Jawa Barat


Yahoo— akhirnya nyempetin jalan-jalan meskipun singkat dua hari satu malam, ke kota sebelah Jakarta yang hanya ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam. Awalnya saya dan Bre berencana ke Bandung atau Cirebon. Melihat kondisi saya yang kurang fit pasca kontrol ke dokter kandungan, kamipun merubah haluan ke Bogor. Sehari sebelumnya saya langsung memesan satu kamar di Swiss Belinn Bogor.


Sebetulnya saya masih punya PR menulis cerita pengalaman camping di Pasir Reungit untuk melanjutkan cerita perjalanan ke Kawah Ratu sekitar empat bulan silam. Tapi mumpung masih hangat, kali ini saya ingin langsung menulis pengalaman camping lusa lalu ke Ranca Upas, bumi perkemahan di daerah Ciwidey, Kabupaten Bandung. Rencana berkemah ini sudah saya cetuskan sebulan yang lalu, setelah menahan diri untuk tetap di rumah sampai menunggu kelar vaksin kedua di pertengahan bulan September. Awalnya kami berencana kemah di Gunung Kencana, yang lokasinya satu kawasan dengan Telaga Saat dan Telaga Warna di Cisarua Bogor. Sekitar seminggu sebelum berangkat kami dapat info kalau trek ke sana biasa saja. Lalu entah kenapa saat itu saya langsung teringat dengan Ranca Upas.


It's been a tough year for all of us. Especially for someone who likes to go outside and explores around. I talked about my self of course. But now I will tell you a story of my last trip with my little brother, Nibras, the boy I adore so much. My sisters and I called him Ibas since he was born because his name is uncommon, and it is easier to call him Ibas.  


Seminggu lalu saya menyuruh Bre mengambil cuti satu hari kerja di minggu pertama April. Kami berencana pelesiran ke luar kota yang tidak jauh dari Jakarta. Nggak ada tujuan khusus sih, yang penting keluar rumah. Pernah terpikir untuk ke Sukabumi, piknik lucu di depan danau Situ Gunung. Tapi saya sudah tiga kali ke sana. 

(Sumber Foto: Situ Gunung Suspension Bridge)
Naik kereta api Tut..tut..tut. 2 jam perjalanan menggunakan Kereta Api Pangrango dari Stasiun Paledang Bogor menuju Stasiun Sukabumi. Kenapa Sukabumi?

Ceritanya hanya obrolan iseng di suatu kedai kopi di Jakarta, tempat kita biasa kopdar impulsif di sela-sela waktu setelah pulang kerja. Sudah beberapa kali kami melakukan perjalanan sendiri-sendiri dan kadang jadi kangen pengen jalan-jalan bareng. Jadi kemana kita sehabis ini? Trip yang murah meriah yuk karena budget trip tahun ini sudah mulai habis. Tercetuslah jalan-jalan ke Purwakarta, naik gunung Lembu dan rekreasi di sekitaran waduk Jatiluhur. Hari H minus seminggu, ternyata ada yang labil ngajakin ke Loji. Apaan tuh Loji, saya googling gambar yang muncul rata-rata pohon pinus dan jembatan. Bagus sih. Kami pun di grup whatsapp yang menamakan diri "Kapan kita kemana" yang ngga pernah ganti nama sejak setahun lalu dibentuk ini pun jadi galau. Sampai H minus sehari, kami masih labil dan akhirnya memutuskan untuk ke Loji. Kita piknik-piknik cantik aja karena lagi males naik-naik gunung.

Loji, perpaduan lebatnya hutan pinus dan eloknya canopy


Habis badai terbitlah terang

Bagaimana jadinya jika sebuah celetukan iseng ajakan untuk ODT (bahasa gaulnya buat one day trip) ke Gunung Batu betulan terjadi esoknya? Yap! Meskipun hujan mengguyur Jakarta sejak semalam dan awan gelap masih menyelimuti langit, kami rela bangun pagi di hari Sabtu yang dingin. Memang dua jam sebelum waktu ketemuan, beberapa sempat ada yang gundah bakal berangkat atau tidak. Tapi salah seorang pemicu trip ini kekeuh  berangkat meskipun menggunakan jas hujan. Akhirnya dari yang tadinya cuma berempat kami jadi berdelapan berangkat dengan menggunakan kendaraan roda dua. Dengan kostum lengkap menggunakan jas hujan.

