Jawa Timur


Semenjak sering pulang kampung ke rumah mertua, mampir ke Bromo sudah menjadi ritual saya dan Bre tiap kali ke Malang. Jarak tempuh yang tidak sampai dua jam dan kondisi jalan yang cukup baik membuat kami tidak pernah bosan mengunjungi tempat ini. Tahun ini kami mengunjungi Bromo tiga kali! Pertama di bulan Januari kami menginap semalam di Dusun Cemoro Lawang. Lalu di awal bulan Juli kami berdua melakukan perjalanan singkat ke Cemoro Lawang untuk pertama kalinya bersama Pikachu. Dan yang ketiga bersama dengan keluarga Bre kami jalan-jalan ke view point di pintu masuk Bromo jalur Tumpang.


Menjelajah Sumba, sebuah pulau di timur Indonesia adalah impian saya sejak 9 tahun silam. Bisa berkuda di Sumba, rasanya mimpi banget. Ya memang masih mimpi sampai sekarang. Hehe. Tapi kali ini saya mendapat kesempatan naik kuda, untuk pertama kalinya. 

Setelah menghabiskan pagi di Seruni Point —menikmati Bromo dari ketinggian, kami berencana kembali ke Kota Malang melalui jalur Tumpang. Dari penginapan kami langsung menuju Gerbang Masuk Cemoro Lawang Bromo, di sini kita baru memperlihatkan lembar konfirmasi tiket yang sudah kita beli online beberapa hari sebelumnya, serta Surat Keterangan Sehat dari puskesmas. Dari gerbang ini sampai ke padang pasir Bromo ternyata sangat dekat. Ini sih kalau mau ke Bromo tinggal jalan kaki daripenginapan juga bisa sebenarnya. 


Tahun 2020 lalu yang terasa begitu cepat terlewati. Banyak perjuangan dan pengorbanan. Mengawali tahun ini saya dan Bre mendapat kesempatan untuk menyapa Bromo kembali. Semenjak 4 tahun silam mengunjungi Bromo, melihat Cemoro Lawang dari kejauhan, saya berkeinginan untuk menginap di Cemoro Lawang, sebuah desa di atas awan yang berada di lereng pegunungan Tengger. Akhirnya terwujud setelah melalui banyak pertimbangan karena kondisi pandemi yang membuat sangat rentan untuk berwisata. 


Menutup penghujung tahun 2020, saya dan Bre memutuskan untuk main ke Bumi Perkemahan Hutan Bedengan. Sudah satu bulan kami tinggal di Malang, keinginan untuk ngelencer (pelesiran) ke alam bebas pada akhir pekan begitu besar. 


Setelah bertahan hampir sembilan bulan di rumah saja, kami berdua akhirnya memutuskan untuk mudik ke Malang di minggu terakhir bulan November kemarin. Menghabisi akhir tahun di kota yang dinginnya membuatku memakai selimut saat tidur siang dan selalu pakai jumper di rumah. Setelah membeli tiket pesawat, saya cukup was-was menunggu hasil rapid test. Hamdalah, hasil nya non-reaktif. Kami berangkat pagi itu ke Bandara Soekarno Hatta, menggunakan pesawat Citilink (untuk menghabiskan sisa voucher refund). Sedikit ada drama karena lembar hasil rapid test Bre hilang saat kami check in. Untung ada scan nya di hp jadi masih bisa diurus di bagian validasi hasil test di bandara. 


"Sepertinya besok kita bakal trekking. Jadi kita musti beli sendal gunung nih." Celotehku malam itu sepulang halal-bihalal ke rumah teman SMA di daerah Dinoyo, Malang.  Kami langsung belok ke salah satu toko outdoor namanya Petualang. Dapat sepasang sendal gunung merk Outdoor favoritku, karena selain harganya murah, dipakainya awet dan eye catching. Dan aku suka karena warna nya merah muda.


Malang, kota tercinta. Tempat Bre dilahirkan dan dibesarkan hingga merantau ke Jakarta. Kota yang sekarang menjadi kota yang selalu bikin kangen karena sejuknya dan hangatnya keluarga. Sudah hampir satu tahun kami tidak pulang. Bre yang sudah jadi anak perantauan kembali pulang melepas kangen. Saya pun jadi ikutan kangen juga dengan Bromo.


