Drama Sebelum dan Saat Liburan Ke India

Mar 17, 2020


1. Salah pilih tanggal perjalanan

Kenapa pilihan liburan nya ke India? Pertanyaan yang sama dari sanak famili dan teman-teman dekat saya. Sejujurnya saya kepingin balik lagi ke Jepang di musim semi. Tapi September 2019 kemarin ternyata Air Asia (nggak kapok-kapok pakai maskapai ini) nggak buka promo ke Jepang, yang ada Cathay dan Ana tapi hanya sampai Desember 2019. Esok hari nya, Nisa iseng mengirimi saya promo Jakarta - Delhi PP 3 juta. Emm, nggak promo banget sih tapi lumayan. Langsung lah tanpa babibu kami beli tiket untuk awal Maret 2020. Jadilah kami berlima, waktu itu sedikit ada drama juga karena ada teman kami yang mau nambah lagi tapi kita tolak karena udah terlalu rame. Asik nih bisa lihat salju ke Kashmir. Tanggal yang dipilih 28 Februari - 9 Maret, supaya nggak spring banget dan salju nya masih fresh.

Drama dimulai saat November 2019 saya dan Nisa ketemuan untuk bahas itinerary. Awalnya kami berencana untuk roadtrip jalur darat menggunakan motor atau mobil dari Srinagar ke Leh. Tapi ternyata jalur antara ke dua wilayah itu ditutup sampai April. Pun, dari Delhi ke Srinagar akses yang paling mudah ternyata hanya pesawat. Cek tiket pesawat saat itu 1,2 juta PP. Okelah kalau gitu kita eksplor Srinagar dan sekitarnya saja. Sedih banget waktu itu, karena udah ngebayangin akan jalan-jalan naik motor melewati Cold Dessert dan ke Pangong Lake. 

Tips: Perbanyak riset dan googling tentang destinasi impian kamu terutama kapan waktu yang tepat untuk mengunjungi tempat tersebut sebelum beli tiket pesawat. Jangan ngarep reschedule karena reschedule hanya untuk traveler Sultan!

2. Pembatalan tiket pesawat teman seperjalanan

Awal Januari, ponsel pintar saya berdering, salah seorang teman seperjalanan saya yang tinggal di Bali, Bang Mamat saya memanggilnya, menghubungi saya dan mengungkapkan kisahnya untuk membatalkan perjalanan ke India dengan alasan mau belanja jaket dan sepatu outdoor secondhand ke Thailand. What the f! Saya nggak langsung setuju, pokoknya kita harus ketemu dulu. 

Selama dua bulan sampai akhir Januari 2020 saya disibukkan dengan persiapan acara pesta perkawinan adik saya. Jadi nggak ada waktu banget ngurusin detail itinerary. Hingga saat itu dunia sedang ramai dengan kasus virus Corona yang sedikit membuat saya ragu untuk meneruskan perjalanan ke India. Nisa pun menelepon saya, menceritakan keraguan yang sama seperti saya. 

2 Februari 2020, di Jco Plaza Festival, akhirnya mereka mengungkapkan keinginannya untuk membatalkan tiket pesawat dengan mantap. Saya sendiri masih ragu, karena maskapai ini nggak mungkin banget mau refund tiket. Saya nggak mau rugi dong karena saya kan punya dua tiket PP. Huhu. Saat itu kami berempat langsung menuju kantor Air Asia di Sarinah, yang ternyata tutup di hari Minggu. Obrolan kami berlanjut dengan mencari opsi untuk saya dan Bre antara reschedule jika biayanya memungkinkan (waktu itu saya ngga tau biayanya berapa) atau tetap lanjut berangkat. 

Tips: Sebisa mungkin hindari trip patungan yang mahal. Kalau memang itineraery sudah fix dan teman seperjalanan mau menanggung biaya patungan selama perjalanan sih nggak masalah. Alhamdulillah nya, Nisa dan Bang Mamat masih mau nalangin patungan bagasi kami pulang pergi. 

