Staycation ke Sukabumi

Jan 7, 2020

(Sumber Foto: Situ Gunung Suspension Bridge)
Naik kereta api Tut..tut..tut. 2 jam perjalanan menggunakan Kereta Api Pangrango dari Stasiun Paledang Bogor menuju Stasiun Sukabumi. Kenapa Sukabumi?


Tadinya kami berencana staycation ke Bogor karena lokasi nya tidak terlalu jauh dari Jakarta. Tapi kalau dipikir kok mbosenin ya, karena dalam setahun ini kami sudah bolak-balik main ke Bogor, nongkrong di kafe ngerjain kerjaan freelance. Terus tiba-tiba saya teringat trip di grup WhatsApp yang selalu jadi wacana —Suspense Bridge Situ Gunung. Kuy! ke Sukabumi. Dari sebulan yang lalu saya sudah mereservasi tiket kereta dan hotel. Trip anniversary tahun ini lebih terencana, jangan sampai kayak tahun sebelumnya, dadakan banget rekreasi ke SeaWorld Ancol.

Kami sengaja memilih kereta dengan jadwal keberangkatan kedua yaitu pukul 1 siang biar lebih santai. Agak rieweh aja kalau harus berangkat subuh-subuh untuk mengejar kereta pertama pukul 8 pagi. Kami berangkat pakai ekonomi, toh hanya dua jam saja lama perjalanannya. Untuk kereta pulangnya baru kami pesan yang eksekutif, biar bisa selonjoran.


Sampai di Stasiun Sukabumi, kami sudah disambut si Aa yang bawain motor vario sewaan untuk kami gunakan selama 24 jam. Langit sore mulai gelap karena mau hujan. Di tengah perjalanan ke Hotel kami langsung tancap gas tanpa mengisi bensin dahulu, sampai parkiran hotel baru deh hujan turun. Aman~

Rupanya Bre bersuka cita saat sampai di kamar hotel. "Kok lebih mewah dari hotel gue pas di Lombok kemarin sih?". Kami menginap di Hotel Horison, ratenya 4.5 berdasarkan review Google. Selama trip di Indonesia kalau nggak berkemah, ya nginep di hostel atau hotel melati, makanya dengan harga yang lumayan murah dan dapat fasilitas hotel berbintang ini kita jadi terharu. Kami jadi ketagihan staycation.

Nyaman banget, aku selonjoran dan Bre tidur hingga lepas magrib. Kami keluar dari hotel sembari menunggu jas hujan yang diantar sama yang nyewain motor. Walaupun awalnya sempat cekcok karena soal harga sewa yang tidak sesuai dengan perjanjian, tapi si Aa nya ternyata mau bertanggung jawab nganterin jas hujan ekstra dan mengganti helm ke hotel kita. 

Sebenarnya rada malas juga keluar untuk dinner, pengen rebahan aja sampai tidur. Tapi karena perut mulai keroncongan kami turun ke lobi hotel sembari menunggu hujan reda. Lumayan sambil makan kacang rebus gratis dan menyeruput Bandrek. Masuk angin ku sejak di Commuter Line tadi siang perlahan menghilang sejak minum minuman tradisional sunda ini. Kayaknya sebentar lagi saya kentut-kentut. 

Foto kiri: Ekspektasi minta difotoin suami
Foto kanan: Realita foto "non-instagram" husband
Saya browsing restoran kuliner dekat hotel tapi yang muncul kebanyakan berima Ibu Bunut. Apapun itu pasti ada Bunut nya. Dan saya cek ternyata itu bubur ayam dan restoran sunda. But I'm craving for something yang kuah-kuah. Kemudian sampailah di Warung Bakso yang kayaknya lumayan ngehits di Google. Tapi ternyata rasanya biasa aja. Bisa dibilang sepi malah. Setelah dari warung bakso, kami mencari kafe buat nongkrong cantik, mutar-muter sampai tiga kali, kami nggak nemu. Kebanyakan kafe di sini tutup jam 9.30, meskipun malam minggu.

Salah satu sudut Dolce Gelato
Sekalinya nemu 2 kafe ngopi yang kelihatannya asik (Like Earth dan Rumah Mesra —nama kafenya bikin pengen pelukan) tapi ternyata ngga punya ruangan ber AC, semuanya full ruangan merokok. Mungkin faktor suhu Sukabumi yang lumayan chill ini jadi nggak heran banyak yang merokok. Yasudah deh akhirnya kami belok makan es krim ke Dolce Gelato. "Sudah setengah sepuluh nih, balik ke hotel aja yuk ndusel-nduselan di dalam selimut." Sampai di hotel, sebelum naik ke kamar kami minum bandrek lagi di lobi hotel. Doyan, Mang!

Hari Minggu yang cukup cerah. Saya bangun pagi dengan lebih bugar, mungkin salah satunya karena efek kebanyakan minum bandrek dan tolak angin. Tapi sedih nya Bre malah mulai radang, katanya kebanyakan makan ciki sama makan kerupuk waktu di warung bakso. Besok-besok nggak bakal bekelin ciki lagi deh. Melihat Bre yang kurang sehat, saya sempat terpikir untuk membatalkan rencana trekking ke Situ Gunung. "Nggak apa-apa, hayok!" Bre justru yang lebih bersemangat. Lalu kami langsung check out  hotel dan sarapan.


Menurut saya, salah satu detail Staycation harus nya ada sarapan mewah di hotel, seperti foto di atas. Sayangnya foto tersebut adalah foto 3 tahun lalu saat melanglang ke Innsbruck, hehe. Mumpung di Sukabumi, kami mencari sarapan lokal saja —bubur ayam yang ngehits di kota ini.


