Berenang Bersama Manta di Nusa Ceningan

Jul 25, 2022


Selama dua setengah tahun pandemi, saya beberapa kali berwisata singkat seperti menginap di Cemoro Lawang Bromo dan bolak-balik ke Bandung. Tapi baru kemarin saya merasakan nikmatnya perjalanan seperti di tempat asing. Selama sebulan tinggal di Bali, saya dan Bre melakukan trip singkat selama 5 hari ke Nusa Ceningan dan Nusa Penida, meskipun pada awalnya kami berniat untuk ke Gili Trawangan, Lombok. Alasannya karena saya dan Bre sudah sama-sama pernah ke Gili Trawangan, jadi kenapa kita nggak nyoba ke tempat yang belum pernah aja. 

6 Juni 2022

Pagi-pagi Bre ke tempat laundry express 3 jam yang sudah jadi langganan (meskipun kenyataannya 6-7 jam baru selesai). Karena baju yang kami bawa dari Jakarta tidak banyak, jadi tiap 3-4 hari sekali kami ke laundry. Jadi malam sebelum berangkat saya baru packing, sekaligus memesan tiket kapal penyebrangan dari Sanur ke Lembongan dan penginapan selama dua malam di Ceningan. Saya baru pesan tiket kapal berangkat saja karena tidak menyusun rencana yang pasti. Takut nanti berubah pikiran dan ingin extends di Ceningan. Saya memesan tiket ke Kak Anita, salah satu petugas operator kapal di Sanur. Saya dibantu untuk memilih jam keberangkatan, nanti baru dipilihkan kapal yang sesuai dengan jadwal yang dipilih. Tidak ada sistem transfer, jadi kita tinggal datang saja ke loket dan langsung bayar di tempat. Sebetulnya tanpa dibantu Kak Anita pun kita bisa go show, beli tiket langsung ke loket di hari H karena operator kapal yang tersedia juga banyak. Loket berjejer tepat di depan pantai pelabuhan.

7 Juni 2022

Pelabuhan terdekat ke Nusa Lembongan dan Penida ada di pantai Sanur, lokasinya dekat dengan Warung Mak Beng Sanur. Ceningan ini pulaunya paling kecil dibanding Lembongan dan Penida, namun bisa diakses melalui jembatan penyebrangan dari Lembongan. Jadi jika ingin ke Ceningan, bisa memesan tiket penyebrangan ke Lembongan. Nanti di Lembongan ada 2 pelabuhan, yaitu Mushroom Bay dan Jungut Batu. Pelabuhan Mushroom Bay lebih kecil dan lebih dekat ke Ceningan.

Tempat parkir menginap di Pantai Sanur
Foto kanan bawah: Loket kapal penyebrangan ke Lembongan dan Penida

Kami memesan kapal dengan jadwal keberangkatan pukul 9:30. Dari kosan kami berangkat menuju gerbang hotel Grand Inna Sanur untuk memarkir inap kendaraan. Namun ternyata di sana sedang ada proyek konstruksi. Saat putar balik, tiba-tiba kami ditawari untuk parkir inap tidak resmi seharga 200 ribu rupiah untuk 4 malam. Saya coba tawar tapi tidak bisa, kami pun langsung menuju ke Swalayan tepat di samping gerbang masuk pantai Sanur. Di sana bisa parkir resmi dengan tarif yang sama 50 ribu rupiah per malam, jadi tinggal dikali aja. Sebetulnya sama saja sih, tapi setidaknya di sini resmi. Rasanya bayar mahal pun jadi lebih ikhlas.

Suasana di dalam kapal

Kami sampai loket pukul 9:15 dan diberi boarding pass yang mirip lanyard mba-mbak SCBD. Oiya sesaat sebelum menaiki kapal, kita diharuskan menitipkan sandal. Jadi masuk kapal kita harus nyeker, katanya biar ga licin sih. Saya awalnya sempat ragu, karena baru sebulan operasi pasang pen di jari kaki. Saya pun ditawari untuk digendong pas nyebrang, nggak deh. Oiya di Sanur nggak ada dermaga yang proper untuk kapal-kapal kecil ini, jadi siap-siap angkat celana saat naik kapal. Saya sendiri sudah pakai celana renang jadi aman. Hehe. Penyebrangan memakan waktu sekitar 40 menit.

