Pulau Kayu Angin Bira, Kepulauan Seribu bagian utara

Kebanyakan dari para penyelam yang ingin memperoleh sertifikasi diving, lokasi penyelaman yang paling populer yang tidak jauh dari Jakarta adalah Pulau Pramuka, Kepulaun Seribu. Tidak hanya wisatawan lokal saja, banyak wisatawan asing juga mengetes kemampuan scuba diving nya di sana. Keindahan bawah laut di Pulau Pramuka terkenal karena adanya spot Monas di dalam air dan wreck atau kapal karam. Tempat penyewaan alat diving yang lengkap juga mendukung wisatawan lebih memilih Pulau Pramuka. Tetapi jika Anda ingin benar-benar merasakan kehidupan bawah laut yang sebenarnya, Anda bisa diving ke spot diving di sekitaran Pulau Kayu Angin Bira. Memang jaraknya agak jauh, memakan waktu sekitar satu setengah jam dari Pulau Pramuka menggunakan kapal motor. 

Tidak hanya bagi orang yang hobi diving, Anda juga bisa snorkeling di sekitaran Pulau Kayu Angin Bira. Dalam jarak 5-15 meter dari tepi pantai, anda bisa menyaksikan kehidupan bawah laut yang sangat kaya. Penyu, ubur-ubur raksasa, lion fish, sea ell dan clown fish masih bisa ditemukan di sana.


Sea turtle
Ubur-ubur mosaic yang dikelilingi ikan-ikan kecil

Pulau Kayu Angin Bira memang baru-baru ini mulai terdengar namanya. Biasanya pulau ini hanya jadi salah satu spot dari hopping island untuk foto-foto. Tak banyak yang tahu bahwa keindahan bawah lautnya tak kalah dengan keindahan bawah laut Kepulauan Karimun Jawa. Anda akan puas berenang, snorkeling dan diving tanpa harus menyewa kapal kecil untuk menuju spot yang banyak sekali ikan dan terumbunya. Pasirnya yang halus dan putih membuat kita betah berlama-lama di pulau ini. Apalagi pemandangan matahari terbit dan tenggelam bisa dinikmati dari pulau ini.


Menikmati matahari tenggelam
Pulau Kayu Angin bira terletak tidak jauh dari Pulau Harapan, pulau yang padat penduduknya. Hanya butuh waktu kurang dari setengah jam dengan kapal kecil, Anda bisa mencapai Pulau Kayu Angin Bira dari Pulau Harapan. Oleh karena itu, Anda bisa menyewa homestay atau penginapan di Pulau Harapan. Untuk menuju Pulau Harapan Anda bisa menggunakan kapal kerapu dari pelabuhan Kayu Adem. Waktu tempuhnya lebih cepat dibandingkan menggunakan kapal motor dari pelabuhan Muara Angke, kurang dari dua jam Anda sudah bisa mencapai Pulau Harapan.

Jadi, jika Anda hanya punya waktu sempit seperti libur akhir pekan, tetapi Anda tetap ingin liburan wisata bahari, Pulau Kayu Angin Bira adalah pilihannya. Saya sudah dua kali kesana saat libur akhir pekan. Melepas penat setelah lima hari bekerja, lalu semacam short escape selama dua hari dari kesibukan di kota menikmati keindahan bawah laut yang tidak jauh dari Jakarta. 
Hanya butuh waktu kurang dari 3 jam untuk mencapai pulau ini!

Keterangan:
Seluruh foto selain foto underwater adalah karya penulis.
Foto bawah laut oleh Agus Hong (agus_hong@hotmail.com)

Jangan ditiru yah. Ini foto masih jamannya saya alay. Hahahaa.. 
Tiket sudah ditangan, hari keberangkatan pun tiba. Setelah setengah hari masuk jam kerja, saya kembali ke rumah untuk mengambil carrier 45 L yang sudah saya packing beberapa hari sebelumnya. Sambil melawan derasnya hujan sore itu di Jakarta (14/10), saya tiba di bandara Soetta mepet sekali. Malam itu saya bertolak ke Bali, sekitar jam 10 malam saya sudah di bandara Ngurah Rai. Tak ada rencana untuk main-main di Bali malam itu, karena pesawat promo yang saya pesan ke Lombok take off esok paginya. Jadilah malam itu saya dengan Andrew menyampah (makan kuaci sampai ledes) di resto KFC bandara Ngurah Rai. Tidur di musholla seadanya sampai pagi esok menjelang.