Seperti yang saya tulis dalam paragraf awal tadi, nama nya Bubur Ayam Bunut. Kalau dicari di peta ternyata ada banyak pilihan dengan nama yang sama tapi saya memilih untuk makan yang di sini. Baru tau ternyata Bunut itu diambil dari nama Taman Bunut.


Bagaimana rasanya? Saat itu saya nggak bisa menjelaskannya dengan kata-kata, lidah saya keburu melocot kepanasan karena terburu-buru makan buburnya yang benar-benar panas. Enak banget pokoknya, definitely we'll be back here. Yang bikin uwenak itu apanya coba? Ayam nya cuy, pakai ayam kampung jadi bikin nagih. Meskipun nggak pake kuah, buburnya udah enak banget. Ini adalah bubur pertama yang aku makan pakai DIADUK. Sungguh, makan bubur diaduk itu haram ada dikamusku. Tapi tidak untuk Bubur Ayam Bunut.

Dapat sarapan gratis (welcome drink) yang isinya keripik singkong, pisang rebus dan teh hangat
setelah membeli tiket Suspension Bridge
Sarapan (lagi) duduk-duduk di sini

Kenyang makan bubur, kami melanjutkan perjalanan ke Situ Gunung yang ditempuh kurang dari satu jam. Baru pukul setengah sepuluh pagi, di sini sudah ramai pengunjung. Keheningan hutan yang kami rindukan wepertinya cukup jadi angan-angan saja hari itu. Bus rombongan tur sudah berjejer ramai di area parkir. Nikmati saja lah. Bre dari tadi hanya terdiam, radang yang diderita nya sepertinya makin parah. Hahaha. Keripik singkong yang diambilnya dari welcome snack and drink tadi dibiarkan saja tidak dimakan.


Tiket masuk ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango hanya 18.500 rupiah saja, sudah termasuk area Danau Situ Gunung. Sedangkan untuk masuk ke jembatan kita diharuskan membayar tiket lagi  sebesar 50.00 rupiah dengan memperoleh gelang tiket dan welcome snack and drink.


Untuk menuju ke Suspension Bridge ternyata sangat mudah, lokasinya cukup dekat dari pintu masuk Situ Gunung. Kita nggak perlu trekking, ibu-ibu pakai heels aja berani sampai sini. Baru nanti kalau mau ke air terjun nya, jalannya lumayan menurun dan bebatuan. 

Menurut situs resmi, Situ Gunung Suspension Bridge ini adalah jembatan gantung yang terletak di tengah hutan dan terpanjang se-Asia Tenggara. Cukup seru melewati jembatan gantung yang memiliki panjang 243 meter ini. Sebelumnya kami mengantri untuk menggunakan tali pengaman. Kawasan wisata Situ Gunung sudah cukup canggih dengan menggunakan aplikasi  digital penghitung jumlah wisatawan yang ada di jembatan. Jadi kita tidak bisa sembarangan melewati jembatan jika jumlah orang sudah melewati batas maksimal. Ngantri nya juga nggak lama, karena tidak ada yang betah berlama-lama di tengah jembatan yang menggantung setinggi 121 meter dari lembah ini.


Saya melihat Bre dari belakang dan melihat gaya nya berjalan sangat aneh. Dia bilang aku juga jalannya sama, cuma nggak sadar aja karena jembatan ini bergeser ke kanan kiri dan makin menegangkan kalau ada angin kencang. Sudah merasa seram sendiri, Bre tiba-tiba dirangkul seorang bapak paruh baya karena takut. Di belakang nya pun ternyata sudah mengintil satu keluarga (anak-anak dan istri si bapak) yang rupanya juga takut. Akhirnya mereka berjalan beriringan dipandu oleh Bre dari depan. Hahaha.



Baru setelah melewati jembatan, kita akan disuguhkan aroma hutan basah dan jalan setapak yang berbatu.

Dingin-dingin gini enaknya makan gehu pake cabe rawit
Sambil diiringi suara suling dan celempung —alat musik degung Sunda
Setelah berjalan santai kurang lebih setengah jam, kami sampai di Curug Sawer (curug dalam Bahasa Sunda artinya air terjun). Curug ini sudah banyak berubah, enam tahun lalu saya ke sini masih berupa kawasan tertutup, hanya ada tenda-tenda para pelancong dan suara merdu deras air yang jatuh dari tebing. Kini sudah berubah menjadi festival, dibangun pondokan besar yang berisikan warung-warung makan dan berjejer stall-stall souvenir dan aneka jajanan SD. Meski suasana alam nya berkurang, namun pihak pengelola cukup apik membungkus festival ini dengan bangunan bambu-bambu dan kolam buatan. Hanya saja jadi terasa lebih ramai. Jadi kami langsung menuju spot air terjun dan melipir ke sisi kiri air terjun yang lumayan sepi.


Deru air yang jatuh membuat Bre mengantuk. Cukup cari tempat rebahan, dia bisa tidur pulas.  Kasian nggak bisa diajak ngobrol karena radang nya makin parah. Lalu saya ngapain? Foto-fotoin dia bobo dan berswafoto lalu main hape dan melamun.


Mungkin perjalanan berikutnya kami sudah bisa mengajak buntut jalan-jalan ya, kurang asik berdua melulu nih. Yuk, kita kembali ke realita dan mulai berusaha lagi untuk mencanangkan trip "bertiga". Happy 5th Anniversary!
— 23 November 2019

No comments

Post a Comment