Mushroom Bay dengan latar Gunung Agung

Sampai di Mushroom Bay kami langsung diikuti beberapa orang yang menawarkan sewa motor. Lumayan bikin risih, karena saya masih kepingin duduk santai. Rasanya jadi kayak diikutin calo. Sambil jalan menjauhi arah pelabuhan kami beberapa kali ditanya sambil diikuti, "Mau cari apa kak? " Ya saya jawab saya mau cari tempat makan, laper. "Oh restoran udah nggak ada lagi. " Memang setelah pelabuhan lumayan sepi jalanan gang kosong. Tapi setelah sekitar 30-40 meter, mulai ada keramaian, berjejer sepanjang jalan hotel dan restoran kecil. Saya pun random berhenti di salah satu restoran yang juga menyewakan motor. Kami menyewa motor seharga 75 ribu rupiah per hari.


Yellow Bridge


Jembatan penghubung Lembongan dan Ceningan

Cuaca sangat cerah, kami berdua motoran membelah pulau Nusa Lembongan, lalu menyebrangi jembatan kuning yang ikonik menuju Nusa Ceningan. Rasanya saya ingin berhenti terus foto-foto tapi akhirnya urung karena rempong gendong dua tas gede di motor. 


Sedikit intermeso saya mau cerita tentang jembatan ini. Saat ada upacara keagamaan di tahun 2016 lalu, jembatan ini ambruk sekitar pukul 18:30 WITA. Musibah ini terjadi diduga karena menampung beban orang yang melampaui batas. 8 orang tewas dan puluhan luka-luka. Mbak Ryan, host saya di penginapan bercerita, sebelum jembatan yang baru dibangun, ia harus bolak-balik setiap hari menggunakan kapal untuk menyebrang ke Lembongan karena ia sekolah di sana. "Saya sampai punya 2 motor, satu untuk di Ceningan, satu untuk di Lembongan. Oiya dulu juga warnanya kuning, nggak tahu kenapa sekarang jadi kuning lagi. " 

Foto kiri: Depan jembatan, sebaiknya jangan swafoto di sini
Foto kanan: di samping C'Betz Chicken. Foto di hari terakhir sebelum meninggalkan Ceningan

Kalau mau foto di jembatan ini saya sebaiknya dari bawah saja, karena kalau kita foto di jembatan akan menggangu lalu lintas antar dua pulau. Soalnya pernah lihat grup turis ramai pada foto-foto sampai bikin macet. Padahal tinggal turun saja jalan kaki ke arah samping warung ayam goreng atau ke tempat kapal-kapal penyebrangan ke Penida.  


Wooden Beach Sunset Cottages 


Honeymoon lagi

Sampai di penginapan kami berjumpa langsung dengan Pak Made, pemilik Wooden Beach Sunset Cottages. Auranya seperti bapak-bapak tetangga samping rumah yang sangat ramah menyapa tiap pagi. Kami mengobrol sebentar lalu check in. 

Selain AC dan water heater yang berfungsi, jemuran di teras jadi poin plus buat saya.
Kettle listrik ini juga kepake banget kalau mau bikin jahe anget tiap malem.

Saya nggak berharap banyak penginapan seharga 230 ribu per malam ini. Namun ternyata yang saya dapatkan di luar ekspektasi, serasa menginap di cottage seharga 700 ribu - 1 jtan per malam. Kamar yang saya sewa ini menghadap langsung ke laut lepas, ke ladang rumput laut dan pemandangan pulau Lembongan. Jumlah kamar di cottage ini hanya ada 6, 2 sea view dan sisanya ada di samping saling berhadapan.

Sarapan pagi sambil ngopi di sini

Saya sudah menandai penginapan ini seminggu sebelumnya di Google Map. Sempat bingung karena banyaknya pilihan penginapan di sini. Tapi mungkin seperti jodoh ya, kalau sudah takdir tidak akan kemana. Yang bikin betah, selain fasilitasnya yang lumayan oke, saya sampai akrab dengan semua penghuni di sini termasuk tamu-tamunya. 

Setelah istirahat sebentar di kamar, saya dan Bre keluar mencari makan siang sekaligus operator snorkeling. Kami berencana untuk snorkeling di hari ke dua di Ceningan. Sudah niat sampai bawa alat lengkap masker, snorkeling dan fin lho dari Jakarta. Sebenarnya Pak Made mau bantu cari, tapi kalau kita mau sendiri juga gapapa. Saya sudah dapat info dari seminggu lalu, salah satu operator memberikan harga 300 ribu per orang di mana satu boat berisi 12 orang. Saya masih penasaran, jadi kami coba cari go show di Lembongan, dekat Mushroom Bay. 

