Menutup penghujung tahun 2020, saya dan Bre memutuskan untuk main ke Bumi Perkemahan Hutan Bedengan. Sudah satu bulan kami tinggal di Malang, keinginan untuk ngelencer (pelesiran) ke alam bebas pada akhir pekan begitu besar. 


Sudah dua minggu kami WFH (Work From Home —kerja dari rumah) di Malang, dan rasanya mulai jenuh lagi. Salah satu cara buat bikin suasana baru ya kerja di kafe atau di working space. Sebelum memutuskan mau nongkrong di mana, kami nanya-nanya dulu ke Ayy, adik sepupu ku yang sering melakukan pemotretan di kafe dan sudah menjamah hampir ke semua kafe di Malang. Dua kafe rekomendasi dari dia untuk main (kerja) adalah Nara Coffee dan Ten Thirty. 


Setelah bertahan hampir sembilan bulan di rumah saja, kami berdua akhirnya memutuskan untuk mudik ke Malang di minggu terakhir bulan November kemarin. Menghabisi akhir tahun di kota yang dinginnya membuatku memakai selimut saat tidur siang dan selalu pakai jumper di rumah. Setelah membeli tiket pesawat, saya cukup was-was menunggu hasil rapid test. Hamdalah, hasil nya non-reaktif. Kami berangkat pagi itu ke Bandara Soekarno Hatta, menggunakan pesawat Citilink (untuk menghabiskan sisa voucher refund). Sedikit ada drama karena lembar hasil rapid test Bre hilang saat kami check in. Untung ada scan nya di hp jadi masih bisa diurus di bagian validasi hasil test di bandara. 


Tanaman Sirih Gading adalah tanaman pertama yang aku punya. Motek dari rumah Mama terus tunclep aja langsung ke pot. Tumbuhnya pun cepat dan perawatannya tidak manja, cukup disiram-siram saja tiap pagi. Tapi tahu nggak sih kalau Sirih Gading punya beberapa nama? Kalau mama ku bilang namanya Sirih Belanda. Nah, nama latinnya sendiri adalah Epipremnum Aureum atau E. Aureum. Biasanya kebanyakan menyebutnya Pothos. 

Cincau Jelly hasil panen sendiri featuring Susu Full Cream Greenfields

Menanam tanaman ketahanan pangan rasanya beda jika dibandingkan menanam tanaman hias. Apalagi saat panen pertama, rasanya bangga pada diri sendiri. Meskipun hanya Kangkung dan Bayam, saat sampai di meja makan rasanya usaha menyiram dan menunggu pun terbayar. Sebelum menanam Kangkung dan Bayam menggunakan raised bed, saya sudah terlebih dahulu menanam Cincau. Tanaman yang dari dulu saya idam-idamkan untuk ditanam setelah melihat kawan ku, Galuh Ashri, sering posting bikin minuman cincau sendiri.  


Kolase perjalanan dari tahun 2016 sampai tahun 2020

Beware! Banyak foto narsis saya di tulisan ini. 

Tulisan ini adalah bagian ke dua dari postingan ini, terinspirasi setelah tergelitik membaca celotehan Mbak Trinity yang juga mengalami hal yang sama seperti yang saya alami lima tahun lalu. Postingan tersebut rentang waktu nya antara tahun 2010 - 2015. Jika saya kumpulkan lagi foto jalan-jalan saya rentang tahun 2016 - 2020 tentu saja sudah ganti setelan, karena berat badan saya sudah tentu berubah (naik 5 - 7kg!). 

Berkebun menjadi trending saat pandemi. Kegiatan yang tentu saja banyak dihabiskan di rumah ini menjadi alternatif bagi kita yang memang tidak bisa melakukan banyak aktivitas di luar rumah. Sekarang berkebun jadi hal yang banyak digemari. Dampak yang paling terasa adalah harga tanaman hias yang melonjak dratis. Apakah saya menjadi salah satu korban kebiadaban harga tanaman? Ah, menurut saya tidak. Tanaman hias termahal yang pernah saya beli baru Pohon Ketapang Kencana setinggi 1,2 meter, seharga 65 ribu rupiah (tanpa ditawar). 


Jadi ceritanya sudah lebih dari setahun ini saya mengurus pembayaran listrik di rumah orang tua saya yang masih menggunakan sistem Pascabayar. Berhubung beberapa bulan terakhir ini tagihannya semakin meningkat (lebih dari dua kali lipat) saya berencana mau migrasi ke sistem Prabayar (Listrik Pintar). Di rumah saya sendiri memang dari awal sudah pakai Listrik Pintar (mode token) dan pengeluarannya stagnan, tidak ada kenaikan yang signifikan terkecuali memang pemakaian lagi tergenjot karena Work From Home. Saya perhatikan jumlah pemakaian kami (rumah Saya dan rumah orang tua) tidak berbeda jauh seperti mesin air jet pam, kulkas, mesin cuci, jumlah lampu, jumlah pendingin ruangan, dan penanak nasi. Terlebih saya pakai water heater, oven, dan toaster. Tapi jumlah KWH yang digunakan di rumah orang tua saya bisa 2x lipat dari penggunaan di rumah saya (di cek dari nomor meter di tagihan tiap bulan). Lalu di mana letak permasalahannya?



Mau plesiran kemana lagi di sekitar Jogja? Sepertinya sudah nggak bisa dihitung pakai jari lagi berapa kali saya main ke kota yang katanya paling romantis di Indonesia ini. Tulisan ini melanjutkan cerita perjalanan saya ke Jogja bersama Bre tahun 2018 lalu, lelungan dan mangan-mangan in Jogja. Saat itu saya blogwalking dan melipir ke blognya mba Mei, yang lagi menetap di Jogja. Doi nulis tentang gumuk pasir, jadilah saya menawarkan Bre untuk main ke tempat ini.