3. Harga tiket pesawat ke Srinagar yang melunjak setiap hari nya

H-3 berangkat, saya menghubungi Kak Tery, kakak kelas saya yang baru kembali dari Kashmir November 2019 lalu melalui WhatsApp. Dia cerita untuk tiket ke Srinagar yang dia beli hanya 900rb pulang pergi. Itu dia beli sekitar 6 bulan sebelum berangkat. Dia hanya berangkat berdua, lalu mencari teman patungan lagi berenam selama di Srinagar, karena untuk mengirit biaya di sana perlu sharetrip untuk sewa mobil. 

Saya mengecek tiket pesawat lagi dan tiket sekali jalan dari New Delhi ke Srinagar sudah mencapai 1,3 - 2,5 juta tergantung tanggal, untuk pulangnya masih diantara 600 - 800 ribu. Sudahlah, out of budget banget ini. Saya pasrah untuk mencoret Kashmir dari destinasi tujuan utama kami. Kami tak sanggup kalau harus naik kereta 25 jam dari New Delhi (style trip kita udah beda sekarang). Bre kecewa karena dari awal dia nggak begitu minat dengan liburan ke India, dia hanya ingin ke Kashmir nya saja. Saya mengganti Kashmir dengan Jaisalmer, kota di tengah Gurun Thar di India Barat. Kata Kak Tery, "Dinikmati aja, nanti balik lagi khusus Kashmir dan Ladakh." Legowo aja deh, daripada nggak enak di jalan. 

Tips: Cari destinasi yang bisa dilalui jalur darat dengan mudah. Atau buat itinerary yang fix jadi bisa pesan tiket pesawat jauh-jauh hari.

4. Charge kamar yang tidak sesuai kebijakan hotel

Meskipun masih galau antara jadi atau batal ke India, saya tetap berusaha untuk menyusun itinerary. Dimulai dengan melakukan pemesanan hotel di salah satu OTA favorit saya yaitu Booking.com. Awalnya baik-baik saja, saya selalu memesan penginapan dengan kebijakan free cancellation. Sejam kemudian saya mendapat pesan dari Tuk Tuk Backpackers melalui chat Booking.com, saya disuruh untuk mentransfer sejumlah biaya penginapan melalui rekening pribadi mereka. Wah mulai ada gelagat nggak jelas nih. Sampai sejam kemudian ada email masuk kalau kartu kredit saya sudah kena charge full dari penginapan di Jaipur ini. Padahal jelas-jelas charge akan dikenakan 1 hari sebelum kami menginap.

Saya langsung melapor ke customer service dan tanggapan Tuk Tuk Backpackers adalah mereka akan mengembalikan biaya penginapan jika kita melakukan cancel. Langsung lah saat itu juga saya cancel. Tapi selama hampir 2 minggu dana kita nggak balik-balik. Pihak Tuk Tuk Backpackers lama-lama juga nggak ngerespon. Saya tetap berusaha dan mengirim email langsung ke CS Booking.com. Awalnya dicuekin dan dianggurin sampai akhirnya dalam satu bulan pihak Booking mau berkoordinasi dan mau mengembalikan dana saya melalui e-wallet Booking.com.

Saya kira kejadian seperti ini hanya terjadi di penginapan-penginapan di India. Ternyata setelah ngobrol dengan Mira, doi mengalami kejadian yang sama di UK. Lumayan bikin drama karena saya musti bolak-balik ngirim email dan attach bukti chat. Duit segitu kan lumayan bisa buat makan-makan di Kintan. Anyway, saya jadinya menginap di Moustache Jaipur, mereka lebih fair meskipun lebih mahal sedikit tapi bayarnya bisa di tempat.

Tips: Kalau bisa jangan cantumkan data kartu kredit dan CVV nya. Masih banyak kok penginapan yang menerima pemesanan tanpa perlu kita cantumkan data kartu kredit. Cari yang kebijakannya No Credit Card Needed, No Prepayment dan Free Cancellation.

5. Covid-19 dan Kerusuhan antar Kelompok Agama di New Delhi

Tiap hari saya mengecek jumlah korban virus Corona di India melalui website ini. Hamdalah, jumlahnya hanya 3 nggak nambah sampai kami berangkat ke India. Tapi ternyata ada drama lain lagi. Pagi-pagi setelah ngobrol dengan Kak Tery malamnya, sambil ngeteh dan sarapan pagi, saya membaca berita melalui layar ponsel, kerusuhan di New Delhi terjadi lagi. Haduh, apakah ini pertanda untuk batalin liburan ke India. Karena sejujurnya, meskipun visa sudah ditangan, kami berdua masih ragu untuk berangkat. 

