Exploring The Golden City Gyeongju

May 19, 2019



"Kok nggak ke Busan? Kok nggak ke Jinhae? Di mana tuh Gyeongju?"

Jadi beberapa hari sebelum berangkat, saat sedang menyusun itinerary ke Korea, Hana tiba-tiba menunjukkan saya foto penginapan hanok di instagram yang membuat kita akhirnya secara impulsif memutuskan untuk mengubah haluan destinasi dari Hwagae dan Jinhae ke Gyeongju saja. Karena untuk mencapai dua kota tersebut menggunakan transportasi umum sangatlah ruwet, sedangkan ke Gyeongju kita cukup menggunakan satu kali bus yang berangkat dari Seoul.

How we get there

Pertimbangan kita menggunakan bus adalah karena biayanya lebih murah dan rutenya langsung. Sedangkan jika menggunakan kereta harus kita transit dan berganti kereta di Daegu sehingga waktu tempuh menjadi lebih lama. Sayangnya, proses reservasi online bus di Korea masih menyusahkan wisatawan dari luar Korea. Pertama, rute bus antar kota tidak semua tersedia di salah satu website resmi, jadi harus bolak-balik melakukan pengecekan di dua website ini (Kobus dan Txbuse). Kedua, pembayaran hanya bisa menggunakan kartu kredit Korea, jadi visa dan mastercard tidak bisa digunakan. Saya pun menjadi korban ke-ruwet-an ini hingga akhirnya memutuskan untuk go show saja di Seoul.

Lorong panjang tempat menunggu bus di Seoul Express Bus Terminal
Jadi untuk memesan tiket bus kita harus langsung ke terminal, dan untuk amannya tiket kami beli sehari sebelum berangkat. Kami sampai loket terminal sekitar pukul setengah delapan malam dan masih ada counter yang buka. Kita langsung beli tiket pulang-pergi.  
Harganya lumatan mahal untuk perjalanan 4 jam kalau dibandingkan dengan operator bus
di Eropa seperti Flixbus atau Student Agency. Tapi tak ada pilihan lain selain Kereta yang justru lebih mahal.
Kami mengambil jadwal pukul satu siang, sehingga pagi nya kita bisa hunting sakura lagi di Yeouido sebelum check out dari hostel. Di terminal kami pun saya sempat makan siang di Lotteria dengan menu Shrimp burger. 


Where we stay

Kami kesemsem sekali sama Dorandoran Guesthouse yang ada di foto. Tapi apa daya, tarif menginap di sana permalam yang hampir mencapai satu juta untuk berdua sangatlah out of budget. Jadi kami mencari alternatif penginapan lain yang masih dekat dengan pusat historikal Gyeongju dan memiliki karakteristik arsitektur yang sama, yaitu penginapan model Hanok, rumah tradisional Korea. Lokasinya berada di Hwangnam, lebih dekat dengan Gyeongju Express Bus Terminal. Dari AirBnb kami bisa dapat 500 ribu permalam untuk berdua. Kami tinggal di Gyeongju selama empat hari tiga malam, dengan fokus jelajah kota selama dua hari. 

What we do

Gyeongju adalah kota terbesar kedua setelah Andong yang berada di sebelah tenggara provinsi Gyeongsang. Kota ini dulunya adalah ibu kota kuno Dinasti Silla, sebelum Dinasti Joseon, yang sering kita dengar di drama-drama kolosal Korea. Berada di Gyeongju serasa lagi time traveling ke zaman old. Saking banyaknya situs bersejarah yang tersebar, kota ini sering disebut sebagai "The museums without walls". Kita jalan-jalan saja di sekitar kota nanti pasti ketemu banyak gundukan seperti bukit-bukit kecil yang sebetulnya adalah makam para raja kala itu dan keturunannya.

Salah satu ruang audio visual yang ada di setiap spot turis.  