Langit pagi itu cerah sekali, puncak Gunung Agung Bali pun terlihat dari jendela pesawat yang saya tumpangi. A]khirnya setelah hampir dua tahun, saya kembali lagi ke kota ini. Di pesawat, saya sempat membaca majalah traveling, yang membahas tentang Sekotong, surga kepulauan di barat Lombok. Ah jika saja waktu libur yang saya miliki lebih panjang, saya pasti kesana. Gili Kedis, gili sudak, gili nangu.. wait for me, I'll be back with my -soon to be- beloved husband! *sambil ngimpi kesana bulan madu* hahahaa..

Berlayarlah dengan apa yang kau genggam saat ini.


Sepenggal kalimat dari seorang teman, empat bulan lalu, membuat saya memutuskan untuk langsung membeli tiket pesawat ke Flores. Yang ada digenggaman saya saat itu hanyalah tiket pulang pergi Jakarta-Lombok, Labuan bajo-Jakarta. Entah ada pikiran apa yang merasuk ke kepala saya hingga membuat saya benar-benar jatuh cinta dengan laut. Saya ingin berlayar. Saya ingin mengarungi lautan. Saya ingin menjelajah samudera. 


Lembayung fajar di selat Sumbawa


Setelah tiket di tangan, saya belajar berenang dan tentunya mengumpulkan uang jajan. Sambil sedikit-sedikit membeli peralatan menyelam. Kalau saya ingat lagi, saya tak habis pikir karena dulu saya adalah orang yang takut air, maksud saya berada di dalam air yang bervolume tinggi seperti kolam renang. Dan mimpi saya ke Flores, membuat saya mengalahkan rasa takut itu. Selain itu, saya pun mulai belajar teknik freediving. Meski saat ini saya hanya mampu menyelam di kedalaman lima meter. Ya, rasa takut itu membuat pengalaman menyelam saya menjadi lebih berharga. Dan Rabu sore minggu lalu (14/11) saya berangkat ke Lombok dengan transit semalam di Bali. Awal perjalanan sailing trip ini pun disambut hujan deras di Jakarta.

Flores Sea
A journey of a thousand miles begins with a single step. Said Lao Tzu, a Chinese philosopher. A single step is just a beginning of the journey. What makes the journey becomes real is a dream. And my dream, sailing from Lombok to Flores, comes true! Every journey has a story. I'll tell you how really wonderful it is to sail through Flores sea for four days.

 

"A dangerously beautiful.. "
Pantai Klayar, Pacitan Jawa Tengah | 1-2 September 2012

Lumbung padi yang terletak persis di depan rumah adat Toraja

Sudah sebulan berlalu, sejak menginjakan kaki di South Celebes. Perjalanan selama tiga hari tanpa rencana, bermodalkan tiket promo milik seorang teman yang mendadak batal berangkat. Hari pertama di kota Makassar, saya habiskan dengan berwisata ala keluarga ke Taman Nasional Bantimurung dan berleyeh-leyeh di pantai pasir putih yang cantik di pulau Samalona. Malamnya, setelah mandi seadanya di masjid apung dekat pantai Losari, kami bergegas menuju pool bus Litha dengan taksi. Saat orang-orang menikmati malam minggunya seperti kebanyakan anak muda, saya menikmati malam dengan tidur pulas di bus yang layaknya sleeping bus, dengan harga seratus ribu rupiah kami memperoleh pelayanan kelas eksekutif. Perjalanan ini selama hampir 9 jam menuju Rantepao, pusatnya para turis di Tana Toraja.

Kami sampai di Rantepao pagi hari, disambut dengan udara dingin yang membuat saya harus mengeluarkan jaket dari tas. Tana Toraja terletak di dataran tinggi, sehingga hawanya sangat berbeda sekali dengan kota Makassar yang panas karena terletak di dataran rendah yang langsung berbatasan dengan laut. Pool bus Litha terletak di pasar Rantepao, cukup strategis untuk kemana-mana. Kami pun tidak kesulitan untuk mencari tempat makan muslim dan sewa motor. Setelah sarapan, kami menitipkan barang bawaan kami ke tempat sewa motor, karena kami tidak berencana untuk menginap di Tana Toraja. Lalu dengan bermodalkan fotokopi-an peta lokasi wisata Tana Toraja, kami berangkat dengan hati gembira. Karena pagi itu matahari cerah sekali!