Tips: No tips for this drama, karena kejadian ini di luar kendali kita.


Selain dari lima drama di atas, masih ada satu lagi. Bre salah input nomor paspor saat apply visa online. Imbasnya dia jadi ketahan lebih lama saat lewat imigrasi India. Kesalahannya adalah angka yang dimasukkan terbalik. Saat masuk sih kelihatannya nggak begitu serius karena petugas imigrasi nya masih muda dan malah ketawa ketiwi meskipun prosesnya lama karena petugas musti bolak-balik mengecek data. Yang parahnya saat keluar imigrasi, luamaaa banget untung kita meluangkan waktu lebih lama (7 jam di bandara).

Dari sekian drama yang bikin galau dan gelisah ini akhirnya kami tetap memutuskan berangkat dengan dua alasan. Pertama, Bre mendapat jatah WFH (Work From Home) selama dua minggu sebagai kebijakan untuk self-quarantine setelah keluar negri. Senang banget doi, sampai bela-belain beli charger Mac baru untuk di rumah karena sudah dua bulan ini hilang dan minjem temen di kantor. Alasan kedua, kami nggak ke Jaisalmer tapi ke Manali, kota di ketinggian Himalaya. Malam itu setelah ngobrol dengan Kak Tery, dia menyarankan saya untuk posting nyari temen di grup Facebook Backpacker Dunia, ada yang komentar tentang kota Manali. Saya googling dan nemu blog nya Mamie FunkyWohaaa! Ternyata nggak kalah keren sama Kashmir. Saya jadi semangat menyusun itinerary ke India ini pakai Trello.

6. Scamming di India

Rutinitas yang saya lakukan sebelum jalan-jalan keluar negeri selain menyusun itinerary adalah mencari informasi tentang scamming di setiap negara atau kota yang mau kita kunjungi. Negara maju seperti Perancis dan Belanda pun punya scamming yang unik. Saya menyaksikan dan mengalami sendiri scamming di sana dan hamdalah bisa menghindari kerugian yang terjadi. Untuk India sendiri saya sudah dapat informasi tapi apa yang saya alami sebagian tidak terdaftar dalam list artikel yang saya baca ini. Dan yang paling sering adalah ditilep!

Salah dua yang paling berkesan adalah di hari pertama dan hari terakhir di Delhi. Hari pertama saya menginjakkan kaki di bandara Indira Gandhi, saya langsung menuju konter Airtel untuk membeli simcard. Harga simcard paket satu bulan adalah Rs 615. Berhubung saya hanya punya pecahan 500 an, saya beri ke petugasnya dua lembar 500 rupee. Setelah beberapa menit sambil dia memasang simcard dan utak atik settingan ponsel saya, tiba-tiba uang saya di meja berubah jadi selembar 500 dan selembar 100. Dia menunjukan kedua lembar uang itu dan bilang kalau uangnya kurang. Kampret ni orang dikira gue amnesia apa. Saya memang tidak tahu kapan dia mengganti pecahan uang itu tapi pakai logika dong, saya kan cuma pegang lembaran 500 itu pun saya cuma punya 4 lembar yang saya dapatkan di money changer di KLIA. Sambil membentak dan marah-marah ala mertua di sinetron Indosiar, saya ngomong apa adanya dan dia dengan polos dan tanpa rasa bersalah mengambil selembar 500 an saya yang lain dari kolong meja dan mau memberikan sisa kembalian.


Kejadian lain saat hari terakhir di Delhi di minimarket 24 Seven di daerah Connaught Place. Di sana saya belanja makanan ringan yang lumayan banyak untuk souvenir. Saya nggak ngitungin dan percaya aja karena jelas ini kan minimarket resmi bukan warung kelontong. Dibilang sama kasirnya total Rs 715, saya kasih deh 800 rupee dan dikasih kembalian yang pas. Tapi saya nggak dikasih bill. Padahal jelas ya kalau di India itu setiap kita belanja di supermarket atau warung resmi yang pakai kertas bill, ada petugas di pintu keluar yang akan mengecek bill kita. Setelah setengah memaksa  minta bill akhirnya tanpa rasa bersalah si kasir mengeluarkan semua belanjaan saya di kantong belanja dan menghitung ulang dengan mesin scan. Baru deh dikasih bill nya dan ternyata cuma Rs 515. Dia kembalikan sisa 200 rupee tanpa minta maaf cuy!