Melihat dan mempelajari situs makam bersejarah


Sejujurnya saya bukan pecinta sejarah, apalagi pelajaran sejarah di sekolah selalu membuat saya mengulang. Pelajaran nya di kelas pun selalu membuat saya mengantuk. Lalu apakah Gyeongju ini membosankan? Sama sekali enggak, karena pemerintah kota membuat situs bersejarah ini menyenangkan untuk ditelusuri. Jadi sebelum buru-buru eksplor, foto-foto dan muter-muter situs, kita bisa mampir ke ruang audio visual penayangan film pendek atau presentasi cerita dari setiap situs. Karena kalau disuruh baca brosur pasti aku ngantuk, kalau nonton kan kita jadi lebih dimanjakan apalagi biasanya ruang audio visualnya ada heaternya ditambah free wifi, betah deh sambil nunggu hujan.

Cheomseomdae, Observatorium astronomi tertua yang ada di Asia.
Selain makam para raja, situs bersejarah yang dapat kita kunjungi adalah Cheongseomdae, Donggung Palace & Wolji Pond, Daereungwon, Bulguksa temple, Seokguram grotto, dan Yangdong Village. Saya hanya mampir ke dua situs pertama karena faktor hujan, sehingga kita lebih banyak ngabisin waktu di penginapan.

Dinding Daereungwon yang berbatasan dengan Hwangnam, area lokasi kami menginap.
Donggung Palace, best time to visit sebenernya sore menjelang malam karena ada iluminasinya
Wolji Pond


Berkeliling Desa Gyochon

Sebelum ke Gyochon, akan lebih baik berkunjung ke Bukchon Hanok Village yang di Seoul terlebih dahulu karena yang ada di Gyeongju ini betulan ketjeh dan suasana desa yang kerasa tradisional sekali. Kalau terbalik kayak kita (ke Gyochon dulu baru ke Bukchon), nanti jadi agak sedikit kecewa karena yang di Bukchon ngga ada apa-apa nya, hehehe.

Atap dan dinding pagar khas arsitektur Korea di setiap sudut Gyochon
Semua sudut Gyochon bagus banget untuk dijadikan background foto.
Di sini banyak turis yang rela menahan dingin memakai hanbok untuk berfoto.
Woljeonggyo Temporary Bridge yang ada di penghujung Desa Gyochon
Gyochon, menurut legenda cerita rakyat, adalah area tyang pada mulanya dimiliki oleh salah satu bangsawan kaya yaitu klan Choi yang terkenal murah hati. Hingga saat ini rumah tempat tinggal Mr. Choi masih dilestarikan, disekitarnya ada tempat pembuatan wine, dan beberapa restoran dan kafe-kafe. 



Bersepeda keliling Kota


Kontur jalan yang datar di Gyeongju memudahkan kita untuk mengeksplor tiap sudut kota menggunakan sepeda. Jika dibandingkan menggunakan bus yang tarifnya bekisar 1.100-1.300 won sekali pakai, menggunakan sepeda lumayan mengirit biaya transportasi. Selain itu alternatif lain adalah taksi. Biaya sewa sepeda selama sehari 10.000 won sampai pukul 7 malam, kami menyewa di sekitar area parkir mobil/bus di depan Daereungwon. Cukup berjalan kaki dari tempat kami menginap. 

Kalau matahari terik gini asik banget ngegowes, tapi kalau udah ujan ya wassalam


Marathon dan Musim Semi


Tahun ini tanggal 6 April adalah acara tahunan Gyeongju Cherry Marathon dan menjadi salah satu alasan kita untuk mengejar mekarnya bunga sakura. Tapi sayangnya sekitar 2-3 hari sebelum kami tiba adalah hari-hari terakhir mereka sebelum gugur karena hujan dan angin (kami baru tiba tanggal 8 April). Sedih sih, tapi  tak membuat kami kecewa. Ini juga kali pertama kami melihat rain petals. Kelopak bunga sakura berjatuhan tertiup angin. 