Ada satu operator yang cukup bagus, harga oke tapi si pemiliknya jutek. Namun ketika ada bule bertanya, perlakuannya beda. "Coba aja cari operator lain kak, nggak akan ada yang ngasih harga di bawah 500 ribu satu kapal private. " Saya cukup tersinggung jadi saya coba ke operator di sebelahnya, di mana saya tadi menyewa motor. Nama pemiliknya Pak Adi, kami diajak duduk di kursi sambil ngobrol santai. Wuih beda banget treatment nya, yang tadi aja kita ngomong sambil berdiri sampai pegal, boro-boro ditawarin duduk. "400 ribu saja private satu kapal selama 3 jam. " Kata Pak Adi. Langsung deh deal. Soalnya saya pernah nanya ke operator lain ada yang 750 ribu sampai 1 jutaan per kapal.


Blue Lagoon


Men, cuma di Bali tempat wisata tersembunyi gini aja ada beach club nya.

Setelah beres urusan booking kapal snorkeling, kami berencana menghabiskan sore ke Blue Lagoon yang lokasinya hanya berjarak 1 kilometer dari penginapan. Cukup dekat sih tapi lumayan membingungkan. Tidak ada plang bertuliskan Blue Lagoon. Apakah situs wisata ini benar-benar tersembunyi? Saya sampai kepikiran itu. 

Pintu masuk ke Klyf Club Blue Lagoon

Setelah bolak-balik di titik yang ada di Google Maps, saya memberanikan diri bertanya ke orang yang tampaknya sedang merapikan parkiran motor di sebrang sebuah beach club. Ternyata akses ke Blue Lagoon ini melalui beach club yang cukup keren, namanya Klyf. Saya pun sangsi, bayar nggak ya? wkwkwk males banget kalau ada minimum order gitu kayak di beach clubs di Seminyak.

Dari info petugas tadi yang adalah seorang operator tour, kita diperbolehkan masuk melalui beach club, nanti tinggal belok kiri saja kalau mau lihat-lihat. Boleh kok foto-foto juga. Kami pun mengikuti sarannya. Dan ternyata betul, bebas keluar masuk. Seperti kata Mbak Ryan, semua pantai di Nusa Ceningan dan Lembongan ini gratis masuknya, meskipun ada beach club nya. 

    
Pintu masuk jalur resmi ke Blue Lagoon

Foto kanan atas: Jalan masuk ke Blue Lagoon melalui beach club
Foto kanan bawah: View Blue Lagoon dari jalur resmi

Keluar dari Klyf Club, saya pun menemukan pintu asli ke Blue Lagoon yang ternyata kebun tak terawat yang cukup luas. Selain Blue Lagoon, dari sana kita melihat tebing-tebing lain di mana ada warga lokal sedang mancing. Karena kebun ini lebih mirip semak belukar, kami memutuskan untuk kembali penginapan dan menghabiskan sunset di sana.


8 Juni 2022

Dah nggak sabar mau snorkeling hari itu. Kami sampai niat betul membawa perlengkapan snorkeling lengkap dari Jakarta. Sebenernya tanpa bawa pun bisa, karena harga 400 ribu itu sudah include alat snorkeling. Tapi nyelem sudah menjadi hobi semenjak bisa bereneng, jadi saya lebih suka bawa sendiri (meskipun merepotkan) karena lebih nyaman digunakannya.

Crew kapal mengejar manta
Kiri: Saya yang menggendong fins
Kanan: Foto bapak-bapak out-of-focus karena dari atas kapal

Berenang Bersama Manta Ray

Dari awal berniat snorkeling, tujuan kami ya nyemplung. Nggak ngarep yang aneh-aneh seperti berenang bersama penyu di Gili Trawangan. Ya pokoknya snorkeling aja lah. Makanya waktu diajak ke spot manta oleh Pak Nahkoda (saya lupa namanya hehe), kami nurut saja. Padahal ombaknya sangat besar, saya berkali-kali pegangan ke tiang kapal karena sapuan ombaknya. Kapal yang kami tumpangi ini namanya jukung, ukurannya lebih kecil dari boat. Jukung adalah perahu nelayan tradisional yang memiliki cadik, bambu atau kayu yang dipasang di kanan-kiri perahu seperti sayap. Sedangkan orang pulau menyebut boat adalah kapal mesin yang dapat bergerak lebih lincah dan cepat dibanding jukung.

Lihat gambar pojok kanan bawah, dua orang berenang menggunakan pelampung hijau. 
Terlihat dari atas mereka terombang-ambing. Lokasi Broken Beach.

