarik perhatian kami.

Pengalaman berkuda di savana ini mungkin menjadi pembuka untuk mewujudkan impian saya bisa ke Sumba. Sebetulnya tidak ada rencana untuk naik kuda di Bromo. Hanya karena obrolan sama Bre tadi di padang rumput akhirnya saya bisa dapat pengalaman berkuda, walau hanya sesaat. Sehabis itu kami melanjutkan perjalanan dan mampir ke salah satu sudut yang menarik perhatian kita, yang tidak jauh dari spot Savana Teletubbies. Sekumpulan pohon besar yang sepertinya juga jadi tempat singgah turis. 


Kirain spot apa, ternyata ada tukang bakso lagi mangkal di bawah pohon. Kata tukang bakso, di sini tempat berkemah. Oalah saya baru tahu ternyata kita bisa berkemah juga di sini. Kan tidak ada penerangan di sini, bayangin pas malam hari, selonjoran di rumput lalu melihat ke langit. Bintang-bintang pasti terlihat jelas. 

Nggak usah dibayangin lah. Selonjoran begini siang hari terik sambil melihat awan bergerak saja sudah cukup syahdu.

Sebelum tancap gas balik ke Malang Bre minta difotoin.

Sebagai upahnya, saya minta fotoin balik!

Makan bakso di padang rumput sambil menikmati semilir angin di Bromo menjadi salah satu pengalaman tak terlupakan juga, selain pertama kali berkuda bagi saya. Apalagi bakso semangkuk penuh ini dihargai 15 ribu rupiah saja. Cukup membuat kami kenyang sebagai bekal perjalanan pulang ke Malang. Kami kembali ke Malang ditemani hujan deras sepanjang jalan melalui jalur Tumpang sampai rumah. Lelah sekali, apalagi dua kali kami roadtrip pakai motor (yang pertama ke Pantai Banyu Meneng) pulang nya selalu kehujanan sampai berjam-jam. Next trip nggak kepingin kayak orang susah, pakai mobil ajah

1 comment

  1. Ditunggu mimpi naik kuda di Sumba kesampaian.. kalau naik kuda di SUmba kemungkinan di bukit Wairinding

    ReplyDelete