Timeless Cemoro Lawang

Jan 11, 2021


Tahun 2020 lalu yang terasa begitu cepat terlewati. Banyak perjuangan dan pengorbanan. Mengawali tahun ini saya dan Bre mendapat kesempatan untuk menyapa Bromo kembali. Semenjak 4 tahun silam mengunjungi Bromo, melihat Cemoro Lawang dari kejauhan, saya berkeinginan untuk menginap di Cemoro Lawang, sebuah desa di atas awan yang berada di lereng pegunungan Tengger. Akhirnya terwujud setelah melalui banyak pertimbangan karena kondisi pandemi yang membuat sangat rentan untuk berwisata. 

Kami memilih untuk pergi di hari kerja (Senin dan Selasa) pada tanggal 11 dan 12 Januari 2021, setelah libur panjang akhir tahun usai. Beruntung cukup sepi, kami pun bisa berduaan saja main di Air Terjun Madakaripura, yang lokasinya sekitar 1 jam sebelum Cemoro Lawang. Saat di lokasi view sunrise Bromo pun tidak banyak antrian Jeep seperti biasanya. Trip ke Bromo kali ini juga ada yang berbeda, kita diharuskan untuk memesan tiket terlebih dahulu melalui website resmi TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) serta menyiapkan fotokopi KTP, Surat Keterangan Sehat atau hasil Rapid Test atau PCR Swab.


Dari tiga jalur menuju Bromo, saya paling suka jalur Probolinggo.
Sepanjang jalan dari Kota Probolinggo bikin hati adem.

Dari Malang, kami menuju Cemoro Lawang melalui jalur Probolinggo. Melalui jalur ini kita tidak perlu menyebrangi lautan pasir Bromo. Selama ini kita hanya tahu dua jalur ke Bromo yaitu lewat Pasuruan (Nongko Jajar) dan lewat Malang (Pasar Tumpang). Jalur Probolinggo ini jarak tempuh nya dua kali lipat dibanding dua jalur lainnya. Kami menyewa motor Honda PCX (motor matix 150cc) yang cukup membuat nyaman perjalanan hampir 100km ini. 

Pemandangan sepanjang jalan dari Probolinggo ke Cemoro Lawang

Pukul 2 siang dalam perjalanan ke Cemoro Lawang

Setelah trekking singkat ke Air Terjun Madakaripura, kami menuju Cemoro Lawang. Masih siang tapi semakin mendekati desa ini, kabut semakin tebal. Tangan kami mulai terasa dingin dan mulai kaku. Perkiraan suhu siang itu sekitar 12 derajat celcius. 

The bonus view from hotel.

Setelah check-in di Saputra View Bromo Guest House, kami beristirahat sebentar sampai perut ku terasa lapar dan ngidam bakso kuah panas. Saat keluar kamar kami tercengang saat melihat ke belakang Guest House. Terlihat dengan jelas Gunung Bromo berjejer dengan Gunung Batok yang tadi tertutup kabut tebal. 

Kami pupuskan makan bakso karena warung bakso yang buka cukup jauh dari Guest House. Kami putuskan untuk jalan-jalan ke Seruni Point, lokasi melihat matahari terbit Gunung Bromo. Tujuannya untuk survei kondisi jalan, karena kami bakal gelap-gelapan sehabis subuh esoknya kesana. 




Jalan menuju Seruni Point dikelilingi hamparan ladang sehingga tercium aroma pupuk kandang. Kondisi jalan kurang bagus karena sering dilalui truk pengangkut hasil panen. Ada satu-dua tanjakan yang cukup tinggi dan berbelok menukik. Jarak dari Saputra Guest House ke Seruni Point sekitar 2 Km. Kita diharuskan parkir di depan warung. Setelah itu berjalan kaki yang lumayan menanjak sekitar 550m, atau bisa juga menggunakan kuda. Lalu dilanjutkan dengan menaiki 250 anak tangga (saya beneran hitung lho ini besokannya).

Sepanjang jalan yang sangat sepi, di warung terakhir tempat parkir motor, saya bertemu dengan seorang bapak menggunakan sarung di leher khas orang Tengger. Kami berbincang sejenak dengan beliau lalu karena langit sudah mulai gelap kami pamit dan kembali turun ke desa. Makan nasi goreng jawa dan minum susu hangat di Kusuma Kitchen, kafe mungil depan Guest House.