Dengan modal peta hitam putih ini, kami keliling Tana Toraja dari utara sampai selatan!
Posisi pasar Rantepao ada di tengah, karena itu mungkin lebih tepatnya kami bukan keliling Toraja dari utara ke selatan. Tetapi dari tengah ke selatan lalu kembali ke pasar untuk makan siang dan melanjutkan ke utara dan balik lagi ke pasar, hehe. Capek memang harus bolak-balik menggunakan kendaraan roda dua, apalagi hari sebelumnya kami sudah lumayan lelah setelah mengeksplor Makassar. Sempat beberapa kali Mamat hampir bersenggolan dengan pengguna motor lain, dan sekali carrier saya jatuh di tengah jalan. Rasa lelah tak mematahkan semangat kami untuk berwisata "makam". Ya, karena Toraja ternama dengan adat istiadat nya dalam prosesi pemakaman. Maka hari itu kami mengekplor budaya Toraja dengan mengunjungi beberapa makam yang sudah menjadi sejarah dan yang masih di gunakan sampai saat ini.

Lemo, kuburan batu pahat milik kepala suku Toraja masa lalu
Tujuan kami pertama adalah Lemo. Di sekeliling tebing banyak sekali makam, dan beberapa di antaranya terdapat tulang belulang yang mencuat keluar sehingga terlihat dari bawah. Selain itu kami pun mendapati pemandangan ngarai sawah yang hijau setelah mengitari situs pemakaman ini.

Pemandangan di balik Lemo
Selain Lemo, di daerah selatan Tana Toraja kami mengunjungi situs pemakaman lain seperti Tampang Allo dan Lado. Jarak antar situs tidak terlalu jauh. Sebenarnya diantara itu masih terdapat banyak lagi situs makam lain. Kami pun mengunjungi Baby Grave di Kambira, yang merupakan pemakaman bayi di pohon. Seorang bayi yang belum tumbuh giginya dimakamkan di pohon, karena di percaya arwahnya masih suci. Berbeda dengan orang dewasa yang dimakamkan di tebing batu. 


Baby grave di Kambira
Makam ini sudah tidak digunakan lagi sejak agama sudah masuk ke sini.
Beberapa tengkorak yang tersusun di dalam Tampang Allo
Suasana di dalam Lado, turis asing banyak sekali yang datang ke sini!
Salah pemandangan gua di dalam Lado
Setelah mengeksplor wilayah utara Tana Toraja, kami kembali ke pasar Rantepao. Kami sempat melewati patung Sultan Hasanuddin yang berada di simpang lima kota Makale, ibukota administratif Tana Toraja. Di pasar, kami makan di sebuah tempat makan yang siang itu ramai pengunjung. Kami pun langsung memesan makanan tanpa bertanya terlebih dahulu harganya hingga saat tiba meminta bon, kami terkaget. Ya, harga makanan yang sudah jadi di Tana Toraja itu berbeda sekali dengan Makassar. Untuk ukuran mahasiswa yang biasanya satu porsi di sini bisa dihabiskan untuk makan selama 3 hari. Sehabis makan, kami melanjutkan eksplorasi ke wilayah utara. Karena waktu yang mepet menjelang sore, kami hanya mampir ke desa tenun di Galulu Dua dan desa adat Kete Kesu. 


Salah satu pengrajin tenun di Galulu dua
Kete Kesu
Salah satu rumah adat di Kete Kesu yang sedang di renovasi
Kami tak bisa mendapati prosesi pemakaman dan pesta adat yang biasanya dilakukan orang suku Toraja. Padahal kalau kami sampai di sini hari sebelumnya, kami bisa ikut menyaksikan prosesi adat yang sudah terkenal se-antero dunia ini karena hanya satu-satunya. 


Mamak neneng, di desa galugu dua.
Bercerita tentang anaknya yang akan menikah dengan suku jawa
Tapi itu tak membuat saya kecewa, mengenal lebih dekat dengan warga asli suku Toraja sudah cukup membuat saya bahagia. Melihat perbedaan yang mencolok antara mereka dengan saya, melihat sisi lain di tempat yang jauh dari saya dibesarkan, dan belajar bahwa perbedaan bukan penghalang untuk saling mencintai. Itulah yang saya dapatkan di Tana Toraja.