Kami sampai di lapangan parkir Gunung Batu yang ada di Jalan Wanajaya sekitar pukul setengah satu siang. Tentu saja rasa lapar sudah melanda kami, langsung tanpa aba-aba kami mendatangi warung makan yang ada di pinggir jalan. Setelah makan siang, kami menuju masjid yang letaknya tidak jauh dari tempat parkir sembari bersiap-siap untuk trekking.


Hujan-hujan begini, mending tidur dirumah selimutan atau nonton film Korea sambil nyemil.

Begitulah yang ada dalam benak pikiran saya, saat kami memulai perjalanan dan hujan mulai mengguyur lagi. Terpaksa kami trekking lengkap menggunakan jas hujan lagi. Fyuh, jangankan mengeluarkan kamera, kondisi jalanan yang becek dan berlumpur memaksa kita untuk tetap fokus berjalan kaki. Tapi perasaan gelisah karena kondisi yang kurang enak ini hilang sesaat dengan candaan dan keakraban kami yang pecah di antara hujan dan hutan. 

Foto kiri (courtesy Ferga): Geng jas ujan. Foto Kanan atas: Mejeng setelah tanjakan pertama.
Foto Kanan bawah: Tanah lapang lokasi nenda.


Kabut, hujan dan angin kencang.

Jalur trekking yang terus menanjak lumayan membuat kami ngos-ngosan. Sudah beberapa bulan kami tidak naik gunung, alhasil yang biasanya ke alfamart saja naik motor, hanya menanjak satu jam saja rasanya bikin dengkul lemes. Sampai di padang lapang tempat mendirikan tenda, kami memulai petualangan menanjak yang sebenarnya. Tali webbing dan baut yang sudah terpasang di batu menandakan kemiringan jalur yang akan kita lewati lebih dari 60 derajat dan kami perlu alat bantuan untuk melewatinya. 

Kami hadang segala rintang yang menerjang (Courtesy: Narawangsa)
Ada tiga jalur yang menggunakan tali dan kami harus satu persatu bergantian naik, tidak bisa berbarengan kecuali ada yang berani tanpa menggunakan tali (kami tidak ingin mengambil resiko). Sesaat setelah jalur pertama, awan hitam dari utara mulai bergerak kearah kami. Kami pun menghentikan langkah kami dan berlindung di alang-alang atau batu untuk menahan angin kencang dan hujan deras. 

Satu tim yang sudah naik duluan di tanjakan pertama adalah semua kecuali saya dan Brew. Saya sendiri karena punya penyakit takut ketinggan, menunda untuk naik ditanjakan terakhir sampai badai berhenti. Baru setelah hujan berhenti, kami beranikan diri untuk naik pelan-pelan dibantu kawan kami. Dan... Sampai puncak kabut masih menyelimuti. Kami pun hanya duduk-duduk bercengkerama sambil menunggu awan pergi. Meskipun awal perjalanan kami penuh rintangan, rupanya semesta tetap mendukung kami. Awan dan kabut yang menyelimuti langit mulai pergi, landskap yang terlihat dari puncak Gunung Batu jadi sangat jelas. Sungguh kuasa Tuhan, begitu indahnya pemandangan dari ketinggian 875mdpl ini.

Abaikan coretan yang ada di batu
Aku duluan turun kebawah, nanti kamu fotoin aku ya!

Foto terakhir di puncak Gunung Batu yang berselimut kabut

For your information
Jalur berangkat : Gramedia Depok - Jalan Juanda - Jalan Raya Bogor - Jalan Sentul Raya - Babakan Madang - Jalan Gunung Pancar - Jalan Desa - Jalan Wanajaya - Gunung Batu Jonggol
Jalur pulang : Gunung Batu Jonggol - Jalan Wanajaya - Jalan Gunung Batu - Jalan Selawangi - Jonggol - Cileungsi - Cibubur 


Kanan kiri hammock, mengapit tenda cinta ku yang unyu ^.^

Terakhir trip sama doi itu pas mudik ke kampung halaman di Malang. Terbang tinggi di atas Kota Batu sambil kulineran baso-basoan di Malang. Setelah nge-cek postingan di blog ternyata itupun trip terakhir di bulan Juli. Hampir dua bulan nggak kemana-mana, tiap weekend pun kami ngabisin waktu di rumah ngerjain proyek (programmers have no life). Rasanya kepala ini mau meledak, lagi butuh banget jalan-jalan. Kalo bahasa jerman nyebutnya fernweh -haus banget ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungin. Rencananya mau naik Gunung Papandayan tapi ternyata oh ternyata gunungnya baru kebakaran, hiks. 
Older Posts