Tips: Jangan biarkan pasangan atau teman jalan Anda yang nggak suka ngitung duit untuk transaksi apapun yang berhubungan dengan mata uang asing. Pastikan lebih teliti dan fokus saat bertransaksi. Kalau perlu, hitung kembalian menggunakan kalkulator ponsel biar lebih yakin.

7. Fenomena bunyi klakson dan menyebrang jalan raya di India

"Hati-hati, nyebrang di India itu antara hidup dan mati." Begitu pesan Aan saat saya nanya-nanya tentang India karena saya tahu dia sering bolak-balik ke Bangalore, Silicon Valley nya India. Begitu juga kata Kak Tery, siap-siap kuping budek di sana. Pengen ngakak aja rasanya kalau lagi di jalan raya karena di India sudah jadi hal yang lumrah.

Saat sampai bandara, kami dijemput Mr Sunil, supir hotel kami menginap di Delhi. Kami minta diantar ke ATM terdekat karena ATM Mandiri saya nggak bisa di gunakan di semua mesin ATM bandara Indira Gandhi. Diberhentikan lah kami di pinggir jalan yang meskipun sudah tengah malam, kondisi jalan masih sangat ramai. Karena ATM ada di sebrang jalan, kami bingung nyebrangnya gimana dan Mr Sunil dengan santainya menyuruh kami menyebrang saja. Seriously, seperti kata Aan, rasanya kayak mau mati nyebrang di sana. Hahahah.


Kuping saya makin budek saat keliling kota Jaipur selama 6 jam pakai Tuk Tuk (bajaj nya India). Semua orang terlihat buru-buru dan kesal dengan sering nya membunyikan klakson kendaraan mereka saat macet, padahal mah biasa aja. Even abis diklaksonin sama pengendara motor di belakang, supir Tuk Tuk kami mengobrol biasa dengan pengendara motor tadi saat mereka bersebelahan.

Baru tiba di Indonesia, saat di tol setelah keluar di Bandara Soetta, saya bergumam, "Jakarta damai banget ya, nggak berisik." Lol.

Tips: Terima dan nikmati saja, itu adalah bagian dari seni nya jalan-jalan. 

8. Joroknya India

Saya sudah menyaksikan ke-tidak-higienis-an India yang untung nya tidak membuat kami sakit perut. Nggak hanya soal makanan, di mana-mana yang ada pojokan pasti bau pesing. Mereka suka pipis di tempat terbuka. Nggak jauh beda sama Jakarta sih, tapi toilet umum gratis untuk pria di sini sungguh tidak manusiawi. Saya nggak berani foto, takut jadi nggak nafsu makan kalau inget. Begitu juga toilet umum yang berlabel "Deluxe Toilet" yang berbayar, kondisinya lebih parah dari toilet umum di pom bensin. Untuk tempat-tempat wisata tertentu malah tidak ada toilet nya sama sekali. Saya sampai sering nahan pipis dan selalu bawa parfum spray setiap mau pakai toilet umum.


Jangan heran banyak tulisan larangan untuk meludah di sini. Ya, mereka kalau ngeludah bisa di mana aja dan nggak tanggung-tanggung meludahnya seperti air terjun. Banyak banget, saya sampai mual melihatnya. Poop anjing, sapi dan gajah juga ada di mana-mana. Hoek.

Tips: Kami selalu minum air minum kemasan botol. Walaupun di beberapa tempat disediakan fresh water gratis yang bisa diisi ulang, saya lebih memilih untuk membeli di warung atau di hotel. Untuk makan besar saya lebih memilih di restoran karena harganya sama seperti di Indonesia. Meskipun sesekali jajan pinggir jalan. Hamdalah, seseringnya Bre jajan dia nggak pernah ngeluh sakit perut atau mencret.