Yes, a heaven in noisy port city. Zoom out this picture, and see the port and the city can be seen!
Kami tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar sekitar jam 1 pagi waktu Indonesia tengah(6/10). Tentu lokasi pertama yang kami cari adalah musholla, karena kami memang tidak berencana untuk menginap di mana pun di Makassar, meski kami punya travelmate yang sekarang sudah menetap di Makassar. Sambil berbaring di karpet hijau, saya mulai browsing mau kemana saja selama di Makassar. Jujur! Saat itu saya benar-benar blank mau kemana. Rencana ke Bulukumba, Tanjung Bira dan Selayar sudah pasti nggak mungkin. I'm alone and don't have much time there. Karena dua travelmate saya berencana ke Tana Toraja dan satu lagi berencana naik gunung Bawakaraeng. Terus belum lagi jarak yang jauh dari kota sampai ke Selayar. Bisa-bisa di sana cuma numpang pipis aja. Hahahaa.. 

Nah saat itu, tanpa mikir panjang inilah kata kunci yang saya ketik di mesin pencari : pulau terdekat dari kota makassar. Dan pulau Samalona adalah jawabannya. Cuma setengah jam! Saya ngga berburu foto seperti apa pulaunya. Toh, paling ngga beda jauh sama pulau-pulau di Kep Seribu. Apalagi cuma setengah jam, kalau bisa dapet warna air laut yang biru tosca anggap aja hadiah. Pagi itu juga, kami di jemput Wiwi langsung menuju Bantimurung. Hah? Kenapa ke Bantimurung? Ya karena salah satu travelmate saya pengin kesana. Ngalah deh sambil berdoa semoga sampai di Samalona ngga terlalu siang. Dan ternyata kami sampai dermaga Kayu Bangkoa siang terik. "Nggak apa-apa, kulit gosong itu pertanda abis liburan."

Dermaga Kayu Bangkoa

Dermaga Kayu Bangkoa terletak tidak jauh dari Fort Rotterdam dan masih satu garis pantai dengan pantai Losari. Kami menyewa kapal untuk antar-jemput kesana setelah nego dengan si empunya kapal lewat telpon sebelumnya. Kami dapat informasi tentang penyewaan kapal ini dari salah seorang teman yang baru kami kenal di UKM pecinta alam UNHAS. Biasanya sewa kapal di sana ratenya 300-500 ribu, berangkat hari ini dan dijemput esok harinya. Karena one-day trip jadi kami bisa dapat harga lebih murah. Berangkat lah kami kesana setelah makan siang dengan menu coto makassar di pinggir dermaga. 

Ternyata masih banyak pulau lain yang ada di sekitar pulau Samalona, ada pulau Lae-lae dan pulau kayangan. Saat tiba di pulau Samalona, nafas saya tertahan. "Gila! Sedeket ini tapi airnya bisa ijo toska, keliatan bening lagi. Nyesel ninggalin alat snorkeling di rumah!" Sambil ngitung jumlah persediaan baju yang dibawa, nggak mungkin banget nyebur. Telanjang? Ini bukan naked beach! Sewa baju? Lima puluh ribu satu stel, belum perlengkapan snorkeling nya yang harga sewanya di atas harga pasar! Jadilah leyeh-leyeh adalah aktivitas termurah yang bisa kami lakukan saat di Samalona. Eits! Ternyata leyeh-leyeh pun di sana juga nggak gratis lho. Kami juga harus bayar sewa tempat berteduh seharga lima puluh ribu yang sudah ada bale nya dan terletak di bawah pohon. 

"Oh segitu kere nya kah gue sampai ga rela bayar segitu buat menikmati keindahan Samalona?" Bukan, saya bukan engga rela. Kalau ada yang lebih murah dan sama-sama nikmat, kenapa harus bayar? Tiba-tiba teringat dengan budget yang musti di tabung buat sailing trip bulan depan. Kami menggelar flysheet tepat di samping kapal motor yang sedang nganggur. Lumayan buat berteduh. Tidur.. Ya saya tertidur di samping kapal. 

Semua serba lima puluh ribu di Samalona! Termasuk toilet yang sekali masuk lima ribu. Hahahaha..