Ceritanya nemenin adek ikut ujian mandiri di Universitas Brawijaya (yang akhirnya membuahkan hasil keterima, Alhamdulillah). Ceritanya mudik sekalian juga nemenin si adek jalan-jalan di Malang. Jujur aja udah puas banget hampir dua minggu di Malang, dari naik gunung, turun gunung ke kota, sampai ke pantai. Dari cwie mie, baso mercon, susu murni sampai roti maryam. Karena di hari-hari terakhir tinggal berdua sama si adek, setelah jam ujian kelar, tercetuslah ke Museum Angkut yang lokasinya tidak begitu jauh dari kampus Unibraw. 

Memori kamera cuma dua giga, udah sengaja dikosongin karena dari info Tante nya si doi yang emang hobi jalan-jalan kalau ke Museum Angkut siapin kamera sama memori gede. Di postingan ini saya bakal ekspos foto-foto selfie untuk menghibur diri saat baca-baca lagi tulisan dan foto-foto sendiri. Lebih tepatnya bakalan lebih banyak foto dari pada tulisan sih. Hahahaha.. Sebagai pembuka foto berikut adalah hasil kelelahan dari pagi kena macet dan kepenatan si adek setelah enam bulan intensif belajar dan kurang piknik.


"Tolong mbak kepala nya jangan miring." Kata petugas kelurahan.

Setelah kekenyangan makan di Bakso Damas, kami langsung bergegas menuju Batu. Jam menunjukan pukul 1 siang, matahari sedang begitu cerahnya. Menggunakan sepeda motor kira-kira setengah jam lewat jalur alternatif belakang kampus UMM. Meski terik, namun tidak begitu terasa karena udara sejuk Malang, salah satu yang bikin si adek pengen banget kuliah di sana. Untuk lokasi parkir, dari manajemen Museum Angkut sudah menyediakan parkir resmi yang tarifnya hanya dua ribu rupiah saja. Dari sana, kami langsung di suguhi banyak warung-warung makan yang ada diatas air!

Gerbang Pasar Apung, lebih kece dibanding bagian depan Museum Angkutnya sendiri

Pasar apung adalah salah satu objek di Museum Angkut yang biaya masuknya gratis. Dari lokasi parkir, pasar apung menjadi lintas masuk menuju Museum Angkut. 

Cuma di Pasar Apung si adek nggak mau narsis, katanya phobia air warna hijau

Si bro lagi di Jakarta, jadi fotonya sendiri ajah!


Dari Pasar Apung, kami langsung menuju loket untuk membeli tiket. Berhubung weekday jadi kami tidak perlu mengantri panjang. Setelah itu, kami tidak bisa berkata-kata lagi. Jeprat-jepret gaya ini gaya itu.. Tralalalala.. 

Udah cucok lah jd model foto


 Ahaai, sampe jogja bisa berubah jadi betis tukang becak


Foto-foto preweding di sini asik juga kali


Setelah merasa aneh dengan poster mbak-mbak dan mas-mas di pojok kanan,
baru ngeh pas diliat difoto kayak beneran di kantor pos


Watch out! Satenya gosong!


Capek motoin si Adek, foto di kaca yuk


"HELP MEEEE!"
Jalanan di Amerika jaman dulu
Asik ih kayak di manaaa gitu..


Abis dari Amerika belok Eropa!


Haa haa haa .. *Capek bikin caption


Mbak, mbak.. Kalau ngga beli jangan duduk situ.
Tempat ini sebenernya beneran cafe di dalam Museum Angkut

Aduh adeknya aja cantik gimana kakaknya
Gedubrak praaang brak!

Di beberapa spot dibuat ala Universal Studio, tiap bagian dari objek Museum Angkut merepresentasinkan beberapa belahan dunia seperti Eropa, Amerika, Inggris, China Town, Batavia dan Las Vegas. Tiap objek memiliki keunikan tersendiri, begitu juga dengan spot makan yang di design seperti di luar negeri. Ada yang indoor dan outdoor. Meskipun outdoor, karena lokasi Museum Angkut berada diatas gunung, jadi tetaplah adem. Ngga bikin keringetan dan makin keranjingan foto.

Dan ini foto terakhir sebagai perwujudan bukti nyata kelelahan si adek setelah berbulan-bulan gak kemana-mana, dan sempat sendirian di rumah ditinggal mudik sekeluarga selama seminggu. Kasian!

Melepas lelah di pangkuan Ibu Ratu Elizabeth. Kapan lagi coba?

For your information
Tarif tiket masuk per orang : Rp 60.000 (Weekday) Rp 75.000 (Weekend)
Tarif kamera (SLR/gopro/pocket) : Rp 30.000
Older Posts