9. Drama mengejar kereta

Saya seperti masuk ke lorong waktu. Naik kereta sleeper class di sini serasa balik ke jaman 30 tahun yang lalu. Pengalaman pertama kali naik kereta, saya langsung naik dari stasiun Old Delhi. Sungguh sebuah kesalahan.

Alasan pertama karena stasiun Old Delhi ini jadul jadi tidak ada pengumuman secara tertulis di sini. Hanya ada pengumuman melalui pengeras suara yang bahasa Inggris nya tidak jelas sama sekali. Kedua, delay yang tidak jelas hingga dua jam, padahal perjalanan kami hanya ditempuh dalam waktu 5 jam. Ketiga, 1 rangkaian kereta bisa terdiri dari lebih dari satu nomor/ nama kereta saking panjang nya.


Kenapa saya mengejar kereta? Jadi setelah menunggu lebih dari dua jam tidak karuan, kita nggak ngeh barusan ada kereta yang berhenti sekitar 5 menit di jalur tempat kita nunggu. Sampai kita tersadar setelah nanya sama orang kalau itu kereta kami. Karena masing-masing gerbong tidak saling menyambung jadi mau nggak mau kami harus masuk gerbong yang sesuai dengan kelas yang kami pilih. Dan ternyata gerbong kami ada di paling ujung depan. Entah sudah berapa gerbong yang kami lewati, kami sampai sesak nafas karena berlari. Baru terduduk sebentar di dalam, kereta langsung jalan tanpa terdengar aba-aba sama sekali.


Kereta Delhi - Jaipur seharga 200 ribu rupiah per bed selama 5 jam ini sungguh membuat saya trauma dan nggak mau naik kereta di India lagi saat itu. Bayangkan gimana untuk kereta Jaipur - Agra yang kami pesan seharga 25 ribu saja? Akhirnya kami memutuskan untuk naik bus dan menghanguskan tiket itu. Tapi untuk tiket kereta dari Agra ke Delhi tetap kami pakai karena dengan harga 250 ribu rupiah per kursi selama 1,5 jam kami lumayan dapat kereta eksekutif yang tepat waktu.

Tips: Beli tiket kereta di web IRTCC agak ribet, jadi kami beli di kantor pemesanan khusus turis di New Delhi Station (NDLS). Kami lebih memilih menggunakan bus karena pemesanan nya yang sangat mudah lewat aplikasi redbus, fasilitas yang lumayan seperti air mineral dan wifi, berangkat dan tiba ontime, dan bisa di tracking posisi bus nya. Lokasi pick up nya juga jelas.

10. Korban pedagang liar

Mas-mas yang jualan ngider di jalan dan tempat-tempat wisata suka maksa jualannya. Jadi kalau disapa jangan sekali-kali iseng untuk jawab karena nanti bakal panjang urusan (jualan) nya. Seperti saya yang sudah jadi korban jualan saffron di tempat main ski di Manali. Awalnya kasian karena sepanjang saya duduk di warung minum chai dan ngelamun, saya udah ditawari 5-6 orang anak muda. Sampai akhirnya kami diperlihatkan sesuatu yang magic (tapi tipu kata host ku), di mana tiba-tiba dia megang tangan Bre lalu diusap-usap sampai wangi. Kami termakan juga sama tipuannya dan juga karena harganya yang cukup murah, dengan harga Rs 200 (sekitar 40 ribu rupiah) saya dapat 6 kotak x 1 gram saffron.


Nggak hanya saffron, segala pernak-pernik di tempat wisata mereka juga jual nya maksa. Kami sampai diikutin. Lucunya mereka juga nggak malu nanya berapa harga yang kita dapat di pedagang lain, mereka bisa menawarkan lagi ke kita dengan harga yang lebih murah, kan ngeselin banget kan.

Tips: Jangan tergiur harga murah untuk sejenis saffron yang biasa dijualnya di sini 150 ribu rupiah per 1 gram. Saya membeli manisan biji adas di warung yang ada di foto atas. Disana juga jual saffron seharga Rs 200 untuk 1 gram. Lebih meyakinkan sih, tapi saya jadinya tetap nggak beli. Hahaha.