Perjalanan menuju spot manta memakan waktu 1 jam, lumayan jauh karena terletak di bawah Pulau Nusa Penida. Lokasi ini letaknya tepat di depan Broken Beach. Saya meminta Pak Nahkoda untuk mendekati kapal dari grup lain, karena saya takut kalau harus menyelam berduaan saja dengan Bre. Lautnya biru pekat dan gelap, langit juga mendung sehingga dari atas kapal tidak terlihat dasarnya. Saat kami nyemplung, nothing.. Nggak ada apa-apa di bawah laut. Kami terombang-ambing karena ombak yang besar. Ini pun jadi pengalaman pertama saya snorkeling dalam keadaan gelisah. Mungkin sekitar setelah 5 menit kami diteriaki oleh nahkoda lain, "Ada manta di sini, ada manta di sini!". Kami disuruh bergegas naik lagi ke kapal untuk pindah posisi ke spot itu, karena kalau berenang saja tidak akan bisa melawan ombak. Pak Nahkoda kami pun buru-buru menyalakan mesin kapal sambil meneriaki kami. "Pakai alatnya, stand by, jadi bisa langsung turun."

Sumber foto: https://www.journeyera.com/snorkeling-manta-rays-nusa-penida-bali/

Kami berdua nyemplung, sambil nengok kanan-kiri depan-belakang. Lalu muncullah makhluk hitam pekat dan sangat lebar itu berenang dengan santainya di bawah. Lalu ia naik dan mengelilingi kami. Saat sedang fokus memandangi satu manta itu, tiba-tiba dari sebelah kiri saya muncul manta lain. Ternyata tidak hanya 1 ekor, ada lebih dari 5 ekor manta yang berenang mengelilingi kami. Jantung saya berdebar kencang, karena saya ingat Steve Irwin meninggal karena diantup ikan pari. Saya beranggapan manta dan ikan pari itu hewan laut yang sama. Setiap ada penampakan manta, saya diam nggak bergerak karena takut. Tapi ciptaan Allah ini indah sekali. Saking indahnya, saya sampai pasrah. 

Kami menikmati pemandangan tak biasa ini mungkin sekitar 15-20 menit. Beberapa wisatawan lain pun sibuk pasang gaya difoto oleh guide. Dalam hati saya berkata, orang-orang ini berani banget sih, ukuran manta itu bisa sampai 5 meter loh. Saya aja pegangan Bre terus, biar kalau ada manta tiba-tiba mendekat, saya langsung menariknya untuk jadi tameng. Akhirnya sekumpulan manta itu menghilang, kami kembali ke kapal. 

Saya tidak akan atau lebih tepatnya tidak bisa menunjukan foto-foto manta atau bersama manta hasil jepretan saya, karena saya tidak membawa kamera underwater. Selain itu, paket trip sewa satu kapal ini ternyata juga tidak include jasa foto. Mungkin karena saking murahnya ya. Wkwk. Tapi tenang saja, semua memori itu sudah tersimpan di kepala saya dan juga di blog ini (kalau-kalau nanti lupa).

Puyung Beach

Setelah dari manta point kami dibawa ke spot berikutnya yaitu Puyung Beach dan terakhir ke Crystal Bay. Pemandangan bawah lautnya tidak jauh beda dengan spot-spot snorkeling di Kepulauan Seribu. Saya dan Bre berani snorkeling sendiri-sendiri di sini, tidak ada grup lain. Langit sangat cerah dan ombak juga lumayan agak tenang. Kami kembali ke Mushroom beach lalu langsung mencari makan siang. Sepanjang jalan hingga warteg, saya tak henti-hentinya membahas pengalaman snorkeling tadi. 

"Beneran dah, gue tuh nggak kepikiran bakal berenang sama manta. Makanya gue ga bawa kamera dan nggak nanya Pak Adi juga dapet dokumentasi apa nggak."

"Padahal kita kan rencananya ke Gili ya, kenapa kita jadi terdampar di sini. Bisa berenang ama manta lagi."

"Pengalaman snorkeling terbaik gue tuh pas di red beach flores, sekarang tergantikan dengan pengalaman snorkeling sama manta ini."

"Et dah nyesel banget nggak beli kamera underwater beneran. Yang Yi Cam di rumah kayaknya rusak deh. Males juga makenya, nggak enak."

"Mantanya tuh gede banget ga sih. Apa karena efek di dalem air laut ya yang katanya objek jadi lebih gede dari ukuran asli." 

Saya jadi kebanyakan kayak ngomong sendiri karena Bre cuma senyum-senyum saja.


Devil's tears dan Dream Beach



Setelah bersih-bersih di penginapan, kami beristirahat sebentar. Karena setelah renang badan rasanya abis dan butuh recharge. Setelah ashar baru kami eksplor jalan-jalan santai ke Pulau Lembongan. Pertama kami ke Devil's Tears, panorama sapuan ombak besar ke tebing batu karang. Saya dikirimi video yang cukup keren oleh seorang teman mengenai tempat ini. Tapi saat saya sampai, biasa saja. Ada beberapa kali semburan seperti campuran air dan asap putih yang keluar. Mungkin di kepala saya waktu itu masih terngiang momen berenang dengan manta. 