Cherry blossoms di Bomun Lake
Piknik di bawah pohon, satu-satu nya yang masih mekar di pinggir danau.



Berbelanja di Pasar Jungang


Nggak masuk ke itinerary kita sih, jadi ceritanya saya bertemu dengan teman seperjalanan di bus dari Seoul ke Gyeongju. Waktu itu kita pun cuma tukeran snacks aja di bus, karena posisi duduk kita belakang-belakangan. Tapi karena begitu kecil nya kota ini ya, kita bisa ketemu lagi tak sengaja di gerbang masuk Wolji Pond. Berhubung kita sama-sama mau kembali ke pusat kota, kami jadi jalan kaki bareng sambil ngobrol yang tak terasa mungkin ada 4 kilometer. Dan gara-gara ngebahas soal  permen gingseng, saya pun jadi tertarik untuk mampir ke pasar. Jadi si bapak, yang belakangan saya baru ketahui namanya, udah jalan-jalan ke pasar hari sebelumnya dan menemukan gingseng yang katanya harganya jauh lebih murah dari di Seoul. Saya pun minta anterin, karena sepertinya ngga akan ada waktu lagi jalan-jalan apalagi harus masuk pasar. 

Toko nya ada diujung sana.
Salah satu kafe di Gyochon
Nongkrong cantik di Gyochon atau Hwangnam

Ternyata banyak kafe yang imut yang bikin gemes tersebar di area Hwangnam dan Gyochon. Berhubung saya terlalu asyik muter-muter jalan kaki di sepanjang pusat kota, saya jadi ngga sempat menyusul Hana yang lagi asyik juga menikmati coklat panas di kafe, karena hari sudah mau magrib dan kami harus balik ke penginapan karena sulit mencari tempat sholat. Jadi postingan tentang salah satu kafe yang unyu di Gyeongju bisa dibaca di postingan Hana

Kafe-kafe yang ada di Hwangnam.
Foto terakhir toko kamera ^_^

What we eat

Hujan terus selama dua hari kami tinggal di Gyeongju membuat kami hanya sempat satu kali makan mewah di sini. Nama restorannya Sukyeong Sikdang dan menu terbaiknya adalah Bibimbap. Mereka adalah restoran vegetarian jadi di bibimbap nya tidak ada daging sama sekali. Tapi tetap ada ikan goreang nya yang gurih banget. Banchan (sidedish) nya banyak banget dan saya enggak tau harus menyebut mereka apa. Pokoknya cukup membuat kami kekenyangan dan bisa tidur nyenyak malamnya, setelah jetlag dan perjalanan panjang dari Seoul. 

Yang membuat beda dengan bibimbap biasanya adalah jenis nasi nya.
Mereka menggunakan Barley Rice.
Oiya, Gyeongju terkenal khas oleh-olehnya adalah Roti Kacang Merah, yang menurut saya mirip-mirip sama bakpia Jogja. Roti ini saking terkenalnya sampai banyak toko-toko yang menirunya. Tadinya saya mau beli sekotak buat cemilan atau nemenin sarapan sambil ngeteh, eh ternyata harganya mahal pisan, sebiji nya 2.000 won atau sekitar 26.000 rupiah di mana kalau di Jogja bisa dapet sekotak kalo beli di malioboro!

Dinginnya malam hari di Gyeongju (malam itu 8-9 derajat celcius) makan ini panas-panas enak banget.
Tapi sayang harganya enggak make sense untuk ukuran yang sekecil ini.

Dari total empat hari kami tinggal di Gyeongju, dua hari menjelajah kota kami didera hujan. Jadi waktu kami banyak habiskan di penginapan, yang mana akan saya lanjut di tulisan berikutnya. 있다 봐!

Gagal mau foto sama sakura di Gyeongju, jadi foto sama temboknya aja.

No comments

Post a Comment