Karena jarak dari Guest House ke Seruni Point cukup dekat, kami berangkat pagi itu cukup santai, sehabis sholat Subuh. Sepanjang jalan yang cukup membuat bulu kuduk saya berdiri, kami hanya berpapasan dengan seorang warga lokal yang sedang berjalan kaki. Hingga sampai di warung tempat parkir motor barulah ada beberapa turis lokal. Beberapa pengguna kuda menawarkan kami untuk mengantar sampai ke Seruni Point. Karena sudah mulai terang, saya dan Bre memutuskan untuk jalan kaki saja. Sejujurnya saya belum pernah naik kuda, jadi alasan yang betul karena memang takut. Hahaha.

Pemandangan dari jalan setapak ke Seruni Point

Pemandangan dari anak tangga ke Seruni Point.
Tempat pemberhentian terakhir kuda yang mengantar turis.

250 anak tangga yang beneran saya hitung :p

Langit memang mulai terang, sayangnya agak mendung karena matahari yang terbit tertutup awan. Di sepanjang jalan setapak yang lumayan menanjak ke Seruni Point, kita bisa melihat langsung Gunung Bromo, dan Desa Cemoro Lawang. Oiya, hati-hati saat berjalan kaki, banyak sekali ranjau a.k.a. tai kuda yang menghampar di sepanjang jalan. 

Gunung Batok yang nampak paling depan, Gunung Bromo yang sedang mengeluarkan asap belerang dan Gunung Semeru yang tampak jelas berdiri kokoh menjadi gunung tertinggi di Pulau Jawa

Cuma di spot ini yang kosong (kami membelakangi Cemoro Lawang). Spot lainnya sudah terkolonisasi wisatawan.

Sampai di Seruni Point, sudah bisa di tebak, memang cukup ramai tapi tidak sampai berdesakan dan kami pun masih bisa berjaga jarak. Semua spot menghadap Gunung Bromo tentu saja sudah penuh. Kami berdua menikmati matahari terbit tepat di belakang Desa Cemoro Lawang dan mengabadikan momen ini dengan menggunakan masker. Penampakan yang menjadi hal biasa saat pandemi.



Lalu gimana caranya supaya bisa santai dan nyaman menikmati Bromo? Mudah kok, cukup sabar aja menunggu. Sekitar pukul 7 pagi, para wisatawan pasti akan turun ke Kawah Bromo. Karena kami sudah beberapa kali ke Kawah Bromo, jadi kami memang hanya ingin menghabiskan waktu di Seruni Point saja. 

Setiap kali melihat para turis yang sibuk berswafoto, saya mikir ngapain jauh-jauh ke sini kalau hanya untuk foto-foto saja sambil tiktokan (yang nggak abis-abis) sampai mereka meninggalkan tempat ini. Ya mungkin cara menikmati tempat wisata bagi setiap orang berbeda. Seperti Bre yang tidak punya kamera, mungkin dia lebih memilih untuk menyimpan pemandangan abadi yang dia lihat. The Timeless Cemoro Lawang and Bromo.


Meskipun pemandangan matahari terbit di Gunung Bromo tidak secerah empat tahun lalu, berkesempatan untuk tinggal satu malam di Desa Cemoro Lawang cukup membuat saya puas. Setelah hampir satu tahun tidak kemana-mana, trip ke Bromo kali ini tentu saja membekas di hati, sama seperti trip-trip ke Bromo sebelumnya. Dan juga mengobati rindu ke alam setelah hampir setahun bertahan di rumah saja. Bromo yang tak pernah membuat saya bosan. The magical Bromo never ceases to amaze me.

5 comments

  1. Hai Niken, ini bagus banget ya Bromo. Pemandangannya gak kayak yang orang-orang ceritain biasanya. Bisa di atas awan gitu, hiks terharu. Kami suka banget tempat-tempat seperti ini, semoga someday bisa ke sana dan perginya pas weekdays.

    Terus ngebayangin, orang TikTokan di atas gitu, joged joged gimana sih hahaha. Kan suasananya syahdu. Sungguh membingungkan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah mampir, Justin. Meskipun udah 4 kali kesana saya pun masih kepingin balik lagi, nginep lagi di Cemoro Lawang. Seperti yang kamu bilang, suasananya yang syahdu nggak akan bikin bosan. Semoga bisa segera ke sana ya! If you need more information, you can read my other journal http://www.n-journal.com/2021/03/catatan-dan-rute-perjalanan-lengkap-ke.html

      Delete