Air laut ternyata pasang, yang membangun kan saya sehingga kami harus pindah tempat. Sambil menunggu matahari terbenam, melihat hijau birunya pesisir di pulau ini.

Why am I here? Ke Makassar adalah rencana dadakan buat gantiin tiket pesawat temen yang batal berangkat


Dermaga di pulau Samalona

Dan biru langit pun kini berganti warna menjadi senja. Rencana kami yang ingin menghabisi senja batal karena Wiwi harus kembali ke kota Makassar. Ia harus kembali sebelum magrib. Jadilah kami menikmati matahari tenggelam dari atas kapal. Kami nggak nyesel, karena menikmati matahari pulang ke rumah, dari atas kapal itu tetep keren kok.

Dermaga bagi kapal yang berlabuh di Samalona


Tetap menikmati, meski laju perahu kami menjauhi arah matahari.

Perahu ini melaju, goyangannya seperti Elf yang biasa saya naiki ketika traveling di Jawa Barat. Beberapa kali kami teriak menjaga keseimbangan. "Mat, fotoin benderanya pasti keren." Karena nggak berani berdiri sendiri saya meminta tolong Mamat. What a beautiful view!


Sudah berapa pulau yang anda jelajahi di Indonesia? 
Berbanggalah, Indonesia adalah negara dengan kepulauan terbesar di dunia.

Samalona, yang dulu hanya angan-angan karena nggak sengaja pernah baca reviewnya di kaskus. Kini, sudah jadi salah satu wilayah jajahan saya. Eh, bukan itu maksudnya. Tapi paling tidak, karena belum bisa berjumpa dengan Phinisi, saya bisa memenuhi hasrat untuk bertemu laut!

Nenek moyangku seorang pelaut!

Tebing di sebelah barat pantai Klayar
Jam 4 dini hari. Saya tiba di Stasiun Tugu, Yogyakarta[1/9] dengan kereta Gajahwong. Meski posisi duduknya harus 90 derajat, kereta ekonomi AC jurusan Jkt-Ygy ini menurut saya lebih nyaman dibanding dengan kereta kelas bisnis yang biasa saya tumpangi dengan harga yang sama. Menunggu jemputan, sampai matahari terbit saya berjalan hingga ujung stasiun. Dari jauh nampak Jalan Malioboro.


Selamat pagi! Salam sapa yogya dari tiga tahun yang lalu

Setelah menumpang mandi dan sarapan di rumah Galang, hmm.. ya lagi-lagi saya merepotkan dia, hehe kami berdua bersiap menuju Pacitan. Tujuan saya ke Yogya memang untuk bertemu sapa dengannya, selain juga karena saya ingin berjumpa dengan pantai Klayar, yang sejak akhir tahun 2011 sudah saya idam-idamkan. Tidak hanya saya dan Galang yang berniat ke pantai Klayar, teman-teman kuliah yang kini di Yogya dan Solo sempat mengajak touring kesana. Sempat? Iya mereka hanya sempat buat janji. Setelah saya sampai di Yogya, dalam keadaan lelah karena langsung balik dari kantor, tiba-tiba mereka membatalkan touring. Memang membuat kesal, but it doesn't matter at all. Galang tetap semangat meski kita hanya pergi berdua. Eh! Ryan udah nunggu di Pacitan. Travel mate saya yang satu ini emang paling setia. Meski ngasi tau nya dadakan, dia ngiyain. Saya sempat kuatir dia gak akan selamat sampai Pacitan karena kita jalan sendiri-sendiri. Ini pertama kalinya dia solo traveling. Saya ke Yogya dulu dia langsung ke Pacitan. 

Dan benar, ke-kuatiran itu muncul. Dia ngga dapet motor sewaaan di Pacitan. Sampai kami adu jempol lewat sms dan adu mulut lewat telpon. Tuhan tetap berpihak pada kami. Sore menjelang matahari terbenam, kami bisa bertemu di pantai Klayar setelah saya menyisir pantai ke sebelah timur. Tak ada lagi adu bicara, kami menikmati sisa senja hingga matahari sembunyi. 

