Saya mencoba menulis rincian perjalanan ini mumpung masih berada di tahun yang sama, April 2019 kemarin selama 11 hari kami keliling negeri gingseng ini saat musim semi. 


Bangun tidur kami disapa embun pagi setelah semalaman Jakarta ditempa hujan deras. Adem banget rasanya. Dan Alhamdulillah hari ini tepat 5 tahun kami bersama. Terima kasih sudah berbagi suka dan sama-sama melewati duka.


"Sepertinya besok kita bakal trekking. Jadi kita musti beli sendal gunung nih." Celotehku malam itu sepulang halal-bihalal ke rumah teman SMA di daerah Dinoyo, Malang.  Kami langsung belok ke salah satu toko outdoor namanya Petualang. Dapat sepasang sendal gunung merk Outdoor favoritku, karena selain harganya murah, dipakainya awet dan eye catching. Dan aku suka karena warna nya merah muda.



(Foto: Pegipegi)
Solo atau yang bisa disebut dengan Kota Surakarta dikenal sebagai kota historis yang lekat dengan sejarah. Dikelilingi oleh pegunungan dan sungai terpanjang di Jawa yaitu Bengawan Solo membuat Solo menjadi daerah yang subur dan berhawa sejuk. Tak ayal, banyak potensi wisata yang terdapat di Solo. Mulai dari wisata alam, wisata budaya, situs bersejarah, wisata religi, kuliner, hiburan rakyat, pasar malam, hingga wisata kekinian.

Wherever you go, I'll go with you
15 Februari 2019 | Banyuwangi, Jawa Tengah


Dulu jaman masih bujang, suka banget beliin mama piring keramik karena beliau memang suka mengoleksi peralatan makan dari bahan keramik. Pada saat kuliah di Bandung (tahun 2007 - 2012), saya biasanya beli di mobil pickup yang kerap parkir di Jalan Cisangkuy, samping Taman Lansia. Dengan harga 15.000 - 25.000 rupiah sudah bisa dapat satu piring saji besar atau mangkuk lauk besar yang kemudian saya bawa ke Jakarta. Beliau senang nya bukan main. Sebagian digunakan untuk sehari-hari dan sebagian masih beliau simpan.


Mastakimchi goes to Korea




Dulu pernah punya cita-cita bisa kerja dari rumah. Biar bisa pakai celana pendek sama kaos oblong. Kalau bosan bisa kerja disambi di kamar sambil gegoleran di kasur. Dan Alhamdulillah mimpi itu kesampaian meskipun proyek yang dipegang sekarang masih cupu dan bisa dihitung jari.


Kami ngga kepikiran sama sekali untuk menginap di Hanok —rumah tradisional Korea, karena tujuan kami ke Korea yang penting kuliner dan melihat bunga sakura. Lagipula, apa gunanya sebuah penginapan saat melancong selain hanya sebagai tempat numpang tidur saja?



"Kok nggak ke Busan? Kok nggak ke Jinhae? Di mana tuh Gyeongju?"

Jadi beberapa hari sebelum berangkat, saat sedang menyusun itinerary ke Korea, Hana tiba-tiba menunjukkan saya foto penginapan hanok di instagram yang membuat kita akhirnya secara impulsif memutuskan untuk mengubah haluan destinasi dari Hwagae dan Jinhae ke Gyeongju saja. Karena untuk mencapai dua kota tersebut menggunakan transportasi umum sangatlah ruwet, sedangkan ke Gyeongju kita cukup menggunakan satu kali bus yang berangkat dari Seoul.


Kata banyak traveler, musim semi paling cantik itu di Jepang dan musim gugur paling anggun di Korea. Tapi kunjungan saya ke kedua negara itu justru terbalik, menyesuaikan dengan tiket promo yang didapat saja. Jadi 2 tahun lalu saya berdansa dengan daun-daun momiji dan ginko di Jepang, dan sebulan yang lalu Alhamdulillah diberi kesempatan untuk bercumbu dengan bunga sakura di Korea. Tapi keduanya bagi ku tetap sama-sama memesona, karena di negara tempat saya lahir ini dua pohon itu nggak ada. "So, the reason you visited Korea is to see Cherry Blossoms?" Tanya bapak host di tempat kami menginap di Seoul. Kami menggangguk antusias sambil sarapan sebelum jalan ke Yeouido park. Si bapak lanjut bertanya "Then, what kind of trees in Indonesia we don't have?". Saya pun sejenak berpikir dari sekian banyaknya jenis pohon di tanah yang subur ini apa ya kira-kira. Lalu teringat yang menjadi andalan wisata di Indonesia kan pantai dan lautnya, saya pun menjawab dengan pede. "Coconut trees!". Harusnya mah saya jawab pohon pisang ya, kalau pohon kelapa kayaknya di pulau Jeju juga ada. Hahaha.


Mengurus "ribet" nya persiapan visa Korea Selatan ternyata berlanjut dari sulit nya mengurus visa Schengen tiga tahun yang lalu. Kali ini saya mengalami lagi satu fase galau dalam menunggu hasil visa, yang jauh lebih epic dari pada nyari tiket promo. Sudah seminggu saya sakit perut tak kunjung reda. Setiap ada kesempatan buka laptop saya selalu mengecek status visa saya.