11. Ditolak semua hotel di Delhi 

Dalam waktu seminggu kami di India, dari yang semula hanya 3 orang, korban Corona di sini bertambah jadi 34 orang. Begitu pula dengan di Indonesia, dari yang semula tidak ada menjadi dua orang. Kepanikan banyak terjadi di kota-kota besar terutama di Delhi.

Lochenpa B&B, the best hotel in Manali. View nya langsung madep puncak gunung es.
Setelah cukup lelah dengan perjalanan tiga kota di mana kami habiskan setiap 1 hari 1 kota, kami mengakhiri malam di Delhi. Karena rata-rata semua hotel kami pesan satu hari sebelumnya, pas malam terakhir di Delhi ini kami baru pesan penginapan 1 jam sebelum check-in. Kami cari yang paling dekat dengan stasiun.

Hotel ke 1: Hosteller Delhi
Resepsionis minta medical certificate. Padahal jelas di pesan lewat Booking.com mereka cuma ngasi requirement kita nggak traveling selama 14 hari ke China, Jepang, Korea Selatan dan Itali. Ngga ada keterangan disuruh bawa surat kesehatan. Kalau emang mau nolak karena kita dari Indonesia kenapa nggak di cancel aja sih, kenapa harus nunggu kita sampai sana.

Dengan perasaan penuh marah dan dengki sekaligus capek, kami langsung jalan kaki ke hotel berikutnya. Nggak sampai 1km lah. Kami sudah cek di Booking.com tapi nggak kami pesan karena mereka minta data kartu kredit.

Hotel ke 2: Hotel South Delhi Inn 
Resepsionis awalnya ragu tapi mereka minta semua kelengkapan mulai paspor dan visa. Lalu dia menelepon seseorang yang saya tebak sebagai manager hotelnya. Dikasih lah telepon nya ke saya dan dia ngasih harga Rs 2500 (sekitar 500 ribu rupiah permalam) dari semula di Booking.com hanya Rs 1300. Kan ngeselin ya, yaudah lah saya tawar jadi Rs 1500, udah capek juga udah malam. Dia masih nggak mau dan mentok kasih harga Rs 2000. Yowes aku mau check dulu kamar nya kayak gimana. Yaelah ternyata kacau banget, lebih parah dari hotel pertama kami di Delhi yang cuma seharga Rs 850. Selain malas karena harganya dinaikin 2x lipat, staf nya di sana juga nggak sopan jadi kami langsung booking hotel berikutnya pakai aplikasi lagi. Kali ini saya booking beneran karena hotel nggak minta data kartu kredit.

Hotel ke 3: Hotel Preet Palace
Lumayan sulit untuk sampai ke hotel berikutnya karena nggak sesuai sama map dan memutar. Begitu ketemu, kita malah diusir. Gak sopan!

Akhirnya kita nginep lagi di hotel yang pertama saat kami tiba di Delhi, Hotel Hi Life. Pertimbanganku kenapa nggak mau nginep situ lagi karena lokasinya jauh dari stasiun pas kita sampai dari Agra, dan lokasinya yang semrawut di tengah-tengah pasar. Manager hotelnya, Mr Lohia, emang ramah dan sopan banget. Dia sempat mengirimiku pesan apakah kita akan nginap lagi di hotel nya. Tapi belum aku balas. Malam itu juga saya telepon dia.
"You can come here, Niken!" 
"I'll book via Booking.com" 
"Yes, sure"


Ternyata di India masih banyak orang baik. Saya juga dapat teman baik dari Manali. Berkali-kali disapa orang India asli dan murah sekali senyum. Mereka suka minta foto bareng juga sama saya. Ngobrol asik sama sebagian manager hotel yang nggak rasis. Meskipun kami kena scam sampai empat kali tapi hamdalah tidak ada kerugian yang pasti (cuma saffron palsu aja kok). Meskipun kami sampai enegh sama kari, kami lumayan banyak nyobain beberapa jenis makanan di sana. Seru banget lah. Tapi sayangnya, hanya pemandangan pegunungan Himalaya di Manali lah yang membuat kami ingin balik lagi ke India :p



No comments

Post a Comment