Menyusuri ke timur Klayar menuju batu spinx
He comes back to it's own home.. - Pantai Klayar, Pacitan





Bersama pak Wakijan, kalau tidak salah saya ingat namanya. Kami diajak untuk melihat batu spinx. Dinamakan seperti itu karena bentuknya mirip seperti singa yang sedang duduk seperti di Mesir. Di balik spinx, terdapat semburan air dari celah-celah batu yang dinamakan "seruling laut". Untuk menaiki batu itu, kita butuh orang lokal yang memberi arahan. Karena, salah pijakan atau arah, kita bisa terhempas ombak yang datangnya tidak bisa diduga. Beberapa minggu yang lalu, ada seorang laki-laki yang sempat terhempas ombak, dan baru ketemu beberapa hari setelahnya mengambang di celah-celah batu. 

Spinx. Ombak yang ada di pantai sebelah timur ini sudah memakan banyak korban. Salah satunya beberapa kamera DSLR tingkat dewa pada musibah yang menimpa para fotografer tahun 2008 silam
Seruling laut
 
Pemandangan matahari tenggelam yang sangat menawan dari batu yang saya pijak ini, membuat jantung saya berdebar-debar saat men-jepretnya. Ombak dari sebelah kiri bisa saja datang tanpa diundang.
 Malam itu saya, Galang, Ryan, Nafik serta Chimot ditemani bulan purnama. Dua orang terakhir yang saya sebut itu adalah sobat dari Yogya yang pernah menemani saya saat ekspedisi Aku Cinta Indonesia. Tak ada janji untuk ke sana bareng. Hanya secuplik pesan lewat ponsel untuk mengabarkan bahwa saya sedang di Yogya, Mas Nafik tiba-tiba menelpon sebelum saya berangkat ke Pacitan dan bilang, "Sampai ketemu di Klayar ya!" Saya hanya tertawa menganggap itu candaan saja. Tapi ternyata dia benar-benar datang, dengan backpack kecil yang hanya berisi sleeping bag dan hammock. "Saya mau kemah juga di sini." Aha! Malam itu kami habiskan sambil bernostalgia setahun yang lalu, di pantai Kapen, tidur beralasan matras dan beratapkan langit.

Kamu ga lagi sms-an kan? Di sini tak ada sinyal!


Jam 1 dini hari. Hanya tenda kami yang ada di pinggir pantai. Terang purnama membuat bintang tak lagi seksi malam itu.
Beberapa kali saya terbangun, karena kedinginan. Malam itu pantai Klayar sangat dingin. Bukan karena hembusan angin, tapi mungkin memang cuacanya sedang lembab. Api unggun terus menyala menghangatkan kami. Jam lima pagi saya jadwalkan untuk terjaga lebih dulu. Mengejar matahari terbit dari balik bukit. Lagi, kami disuguhi kanvas megah ciptaan-Nya.

Nikmatilah dan syukuri, pagi itu kita masih disapa.


Masih ada pantai di balik bukit. But, don't have clue how to get there.
Saya masih ingin tinggal semalam lagi di sini! Begitu yang terlintas di kepala selama menunggu matahari yang mulai menghangatkan tubuh saya. Baru pukul 7 pagi, kami sudah harus bergegas packing untuk kembali ke Yogya, karena mas Nafik harus menyelesaikan tugas untuk seminarnya. Saya dan Ryan merasa masih ada yang kurang. "15 menit aja ya.. Kita harus kesana!" Sambil menunjuk tebing di sebelah barat pantai Klayar. Sampai di atas sana setelah menaiki beberapa anak tangga, kami berdua lagi takjub.

"If only, we could stay longer.. "


How to get there, Pantai Klayar Pacitan :
Tentu saya prefer menggunakan motor sewaan dari Yogya. Karena berdasarkan pengalaman Ryan, sewa motor di Pacitan itu sulit. Dia bisa sampai ke pantai Klayar karena beruntung dapat sewa ojek seratus ribu untuk bisa sampai Klayar tanpa kepikiran gimana caranya dia balik lagi ke kota Pacitan haha. Jaraknya memang lebih dekat dari Pacitan. Tapi kondisi jalan lebih bagus dari Yogya, lalu lewat Gunung Kidul. Ini rute yang saya lewati, based on my real experience, yang lebih percaya sama petunjuk dari penduduk asli sana. Tugu Yogya - Wonosari - Pracimantoro - Parang Gupito - Klayar. Butuh 3 jam untuk sampai ke Klayar. Dari Parang Gupito menuju Klayar, banyak sekali pantai perawan Pacitan yang bisa kita eksplor selain Klayar. Tapi waktu tak memungkinkan, karena pantai Jongwok di Gunung Kidul sudah memanggil :D

Sarapan di pasar
Waktu paling tepat 'bermain' ke pasar sayur adalah pagi hari. Saat barang dagangan masih digelar dan ibu-ibu lalu lalang berbelanja. Di tengah hiruk pikuk dan bau jalanan becek yang tak sedap, ibu pedagang ini tetap santai menikmati sarapan paginya. Ia hanya kaget saat tiba-tiba saya potret. "Sarapan dulu, dik!"