Selain itu yang saya paling ingat adalah mas-mas yang warna baju dan gerobaknya sangat matching ini. Abang bakso yang super akrab sama semua orang yang lewat. "Yo yo meatball only twenty twenty rupiah. Please try it's delicious." Waktu saya bayar sih cuma 15 ribu, tapi kalau sama bule jadi 20 ribu, hehe.

Dream Beach Bali No. 2


Dream Beach dari atas

Saya menyebutnya no. 2 karena yang no. 1 ada di Uluwatu. Lokasinya ternyata persis di sebelah Devil's Tears. Jadi tempat parkir ke kedua area wisata ini jadi satu. Saya awalnya jalan-jalan memutar karena ternyata pas ke Devil's Tears saya parkir sembarangan di deket tukang bakso. 

Di pantai ini kami hanya leyeh-leyeh di tikar yang saya gelar langsung menghadap pantai. Kalau saja sebelumnya kami tidak snorkeling, pasti kami sudah main ombak di sini. Sayangnya badan rasanya sudah rentek, habis, melawan ombak di selatan pulau Nusa Penida. Itu pun hanya sebentar, karena makin sore air makin pasang, sehingga tempat kami duduk lama-lama tersapu ombak. Kami pun mencoba mencari spot pantai lain untuk menikmati sunset. Kami pun tersesat ke antah berantah, makin jauh makin sepi, kanan-kiri hanya semak belukar. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk ke daerah Jungut Batu saja. Di tengah jalan tentu saja sudah gelap. Kondisi jalan sangat mulus, berbeda sekali saat kami tersesat tadi. Di pelabuhan Jungut Batu kami duduk di bangku-bangku warung yang sudah tutup. Melihat sisa semburat jingga yang makin lama makin menghilang. 


9 Juni 2022

Hari terakhir di Ceningan. Sebelum check out, rencananya kita mau leyeh-leyeh saja di salah satu beach club yang masih satu garis pantai dengan penginapan kami. Akhirnya ngerasain juga nongkrong di beach club. 

Sea Breeze Ceningan



Saat kami sampai, sekitar pukul 9 pagi, ternyata hanya ada kami berdua (dan para karyawannya). Entah apa mungkin kami tamu pertama. Saya sampai bingung memilih tempat untuk bersantai. Kelihatannya dari luar restoran ini kecil, namun ternyata di dalam lumayan luas areanya. 


Setelah menyeruput kopi, Bre langsung nyebur. Dari pada bengong atau main hape, saya mengingat-ingat cerita kemarin sambil menulis catatan perjalanan di buku. Semalam, saya ngobrol seru dengan Pak Made dan Mbak Ryan. Rasanya pengen extends di penginapan ini. Sayangnya kamar yang saya tempati sudah booked. Mas-mas dari Perancis yang juga ngobrol bareng kita pun dia tinggal 2 minggu di penginapan ini. Mbak-mbak dari Belanda yang tinggal di sebelah kamar saya juga cerita, selama 5 hari tinggal di Ceningan dia merasa damai, setelah sebelumnya seminggu juga healing di Sidemen.

Kami berdua baru bisa bilang begitu nanti setelah menjelajah Nusa Penida, yang nanti saya akan lanjutkan lagi di tulisan berikutnya. Oiya satu lagi saya mau cerita. Jadi saat pandemi, pulau ini betul-betul mati karena memang mata pencaharian utama warga Pulau Lembongan dan Ceningan adalah sektor pariwisata. Untuk bertahan hidup mereka beralih ke mata pencaharian mereka dulu, yaitu menajdi petani rumput laut. Saat mengobrol dengan Pak Made, saya langsung dejavu. Ternyata dahulu kala saya pernah menonton dokumenter di layar kaca tentang para petani rumput laut ini. Oalah ternyata yang dulu saya tonton adalah ladang rumput laut di antara pulau Lembongan dan Ceningan. Mungkin seperti jodoh, saya dibawa ke tempat ini. 

Berikut adalah foto ladang rumput laut yang sangat terlihat jelas (kotak-kotak hitam itu adalah rumput laut). Nampak dari sebrang adalah pulau Ceningan.

Penginapan kami di sekitar rumah dengan genteng warna oranye di sebelah kanan.
Setiap kali melewati pemandangan ini saya senang sekali.
Jalanan ini sering kami lewati saat menyebrang ke pulau Lembongan.


No comments

Post a Comment