Jenuh,
Saya hanya sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Di hadapan saya, blackbox sedang running untuk retrieve data. Sembari menunggu, saya rebahkan kepala di meja kerja.

What am I doing here?

Saya tidak jenuh kok, saya suka pekerjaan ini. Saya coba memutar film sambil makan siang. Ah.. malas. Saya pegang kepala saya mencoba mengukur temperaturnya, tidak overheat kok. Lalu, kedua mata saya menatap kalender di meja. Ah ya, sudah satu bulan saya tidak bepergian jauh. Tidak, bukan karena itu saya jadi lunglai begini. Sepertinya apapun yang saya lakukan saat ini seperti terkena efek slow motion. Tak ada gairah, lambat.

Dan tiba-tiba ada bisikan di telinga kanan saya. Kamu butuh mood booster, butuh lebih banyak kafein. Dengan setelan sandal jepit sehabis sholat, saya meluncur ke convenience store. Meski sempat lewat starbucks, saya lebih memilih segelas kopi hitam yang harganya lima ribu. Saya hanya butuh kafeinnya saja (sambil menengok lembaran di dompet).

Kopi ini cair. Tidak kental, tidak bisa mengalir pelan di tenggorokan saya. Meski akhirnya saya bisa bangun dari rasa 'malas ngapa-ngapain'. Saya pun teringat kopi kental dengan wanginya yang kuat yang masih saya ingat lima hari yang lalu. Di sebuah warung kopi kecil yang terhimpit diantara toko-toko, di tengah pasar, di Bandung. Warung kopi Purnama namanya yang terletak di Jalan Alketeri, Pasar Baru, Bandung.

Warung kopi Purnama, yang didepannya ada gerobak kembang tahu dan buah mangga. Di sebelahnya ada tukang bubur yang juga tak kalah ramai pengunjung.


Minggu pagi itu, seperti kebiasaan dulu jaman kuliah. Saya jarang sekali menghabiskan hari minggu dengan berleyeh-leyeh di kostan. Tapi menghirup udara pagi yang bebas ke Car Free Day di jalan Dago. Menikmati weekend di Bandung, saya diajak ngopi ke warung ini. Sebelumnya kami sarapan bubur ayam di sebelah warung ini. Gerobak bubur ayam ini bertengger di trotoar yang selurus dengan warung kopi ini. Sehingga ada beberapa penikmat kopi yang terkadang memesan bubur ayam lalu makan di warung kopi Purnama, dengan menambah biaya sewa duduk sebesar 2 ribu rupiah. Hahaa..

 

List minuman yang ditawarkan tidak ada yang menarik. Biasa saja. Kopinya pun hanya ada dua macam. Salah satunya kopi hitam. Saya memesannya, dengan ditemani roti srikaya. Saat tiba di meja, aroma kopinya tercium. Teman saya bilang ini namanya kopi aroma, kopi khas Bandung. Saya tak banyak bertanya tentang kopi ini. Seiring jarum jam yang melaju, sudah tiga jam saya duduk di sana dengan mengeluarkan banyak sekali buah pikiran. Yang tercampur aduk dalam perbincangan yang tak ada judulnya. Efek seharga delapan ribu rupiah benar-benar luar biasa. Entah saya sudah bicara apa saja, dari cerita bagaimana saya bisa berenang dari phobia air sampai bagaimana mimpi saya bisa ingin menjelajah Eropa. Cukup panjang jika dituliskan, dan saya pun kembali ke rutinitas, berpacaran dengan si blackbox dan memulai kode-kode bahasa antah berantah. Bisikan itu kembali terdengar, Let's back to work.

Dan ternyata mood booster saya adalah menulis dan kopi.
Sederhana!




Satu lagi, teman.

Menghabiskan sisa sore dengan teman dan segelas kopi. Itulah senja, lalu ribuan ide pun lahir sama seperti saat senja yang memunculkan ribuan kerlip lampu Kota Bandung.




Weekdays on the job and weekend on the trip. Membuat saya jadi jarang meluangkan waktu untuk menuliskan isi hati atau sekedar mencatat jurnal perjalanan yang akhir-akhir ini menjadi singkat karena sulit sekali untuk bisa dapat libur yang panjang. Nah, karena saat ini saya sedang nabung untuk next trip yang panjang makanya sudah dua akhir pekan saya habiskan dengan belajar berenang di kolam dekat rumah (*bukan empang lho) dan ber-leyeh-leyeh di rumah. Ketika berencana menulis tentang pantai Klayar, saya malah terhanyut dalam cerita tentang sebuah kota.

Pertama kalinya nge-backpack ke Yogya (2009)
Sampai begitu alay nya foto di depan stasiun

Yogyakarta. Kota yang adem tentrem buat menghabiskan waktu di masa tua ini adalah salah satu destinasi yang membuat siapa pun akan terkenang dengan memorinya seperti yang terkutip dalam lirik lagu Kla Project. 


pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu..
masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna..
terhanyut aku akan nostalgi,
saat kita sering luangkan waktu
nikmati bersama suasana jogja...
...



Dan yang membuat saya tahun ini dua kali mengunjunginya. Yang kedua baru saja tiga minggu yang lalu. Saking seringnya main ke Yogya, sampai ada yang mengira saya ini orang Jogja.  Maka seandainya ada yang bertanya saya ini orang asli mana, maka dengan pedenya saya akan menjawab, "Gue dari Gunung Kidul, Yogyakarta." Hahaha.. Memang kelihatan ndeso, tapi jujur saya sangat bangga sekali dengan kabupaten ini. Meski kawasan karst makanya daerah ini sangat tandus dan miskin, tetapi pantai-pantainya yang perawan, goa-goanya yang megah, penduduknya yang ramah serta udaranya yang sejuk membuat saya tak pernah bosan main ke sana. 

Ray of light di Goa grubuk
Di pantai ini, pertama kali nya saya tidur beralaskan pasir dan beratapkan langit.

Tahun lalu, ketika saya mendapat kesempatan jalan-jalan gratis dari ACIdetikcom, destinasi yang saya eksplor salah satunya adalah Yogyakarta. Selama 5 hari saya habiskan waktu di  Kaliurang atas, Kota Gede dan Gunung Kidul. Di ulang tahunnya yang ke-255 saya pun mendapat kesempatan untuk merayakannya bersama warga Yogya.  

Pentas seni antar daerah yang diadakan malam sebelumnya di depan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret


Kalau saya ingat-ingat lagi, pertama kali ke Yogya adalah ketika studi tour SMA(2006). Tapi hanya semalam sehingga saya hanya tau Malioboro. Setelahnya, bersama dengan keluarga, dengan teman kuliah, dan sendiri. Sehingga di blog saya tersebar cerita-cerita tentang Yogya.  Cerita saya dengan sahabat-sahabat di Yogya yang saya tulis bulan April lalu saat saya singgah di kota ini. Tentang Mangunan, bukit dengan view yang sangat waaah. Atau gara-gara film saya sampai terdampar di tempat yang sejuk ini di Sendang Sono. Serta beberapa tulisan saya di blog detik. Dan tentunya tentang pantai-pantainya yang tak ada habisnya untuk digagahi, seperti pantai Jongwok,  pantai Timang, pantai Indrayanti dan Pok Tunggal, pantai Sundak, pantai Kapenpantai Baron, dan Parang Tritis. Aaah pantai-pantai di Yogya benar-benar menghipnotis. Maka saya punya satu mimpi: menyusuri seluruh pantai di pesisir Gunung kidul dari barat ke timur!

Siapa yang tak suka Yogya? Coba tonton video empat episode ini tentang Yogya. Mungkin buat yang menganggap Yogya itu biasa-biasa saja jadi bisa berubah pikiran. Atau malah tiba-tiba mesen tiket kereta ke sana. Seperti teman saya Ryan, asli Sumatra, yang sampai ketularan bisa bahasa Jawa, katanya "Mlaku-mlaku, dab!" Hahahaa.. buat saya, Yogya tak pernah ada habisnya untuk dijelajahi. Happy traveling!